DELAPAN BELAS

8 4 0
                                    

Hanya butuh beberapa menit saja, desa Abangan sudah terlihat di bawah sana. Mobil van Apordios segera turun dan mendarat tepat di depan rumah keluarga Damino.

Tom berdiri, berjalan ke arah pintu keluar, dan membukanya. Udara segar berhembus masuk ke dalam mobil, pemuda itu menghirupnya sebentar, lalu melompat turun dari mobil. Rachel, Nara, dan Liana ikut keluar.

Liana menatap sekeliling, sudah lama sekali dia tidak melihat pemandangan desa yang indah ini. Padang rumput yang luas. Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari beton dan saling berjauhan. Serta pohon-pohon yang menambah kesan keindahan alam desa Abangan.

Tatapannya berhenti pada sebuah mansion di ujung sana. Mansion yang sudah tidak layak untuk ditinggali. Ada banyak garis polisi yang menutupi setiap pintu-pintu dan jendelanya.

Liana menutup mata, seraya menghela nafas panjang. Seperti kata Tom, dia harus mampu untuk melupakan semua masa lalu itu.

"Ayo, kita masuk," ucap Tom, dan segera berjalan menuju pintu depan rumah keluarga Damino. Rachel, Nara, dan Liana mengikuti.

Tok! Tok! Tok! Pintu diketuk. Terdengar derap langkah kaki dari dalam. Pintu lalu dibuka, dan seorang wanita paruh baya tampak tengah berdiri. Tersungging senyuman di wajahnya saat melihat gadis cantik dengan rambut panjang keunguan yang berdiri paling belakang.

"LIANA!" Galia berteriak, dan segera berjalan keluar menghampiri Liana. Kemudian dia memeluk tubuh gadis itu.

Liana menerima pelukan dari Galia.

"Kemana saja kau, nak? Ya ampun... Lima tahun aku tidak pernah melihat mu." Air mata Galia menetes saat mengucapkan kata-katanya.

Liana tersenyum simpul, "maaf, bu Galia. Aku tidak bilang-bilang saat pergi dari rumah."

Adeon juga muncul di ruang tamu, dia kemudian mengeluarkan handphone nya. Hendak menelpon seseorang. Tampaknya Adeon menghubungi Puput yang sedang sibuk bekerja, agar gadis itu pulang sebentar demi menemui Liana.

"Ayo, Li, kita masuk." Galia berjalan ke dalam rumah sambil menggandeng Liana. Tom, Rachel, dan Nara mengikuti.

Tak lama kemudian, Puput juga sampai. Dia segera masuk ke dalam. Di ruang tamu, sudah ada kedua orang tuanya, tiga remaja yang membantu mencari Liana, dan Liana sendiri.

"LIANA!" Puput berteriak, gadis rambut dikepang itu tersenyum lebar saat melihat sahabatnya yang tidak pernah muncul setelah lima tahun terakhir.

Liana menoleh, lantas berdiri, "PUPUT!" Dan langsung memeluk sahabatnya itu.

"Aw... Ku pikir aku tidak akan bisa melihat mu lagi." Puput mengencangkan pelukannya.

"Eh-eh, Put. Nafas ku sesak." Liana meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan Puput.

"Hehe, maaf-maaf." Akhirnya Puput melepaskan pelukannya. Liana merasa lega. "Rambutmu kenapa bisa ungu begini?" Gadis itu memperhatikan rambut panjang Liana.

"Aku mengecat nya di salon kecantikan." Jawab Liana sambil tersenyum manis.

Tom tertawa pelan saat mendengar lawakannya dipakai.

"Waw, salonnya pasti mahal, kan? Terlihat natural begini." Puput mengusap rambut Liana dari atas sampai bawah.

Liana mengangguk-angguk, Puput polos sekali. Dua gadis itu lalu beranjak duduk di sofa.

Orang tua Puput mulai bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, kemana Liana pergi, dan dimana Liana hidup selama lima tahun ini. Gadis itu segera menceritakan semuanya dengan detail. Mulai dari alasan dia ingin membunuh ayahnya, lalu saat dia kabur ke hutan utara, sampai akhirnya ditemukan oleh Kalani. Dan Liana pun hidup di desa tradisional bersama neneknya itu, tanpa menyentuh teknologi modern sekalipun.

Hand and WondersWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu