Majikanku Artis

1.4K 307 6
                                    


"Ingin punya privasi, tapi selalu ada pembantu yang jadi saksi."

~Majikan Artis~



BI MINAH menyajikan dua set alat makan dan minum di meja, beserta empal goreng, sambal, dan sayur asem pesanan Kafka. Bi Minah sebenarnya bertanya-tanya, akan ada tamu siapa. Soalnya, kalau yang datang cuma Ira, Bi Minah tidak pernah diperintahkan apa-apa. Ira sudah hafal letak piring, sendok, gelas, bahkan minyak goreng. Pokoknya, Ira mandiri.

Kalau sampai resmi begini, berarti ada tamu. Bi Minah penasaran pokoknya. Apalagi setelah searching internet di ponselnya, bahkan orangtua Kafka saja tidak ada yang tahu. Dan sudah sebulan di rumah ini, Kafka tidak pernah kedatangan tamu selain Ira, asisten Kafka yang bawa baju, atau cowok-cowok yang bekerja di studio musik Kafka.

Bi Minah sedang menata lauk-pauk di piring ketika interkom berbunyi. Telepon di dapur berdering. Tentu saja Kafka.

"Bi, tolong lihatin pagar. Saya mau buka, yang masuk nanti mobil van hitam," perintah Kafka.

"Baik, Mas." Bi Minah manggut.

Bi Minah mulai paham. Meskipun gerbang pagar rumah Kafka dibuka-tutup otomatis dengan ponsel Kafka, Kafka tetap perlu pengawasan manual agar yang masuk benar-benar tamunya.

Jarak dari pintu rumah sampai ke pagar mungkin tiga puluh meter. Pokoknya, rumah Kafka ini bisa dipasang tenda buat sholat Ied. Begitu pikir Bi Minah.

Begitu Bi Minah di depan pagar, pagar otomatis terbuka. Sebuah mobil van hitam masuk perlahan dan meredupkan lampunya. Begitu mobil masuk, pagar segera tertutup rapat kembali. Bi Minah berjalan mengikuti mobil yang parkir di samping mobil sedan hitam Kafka. Bi Minah bersiap menyambut tamu kehormatan Kafka.

Pintu mobil dibuka. Bi Minah hampir pingsan, karena bagai melihat bidadari turun dari kahyangan. Seorang wanita memakai sepatu sandal berduri, celana pendek putih selutut, dan kaus tanpa lengan warna khaki. Rambutnya yang hitam panjang sepunggung tergerai indah membingkai wajahnya yang seputih lampu LED. Hidungnya mancung lancip, bibirnya berwarna merah muda basah, matanya bulat indah. Bi Minah kehabisan kata-kata. Takkan pernah ada wanita seperti ini di kampungnya, sekalipun anak pejabat desa. Apakah ini artis juga? Sepertinya iya. Ingatan Bi Minah melayang-layang ke semua sinetron yang pernah ia tonton. Namun, seandainya pun memang artis, wanita ini tetap lebih cantik dari artis mana pun yang Bi Minah pernah tonton di TV.

"Pak, tunggu aja di teras, ya. Paling dua jam," kata Danila dengan suaranya yang enak didengar.

"Mari, Non." Bi Minah masih terpesona, namun memaksakan diri bicara.

"Makasih." Danila tersenyum hangat dan mengekor Bi Minah yang berjalan lebih dulu ke pintu masuk.

Bi Minah mempersilakan Danila duduk di ruang makan dan Kafka langsung menghampiri. Bi Minah merapikan dapur sedikit lagi, meletakkan piring-piring lauk di meja makan.

"Macet nggak?" tanya Kafka.

"Nggak kok." Danila mencium pipi kanan dan kiri Kafka tanpa canggung.

"Mau minum apa?" tanya Kafka sebagai tuan rumah.

"Lemon tea ada nggak? Tapi jangan yang bubuk."

"Nggak lah. Manual brew kalau perlu. Spesial. Kan gue udah punya mbak baru. Ini Bi Minah." Kafka memperkenalkan Bi Minah yang tersenyum sambil mengangguk.

