0.16

38 8 0
                                    

Setelah dirinya meninggalkan paviliun Aetheria, Lie melangkah dengan langkah cepat menuju tempat di mana kakaknya berada, Kemungkinan Fang Chao atau kakaknya berada di ruang prajurit sekarang.

Dalam perjalanannya, dia memikirkan pertemuan tadi dengan Zea. Gadis itu terlihat kuat dan mandiri, tapi Lie merasa ada sesuatu yang mengganjal tentang kehadirannya di Favilium Aetheria.

Sesampainya di tempat Fang Chao, Lie menceritakan pertemuannya dengan Zea, termasuk pertanyaan Zea tentang apakah mereka saudara.

Sang kakak terkejut mendengarnya, tetapi dia tersenyum penuh makna. "Jadi, kau bertemu dengan gadis buangan itu ya," gumamnya.

Lie memperhatikan reaksi kakaknya, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

"Kak, apakah Zea yin itu memiliki hubungan denganmu?" tanya Lie penasaran.

Fang menggeleng pelan sambil menunduk. "Aku hanya bertemu dengan nya beberapa kali," jawabnya tegas. Lie menelan ludah, merasa bahwa perkataan Sang kakak benar adannya.

Lalu dengan langkah berat, ia berjalan ke arah yang tidak jelas. Lie memperhatikan langkah kakaknya yang tampaknya dipenuhi dengan beban yang tidak terucap.

"Kenapa? Apa kau suka dengan gadis itu?" Fang bertanya lagi, mata lie seketika membulat sempurna.

"Aku saja baru bertemu dengannya tadi."

"Mungkin cinta pandangan pertama bukan?" sahut Fang.

Fang mengambil sebuah pedang kayu dari sudut ruangan, menggenggamnya erat di tangan. "Ambillah," katanya sambil menawarkan pedang itu pada Lie, "Sudah lama kita tidak bertarung, bukan?"

Lie memundurkan beberapa langkah, merasa tidak nyaman dengan tawaran kakaknya. Tangannya segera menyilang di depan dadanya, menunjukkan ketidaksiapannya.

"Ah, aku masih punya misi," ucap Lie dengan suara ragu, mencari alasan untuk menghindari pertarungan yang tidak diinginkannya.

"Dasar bocah," gumam Fang, sedikit kecewa. Dia memperhatikan Lie yang pergi dengan cepat, tanpa memperdulikan tatapannya yang tajam.

~ ♡ ~

Di tepi sungai yang mengalir tenang, Zea duduk dengan anggun, merenung dalam diam. Suara gemericik air sungai menjadi latar belakang bagi lamunan-lamunannya.

Tanpa sadar, bibirnya mulai menyanyikan melodi yang lembut dan merdu, mengalun memecah keheningan.

"Lalaaalalaaaalaaa-aaa," goresan melodi itu menari di udara, menciptakan harmoni dengan alam yang mengelilinginya.

Tiba-tiba, suara lembut seruling melayang dari kejauhan. Namun, Zea tidak tergoda untuk memalingkan perhatiannya. Ia terus melantunkan lagunya dengan penuh ketenangan, membiarkan aliran musiknya bersatu dengan alam.

Setelah lagunya selesai, Zea memalingkan pandangannya ke sekeliling. Sunyi. Tidak ada seorang pun kecuali dirinya sendiri. Ia berasumsi bahwa orang yang memainkan seruling tadi sudah pergi.

Tak seorang pun terlihat, kecuali bayangan dirinya sendiri yang terpantul di permukaan air.

Ketika ia hendak berbalik untuk meninggalkan tepi sungai, tiba-tiba kakinya tergelincir di atas batu licin, dan dengan cepat, ia terhuyung ke belakang. Namun, sebelum tubuhnya jatuh ke air, sebuah tangan kekar dengan refleks cepat menangkap pinggang ramping nya.

Mata Zea terbuka lebar saat ia menatap sosok yang tegak di hadapannya. Pria itu mengenakan topeng yang misterius, namun aura ketampanannya tak terbantahkan.

Aroma harum jasmine menyelinap ke dalam hidung Zea, menambah misteri pada pertemuan mereka.

"S-siapa?" pikir Zea, namun bibirnya tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun, karena terpesona oleh kehadiran pria itu.

Transmigrasi tak terdugaWhere stories live. Discover now