DUA BELAS

15 11 0
                                    

Tom, Rachel, dan Nara tidak langsung pergi dari rumah setelah mendapatkan obat. Tiga remaja itu ngobrol sebentar dengan pemilik rumah. Hanya membahas hal-hal ringan saja.

"Kalian tahu, siapa yang punya ide untuk membuat obat-obatan itu?" Galia bertanya kepada Tom, Rachel, dan Nara.

Mereka bertiga menggeleng.

Galia tersenyum. "Itu Puput. Dia mulai menyuarakan pendapatnya tentang obat ini saat masih di Sekolah Dasar. Alasannya, karena di desa Abangan tidak ada rumah sakit. Biasanya warga desa yang sedang mengalami penyakit harus pergi ke kota-kota terdekat. Demi mengobati penyakitnya."

Tiga remaja itu mendengarkan cerita Galia dengan fokus.

"Kota terdekat dari desa Abangan jaraknya adalah 20 Kilometer. Dan tidak semua orang yang punya cukup biaya untuk pulang pergi dari desa ke kota. Karena itu, kami menyetujui pendapat Puput. Terlebih lagi keluarga kami memiliki sihir penyembuhan." Wanita itu mengangkat tangan kanannya, yang kemudian mengeluarkan cahaya hijai. "Pasti seharusnya orang-orang disekitar juga harus bergantung pada kami, demi pengobatan untuk mereka."

"Lalu, Bu? Kenapa sampai terpikirkan untuk menciptakan obat yang sangat manjur?" Tom memperbaiki posisi duduknya.

"Itulah tambahan ide dariku. Aku ingin menciptakan obat yang secara instan bisa menyembuhkan manusia. Karena, penyakit yang di alami oleh seseorang tidak selalu sempurna akan menghilang. Terkadang penyakit itu akan kembali lagi, walaupun sudah melakukan pengobatan. Tapi bukan berarti aku meragukan dokter, karena mereka masih berjasa bagi semua orang. Biasanya alasan penyakit datang lagi adalah kurangnya kekebalan imun tubuh." Jelas Galia.

"Apakah sulit untuk mencari bahan-bahan pembuat obat itu, Bu Galia?" Kini Rachel yang bertanya.

Galia menoleh pada Rachel. Mengangguk. "Tentu saja, Rachel. Kami sekeluarga harus mengelilingi satu negara ini, untuk mencari bahan-bahan nya. Nanti setelah mendapatkan bahan yang cukup, maka kekuatan ini akan berguna," wanita itu mengeluarkan cahaya hijau lagi. "Untuk menyatukan semua bahan yang telah kami dapatkan."

Rachel mengangguk-angguk.

"Tapi itu terjadi hanya saat pertama kali mencari, Rachel." Kini Adeon yang bicara. "Karena kami sudah tahu dimana lokasi bahan-bahan untuk obat itu. Yaitu di pegunungan Betolan, letaknya di perbatasan negara antara Pangalo, Narais, dan Louan. Disitu banyak tumbuh pohon-pohon dari buah Elvios. Selain Elvios, masih ada buah ajaib lain lagi."

"Buah Elvios?" Alis Tom terangkat.

"Benar. Buah Elvios adalah bahan utama untuk membuat obat ini. Karena banyak kandungan penyembuhan pada buah itu. Sisanya hanya bahan-bahan biasa yang gampang ditemukan. Jadi setiap tahunnya, kami sekeluarga akan pergi ke pegunungan Betolan, untuk memetik beberapa buah Elvios."

"Aku paham sekarang." Ucap Tom, sambil mengunyah cemilan terakhir.

Galia menatap piring yang telah kosong di atas meja. "Kau mau tambah biskuit nya?" Wanita itu tersenyum. Berbicara pada Tom.

"Boleh, Bu." Tom nyengir lebar.

Galia berdiri, dia membawa piring yang telah kosong itu.

Rachel langsung melotot pada temannya. "Tom, itu tidak sopan!" Bisik gadis itu.

Tom mengangkat bahu. "Kalau diperbolehkan, apa salahnya?"

"Tadi kau menyuruh Puput untuk mengajari adiknya sopan santun." Nara tersenyum meledek, sambil menopang pipinya di pegangan sofa. "Tapi kau sendiri tidak sopan di rumah orang. Ada-ada saja."

"Pelatih tidak bermain, Na. Lagipula adiknya memang harus diajari sopan santun sejak kecil. Supaya saat sudah dewasa sikapnya tidak seperti ku." Tom menjawab enteng.

Hand and WondersWhere stories live. Discover now