"Akhirnya orang ribet kayak kamu dapat asisten juga." Danila tertawa.

"Oh, come on. Aren't we all?" Kafka tidak terima.

"Halo, Bi. Saya Danila. Kalau Kafka ribet, maafin aja ya, Bi." Danila mengejek Kafka.

Saat itu juga Bi Minah berusaha menanamkan baik-baik di otaknya, kalau ia baru saja bertemu Danila. Nanti setelah sampai di kamar, akan ia cari di internet.

Bi Minah membuatkan teh lemon sesuai instruksi. Kafka dan Danila ngobrol akrab sambil duduk berhadap-hadapan.

"Ngambil pembantu di mana lo? Pembantu gue juga balik kemarin. Pusing gue, ternyata dia suka ngambil aksesori gue. Terus udah gitu, dia kasih tahu alamat gue ke saudara Jakarta dia yang buka usaha puding. Dikirimin dong gue, suruh post. Ngaco nih pembantu zaman sekarang." Danila curhat.

Bi Minah mendengarkan dengan saksama. Masalah yang pelik. Sepertinya Danila artis juga, sehingga alamatnya sampai rahasia.

"Iya, gue juga sebelum ketemu yang sekarang, nggak cocok melulu. Seminggu bubar. Ada tiga kali. Ini Bi Minah alhamdulillah, so far cocok," cerita Kafka.

Bi Minah memeras lemon.

"Memangnya yang kemarin-kemarin kenapa? Bikin vlog di rumah lo?" Danila cengengesan.

"Foto di depan rumah gue, sambil nge-tag lagu gue. Mbak Ira tuh yang nemu." Kafka dan Danila terbahak-bahak.

"Kalau yang sekarang nemu di mana?" tanya Danila.

"Di agensi penyalur anak muda, gitu. Namanya Agensi Rumah Tangga." Kafka menjelaskan.

Danila menaikkan sebelah alisnya. "Namanya nyentrik juga, ART menyalurkan ART. Menarik."

Bi Minah mengantarkan segelas teh lemon ke depan Danila yang berterima kasih dengan ramah.

"Bi, terima kasih, ya. Nanti paling Bibi ke bawah kalau saya WhatsApp aja," perintah Kafka singkat.

"Baik, Mas." Bi Minah permisi lalu naik ke lantai atas.

Pertama kali Bi Minah tahu areanya, atau yang dijelaskan oleh Ira sebagai area servis, Bi Minah terperangah. Ia pikir itu rumah sendiri, atau hotel. Area servis Bi Minah berada di lantai dua, tapi wing yang berbeda dengan rumah utama. Begitu sampai di puncak tangga, langsung ada pintu kaca, tempat jemur yang lega dan rapi. Jemurannya ada remote yang bisa dinaik-turunkan dari langit-langit. Atapnya kaca, sehingga anti hujan namun tetap panas untuk mengeringkan baju. Kemudian ada area laundry, mesin cuci dengan pengeringnya, dan sink untuk mencuci hal-hal yang memerlukan pencucian dengan tangan. Di pojok ada kamar Bi Minah dengan kamar mandi dalam. Kamar Bi Minah enam meter persegi, kasurnya ukuran 120 x 200 cm. Ada televisi, AC, dan... ini yang membuat Bi Minah takjub, kamar mandi dengan toilet duduk dan pancuran. Pokoknya elite! Bi Minah rasanya ingin menukar nasibnya dengan Nisa, anak tunggalnya, yang selama ini pontang-panting kerja di pabrik atau toko kelontong. Gaji Bi Minah di sini juga beda tipis dengan gaji Nisa di pabrik. Betapa ia ingin sekali mengatakan pada Nisa, bahwa ia sebenarnya kerja di rumah penyanyi idola Nisa. Sayang, hal itu dilarang oleh Katia: "Kalau sampai dilanggar, kontraknya putus, Bi."

Agensi Rumah TanggaWhere stories live. Discover now