Pembantuku, Penyelamatku

1.7K 386 27
                                    

HI GENGS,


Makasi sebelumnya sudah mau bersabar

Hidupku luar biasa setelah beranak pinak.

Ingin kusambat, tapi mengingat-ingat masa jomblo dulu berharap seperti ini kok kayaknya kurang gremet

Belakangan, aku udah balik ke kantor, tentunya masih jadi cungpret (YA TUHAN KAPAN HAMBA BENERAN JADI PENGANGGURAN KAYA RAYA?!)

Aku pontang-panting berusaha menyeimbangkan apa yang harus kulakukan dan yang suka kulakukan.

Kangen banget main wattpad, atau sekedar nulis-nulis. 

Doakan ya, 2024 ini Agensi Rumah Tangga bisa keluar dalam bentuk novel.

Dan sebagaimana janji aku, doakan juga semoga 2026 aku ada novel baru. Gak bisa ketebak sama sekali gimana caranya nulis dengan kesibukan sekarang. Aku butuh duit 30 miliar biar bebas nulis-nulis HAHAHAHA


ENJOY GENGS!



***

"Jasa pembantu itu begitu besar, hingga kadang bisa menyelamatkan sebuah keluarga."

~Pasangan Kerja Rodi~

BANU melepas sepatunya dengan lemas. Setelah lama penantian, akhirnya ada juga panggilan interview lagi. Startuppenyewaan alat-alat berat. Meskipun gaji yang ditawarkan hanya sepertiga dari apa yang pernah ia dapat sebelumnya, Banu ikhlas, rela. Yang penting ada pemasukan. Jiwanya tak sanggup lagi menangani rumah dan segala urusannya. Biarlah itu jadi urusan Mila, istrinya. Setelah setahun lebih nganggur, Banu baru sadar bahwa Mila wanita super. Meskipun berkarier, Mila juga bisa mengatur rumah, membesarkan dua anak, melayani Banu sebagai suami, dan bergaul dengan teman-temannya.

Banu pokoknya bertekad, ia harus bisa balik ke kantor, mendapatkan penghasilan bulanan, dan kembali menjadi "raja" di rumah. Ia sudah letih dengan tatapan Mila. Tapi wawancara tadi mengantarkannya pada kekecewaan. Jelas, menurut pemilik perusahaan, meskipun rela menurunkan gaji, Banu kelewat "tua". Di usianya yang 42 ini, Banu dianggap sulit beradaptasi dengan pemilik dan karyawan lain yang masih muda.

Banu menunduk dan ia merasa dalam masalah besar ketika di kolong kursi ada sepasang sepatu Mila. Banu bergegas masuk ke rumah dan mendapati Mila sedang duduk di depan meja makan sambil melipat kedua tangan di dada. Anak-anak sudah tidak ada, rumah bagai kapal pecah.

Langkah Banu semakin berat untuk mendekati meja makan.

"Baru pulang?" tanya Banu.

"Gimana hasil wawancaranya?" tanya Mila dingin.

Mendengar intonasi Mila, Banu semakin yakin ia tidak mau ikut duduk di meja makan.

"Belum tahu. Semoga aku beruntung." Banu nyengir canggung.

"Kamu ninggalin rumah berantakan, Mas. Mama datang udah stres duluan ngelihat rumah. Aku ngerti kamu harus cari kerja, tapi kesepakatan kita kan nggak gitu." Mila berkata dingin.

Lutut Banu mulai lemas, tapi tentu ia harus berdiri tegak.

"Maaf, karena buru-buru takut kena macet, aku nggak sempat beberes rumah. Interview ini penting banget buat aku. Aku rasa peluangnya besar karena mereka juga masih baru." Banu berusaha menjelaskan dengan lengkap, tapi kesabaran Mila habis.

"Aku pernah nggak, kamu pulang, rumah berantakan?" Mila bertanya, yang jawabannya tentu saja ingin ia dengar.

Waduh, kata Banu dalam hati. Apa pun skenarionya, pasti Mila akan murka dan memutar kaset yang sama.

"Aku tuh dari dulu juga kerja di kantor. Jadi karyawan iya, jadi ibu juga iya. Pernah nggak kamu lihat rumah berantakan meski aku harus lembur? Atau pas pembantu kabur?" Intonasi Mila pelan-pelan naik, seperti kepasrahan Banu yang juga perlahan meningkat.

Nasi sudah jadi bubur. Banu harus siap mendengarkan drama ini sepanjang malam, episode dosa-dosanya.

"Nggak pernah, kan?" Mila menjawab sendiri pertanyaannya.

"Sekarang udah tahu nggak ada pembantu, minta tolong Mama jagain anak-anak, kamu masih ngebebanin Mama dengan rumah yang porak-poranda?" Mila menunjuk rumah dengan kedua tangannya.

Iya, rumah berantakan. Belum disapu, dipel, cucian piring dari pagi menumpuk, air galon di dispenser belum diganti dengan yang baru. Cucian baju jangan ditanya. Demi menghemat uang dengan tidak bayar laundry kiloan, Banu dan Mila memutuskan harus mencuci di rumah.

"Nggak bisa gitu dong! Aku itu udah sabar lho. Setelah kamu di PHK, sembilan bulan fokus mau usaha, baru tiga bulan terakhir ini kamu cari-cari kerja. Omongan tuh doa, Mas! Sering banget kamu ngeluh pas masih ngantor. Capeklah kerja sama orang, mau buka usaha, mau ikutin passion kamu bikin kopi. Mana hasilnya? Hilang tabungan kita! Mana buktinya passion kamu itu? Jadi sampah kan, itu mesin kopi?!" Mila menunjuk mesin kopi yang teronggok di dapur.

Banu kali ini tidak terima. "Kata kamu, aku boleh nyoba jalanin passion aku? Kok sekarang kamu malah ngungkit kegagalan aku?"

"Gimana aku nggak ngebolehin? Kamu ngeluh terus soal kantor! Uang pesangon dan tabungan jadi coffee shopyang akhirnya tutup. Itu uang masa depan keluarga kita! Terus kamu juga nggak jalanin peran kamu sebagai bapak rumah tangga. Disuruh buang sampah, ntar. Ganti galon, ntar. Cuci baju, ntar! Ngepel, dua hari kemudian, sampai anak-anak batuk karena alergi! Cuci piring, ntar! Aku balik malam kesal lihat sink penuh, kamu baru nyuci. Gitu terus diulang sampai hari ini! Terus apa yang bisa kamu lakukan dengan maksimal? Aku capek, tahu nggak!" Mila mulai menangis.

Banu terpukul. Mila banyak benarnya.

"Kamu pernah mikir nggak sih, mungkin kamu jadi kayak sekarang, karena kamu nggak pernah maksimal. Apapun yang kamu kerjakan, semua serba ala kadarnya. Aku capek! Kerja dari pagi sampai malam, untuk gaji yang ngepas buat hidup tiap bulan. Pulang ke rumah, mesti sabar nahan emosi, takut kamu tersinggung kalau ditegur karena ego kamu juga lagi berantakan. Nggak jarang aku masih ngepel dan gantiin tugas kamu cuci piring, padahal pergelangan kaki aku rasanya mau patah seharian di kantor. Tapi hari ini aku benar-benar nggak bisa terima kalau Mama yang harus beres-beres. Nggak bisa. Nggak perlu ada orang lagi yang berkorban demi kelangsungan rumah tangga kita! Nggak perlu melibatkan orangtua untuk tanggung jawab dari hal-hal yang kamu nggak becus!" Mila murka.

Bahu Banu turun. Iya, ia tidak becus. Ia pecundang.

Mila beranjak dari kursi dan bergegas ke lantai atas.

Banu menarik napas lelah. Ia mencari kontak di ponsel lalu menyentuh pilihan call.

"Kat..."

"Yow. Kenapa, Mas, malam-malam telepon?" tanya Katia yang sedang sibuk mengetik kontrak di kamarnya.

"Kat, agensi lo udah buka belum sih?" Banu bertanya lemah.

"Hmm, CV-nya sih udah jadi, teknis masih diberesin. Kenapa, Mas?" Katia bertanya lagi.

"Please, kirimin gue satu pembantu. Kalau nggak, rumah tangga gue karam." Banu memijat kening.

"Hah, kenapa?" Katia jadi panik.

"Gue harus keluar rumah, Kat. Gue harus dapat kerjaan. Gue butuh pembantu buat bikin rumah beres. Gue bisa cerai nih. Please bantuin." Banu benar-benar di ujung tanduk.

Agensi Rumah TanggaWhere stories live. Discover now