Pelanggan Pertama

2.5K 487 63
                                    

JADI APA LAH PEMBELAAN TELAT LAGI?

Tepar..... diri... sungguh aging ini bukan masalah stamina tapi ada aja yang harus diurus. Selamat menikmati bab baru!

Hati-hati selama mudik


***



"Mengejar penglaris, apa pun diiyakan."

~Hamba KPR yang Terjepit~




KATIA duduk di ruang tamu Kafka. Kafka tampak dingin. Pria itu ditemani manajernya, Ira. Sashi tentu saja, santai duduk di single sofa karena merasa pernah datang ke rumah ini berkali-kali.

"Mas Kafka ini sangat menjunjung tinggi privasi." Ira membuka percakapan.

Wah, kirain menjunjung tinggi Pancasila, otak Katia bermain. Ia hampir menyemburkan tawa kalau saja tidak ingat rekeningnya yang sudah di ujung tanduk dan bank yang siap menagih utang KPR.

Sebetulnya Katia sudah pernah melihat Kafka di kantor, waktu Kafka mau menjadi brand ambassador tempat Katia bekerja, tentu saja karena Sashi. Saat itu, Kafka bagai manusia yang didewakan, alias banyak yang memuja tapi tak terjangkau. Saat ini Kafka terlihat lebih membumi. Mungkin karena tidak ada para fans yang mencoba antre untuk foto bareng, mungkin juga karena kaus oblong putih lengan pendek dan celana pendek abu-abu tanpa merek yang dikenakan Kafka, serta sandal jepit rumahan di kakinya. Meski begitu, bisa saja kaus oblong itu merek Dior, bukan? Begitu pikir Katia.

"Kalau bukan karena temannya Mbak Sashi, kami nggak akan menghubungi Mbak Katia." Ira menambahkan.

"Tuh, makasih lo sama gue." Sashi makin merasa berjasa, pipinya memerah.

"Asisten rumah tangga yang dulu kerja di sini, sudah ikut Mas Kafka sejak kecil. Tapi karena sakit, dia mau pensiun di kampung. Kalau dari Mas Kafka, pastinya nggak pernah ada masalah yang bikin nggak betah." Ira terdengar tegas.

Artinya, kalau sampai si ART pulang, berarti salah ART-nya.

Katia mengangguk paham.

"ART yang akan saya kasih ini namanya Bi Minah. Dia juga sudah ikut keluarga saya sejak saya kecil. Karena profile-nya Mas Kafka ini penting, jadi saya minta Bi Minah yang di sini. Tapi mungkin ekspektasinya Bi Minah nggak bisa belasan tahun kerja, karena sudah tua juga." Katia menjelaskan.

"Lho, berarti yang kerja di rumah Mbak Katia siapa kalau Bi Minah di sini?" Ira terdengar bingung.

"Saya. Hehehe." Katia tertawa canggung.

Kafka melirik Katia sambil tertawa super tipis.

Kafka sudah lama berteman dengan Sashi. Pertemuan awal mereka terjadi enam tahun lalu, tepatnya ketika Kafka sedang di restoran sebuah mal, sendirian, dan tiba-tiba ada dua wanita memberanikan diri minta foto, lalu berlanjut ke pengunjung lain yang juga antre ambil foto. Tiba-tiba Sashi, yang duduk di meja sebelah Kafka, berinisiatif berpura-pura menjadi manajer Kafka dan membawa Kafka pergi. Waktu Kafka berterima kasih dan bertanya kenapa Sashi melakukan itu, jawaban Sashi, "Gue nebak aja sih lo nggak nyaman. Gue kalau makan sendirian, suka mengkhayal jadi artis, sambil mikir, enak banget nih gue bisa semedi sendiri." Sejak itu, Kafka merasa Sashi salah satu manusia paling orisinal yang pernah ia kenal.

Mengenal Sashi yang begitu, Kafka tak menyangka, Sashi akan punya teman "manusia normal", yang tampak baik-baik, tanpa busana bermerek, wajah tanpa makeup berlebih—hanya pensil alis, maskara, serta lipglow. Kafka bahkan tidak yakin Katia memakai bedak. Dandanan Katia yang seadanya tampak terbantu dengan kulit kuning langsat yang bersih dan rambut hitam legam yang diikat ke belakang. Sikap Katia juga tampak straightforward. Tidak perlu bersusah payah membaca gerak-gerik gadis itu. Katia hanya ingin deal, seperti bos label rekaman Kafka yang tak ingin berlama-lama. Cara duduknya juga tegak, matanya tampak sigap seperti mengatakan, "Yuk, bisa yuk. Deal. Oke, kan? Bye!"

Gestur Katia-lah yang membuat Kafka agak yakin gadis itu bisa diandalkan.

"Katia tuh rajin lho." Sashi berargumen karena malu ketahuan punya teman yang sudah tidak kaya-kaya amat, pengangguran, bangkrut pula.

"Oh... gitu. Tapi Bi Minah dikasih ke sini bukan karena Mbak Katia sudah nggak mau menggunakan jasanya lagi,kan?" Ira curiga.

Katia menggeleng kuat-kuat. "Wah, kalau bisa, saya akan menggunakan jasa Bi Minah sampai anak saya balita. Masalahnya adalah, karena saya dapat klien sekelas Mas Kafka, maka saya pasti akan memberikan yang terbaik, termasuk jadi mbak di rumah sendiri, karena Bi Minah harus di sini."

"Terus, anak kamu nanti siapa yang urus?" tanya Kafka yang tumben bersuara.

Maklum, Kafka penyanyi solo terbaik tahun lalu. Albumnya meledak, diputar di radio-radio dari subuh hingga sahur. Mengisi semua acara ulang tahun stasiun televisi tanah air. Tapi Kafka adalah Kafka, yang hanya bisa didengar lewat alunan lagu. Sampai saat ini ia emoh tampil di YouTube, podcast, atau wawancara lainnya. Kafka tampil di media hanya ketika pengumuman album baru atau hal-hal terkait press release acaranya. Di usia ke-35, pria itu tetap misterius, sampai banyak kaum hawa meragukan orientasinya. Namun, Kafka masih diimajinasikan sebagai calon suami virtual. Kafka yang katanya berdarah campuran Sumatra dan Jawa, kulitnya lebih putih dari kuning langsat dibandingkan pria Indonesia pada umumnya. Apakah faktor lulur ataukah genetik? Tidak ada yang tahu.

"Oh, justru karena saya belum nikah, masih lama realisasinya, jadi Bi Minah masih bisa kerja di sini. Nanti mungkin kapan-kapan saya tarik lagi." Katia nyengir.

"Wanita karier. Biasaaa." Sashi dari malu berganti ke bangga.

"Yeah, berkarier membangun kerajaan penyalur ART." Katia meledek diri sendiri.

"Wah, keren. Startup agensi ART, ya?" Kafka terdengar ramah.

Katia dan Sashi tertawa nelangsa, menyembunyikan jiwa-jiwa pengangguran mereka hasil dicampakkan olehstartup.

"Tapi Bi Minah mulai kerjanya paling cepat dua hari lagi, ya? Karena agensi kami mau memberikan pelatihan dulu, seperti menggunakan setrika uap atau cara memasak. Ada jobdesc tertentu yang ingin diminta? Please jangan minta bahasa Inggris, ya." Katia berseloroh.

"Bisa menggunakan vacuum cleaner, nggak? Di sini nggak ada sapu atau alat pel manual," kata Kafka.

"Oh iya, Mas Kafka suka sekali makan di rumah, masakan rumah. Jadi kalau bisa, Bi Minah masak dua kali sehari, masakan Indonesia." Ria memberikan instruksi lagi.

"Oke." Katia mencatat masukan dari Kafka dan Ira.

"Terus kalau bisa, Bi Minah diajarin punya akun food delivery, karena saya nggak akan mau punya. Jadi saya cukup transfer ke Bi Minah, dia yang pesan." Sekarang Kafka yang memberi instruksi.

Katia terhenyak.

"Waduh, Bi Minah tuh udah ninik-ninik. Di rumah aja saya yang pesankan dia ojek online." Katia berkata jujur,dan semuanya malah tertawa.

"Saya suka deh, akhirnya ketemu agensi ART yang sefrekuensi seperti kalian. Biasanya tua-tua ya, Mbak Ir? Mbak Ira sih yang selalu ketemu dengan mereka. Ini kali pertama saya nemuin langsung, karena Sashi aja," kata Kafka.

"Iya, biasanya kolot-kolot." Ira mengeluh.

"By the way, nama agensinya apa?" tanya Kafka.

Sashi menatap Katia. Katia bengong sepersekian detik, lalu nyeletuk, "ART."

"ART?" Kafka bertanya.

Katia mengangguk mantap.

"Penyalur ART maksud lo?" Sashi tertawa canggung, tidak mengerti candaan temannya itu.

"Bukan. Nama CV saya ART, Agensi Rumah Tangga," ucap Katia, yang dibalas dengan anggukan canggung Kafka, Ira, dan Sashi yang kini melongo.

Agensi Rumah TanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang