Majikan Kurang Adil

2.4K 386 14
                                    


"Kaum dompet mepet memang serbasalah ketika punya ART. Maksudnya biar uang cukup, tapi apa daya pembantu maunya makan menu yang sama dengan majikan."

~Kaum Menengah~



SITI tidak membalas WhatsApp dari Dudung, kurir paket di kampungnya yang menembaknya berkali-kali. Meskipunsudah 26 tahun, yang artinya perawan tua di dusunnya, Siti bergeming menikmati kesendiriannya.

Dulu Siti pernah kerja di sebuah rumah di Bumi Serpong Damai. Tiap rumah tidak ada pagarnya, sama seperti di kampung. Tapi bedanya, tiap rumah di BSD ada mobil mewahnya. Minimal dua. Suami bawa satu, istri bawa satu. Termasuk rumah majikannya.

Pertama kali datang ke rumah itu, Siti terkejut bukan main. Lemari nyonya, satu kamar sendiri. Meja rias nyonya dan semua pernak-pernik serta parfum, satu dinding. Tasnya berderet menempati setiap rak yang ditutup kaca. Merek tas majikannya itu tidak pernah ada di pasar kampungnya. Pokoknya, Siti mau punya hidup bagaikan orang kota!

Siti berkulit putih, rambutnya hitam lurus. Hidungnya pesek dan kecil, bibirnya biasa saja, matanya juga, tapi Siti pede berat. Menurutnya, ia paling cantik sekampung. Maklum, yang lain lebih hitam daripada Siti, atau rambut bergelombang kusut. Di antara tiga saudara kandungnya, Siti memang paling cantik. Ibunya paling bangga pada Siti. Tapi paling pusing juga. Dua adik Siti menikah ketika berumur sembilan belas tahun. Tinggal Siti dan adik bungsunya yang masih SMP yang belum menikah.

Siti pokoknya tidak mau menikah sampai berhasil mendapatkan orang kota. Makanya ia senang betul ketika disuruh ke Alfamart atau ke warung buat beli sesuatu. Siapa tahu, ia bertemu bujangan kota yang kepincut pada kecantikannya. Ia juga senang bergabung di agensi Katia yang menurutnya juga masih muda. Siapa tahu, ada teman Katia yang bisa berjodoh dengannya.

"Siti!" panggil Mila yang pulang lebih cepat dari kantor.

Siti yang sedang main ponsel terkaget dan bergegas turun.

"Ya, Bu." Siti muncul di dapur.

"Tolong bantuin saya siapin makan malam, ya. Kamu bisa masak apa?" tanya Mila, yang pastinya tidak terlalu mahir memasak.

"Tadi siang saya masak ayam goreng, Bu. Malam ini Ibu mau tumis kangkung sama tempe orek kecap?" Siti menawarkan.

"Oh, boleh, boleh. Terima kasih, ya." Mila tersenyum senang, mendapatkan pembantu yang sesuai harapannya, bisa masak. "Nanti kamu makan malam boleh pakai telur, kangkung, sama tempe, ya," lanjut Mila.

Siti tampak tidak senang. "Yaaah, Bu, saya nggak bisa kebanyakan telur. Jadi bisul."

Siti paling sebal pada majikan yang membeda-bedakan makanan. Ayam gorengnya kan dia yang masak, masa dia tidak makan? Lagi pula, kalau menyangkut urusan lidah, derajat pembantu dan majikan sama saja. Sama-sama mau makan enak. Masa pembantu makan tempe terus?

Mila menangkap maksud Siti. Sebagai majikan yang sudah lulus sertifikasi gonta-ganti pembantu sejak anak pertamanya lahir, Mila menangkap Siti maunya makan yang sama dengannya. Artinya, ia harus siap melonggarkan anggaran. Mila melihat ayam goreng di balik tudung saji transparan dan menghitung potongan ayam. Ia tahu betul kebiasaan dua anaknya.

"Tadi siang kamu makan lauknya apa?" tanya Mila.

"Ayam goreng, Bu, sama sayur sop," ucap Siti santai.

Wah, sialan! Masa tiap kali makan, lauknya ayam goreng? Mila agak geregetan. Tapi sebagai ibu-ibu bekerja yang sudah malang melintang menelan drama dengan ART, Mila anti marah-marah. Toh pada akhirnya ia yang membutuhkan bantuan Siti. Sedangkan Siti, ketika dikembalikan ke agensi, mungkin bisa mendapatkan majikan baru dalam tempo beberapa hari.

"Oh... gitu," kata Mila yang masih mengatur hati dan otaknya.

"Saya masak dulu ya, Bu." Siti kemudian mengambil tempe di kulkas.

Mila menghela napas. Kalkulator rumah tangganya tampaknya perlu diatur ulang, terutama dengan Banu yang masih menjadi tanggungan.

Agensi Rumah TanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang