30

241 31 5
                                    






Selepas pelanggan Wonwoo pergi, Mingyu memberanikan diri untuk mendekati stan bunga Wonwoo. Merasa ada yang mendekatinya, tanpa mendongak Wonwoo yang sibuk merapikan meja kerjanya langsung bertanya karena berpikir orang itu adalah pelanggan.

“Selamat siang, ada yang bisa kubantu?”

Bukannya menjawab Mingyu justru meletakkan selembar foto di meja yang membuat Wonwoo menghentikan kegiatannya setelah melihat foto itu.

“Bisa buatkan aku buket dari bunga itu?”

Mingyu bisa melihat dengan jelas tangan Wonwoo yang memegang cutter bergetar.

“Kenapa? Kau tidak bisa?”

“Akan saya buatkan. Silahkan tunggu.” putus Wonwoo akhirnya setelah berhasil menenangkan diri. Dia dengan telaten mulai menyiapkan pesanan Mingyu dan berusaha mengabaikan tatapan intens yang dilayangkan pemuda itu padanya.

“Aku lega kau baik-baik saja.” ungkap Mingyu memecah keheningan, “Kau tahu, hari ini aku mendapat jawaban hampir semua pertanyaan di kepalaku. Tentang bagaimana kabarmu, bagaimana kau menjalani kehidupanmu, apa kau bertemu dengan orang baik, dan… apa kau bahagia.” Mingyu diam sejenak sebelum melanjutkan, “Kau bahagia, kan, Wonwoo-ya?”

Mingyu yang sadar pertanyaan retorisnya melanjutkan, “Aku senang kau bahagia. Sekarang aku bisa sedikit tenang.”

Selanjutnya keheningan kembali menguasai atmosfer di antara keduanya. Mingyu tidak bisa melanjutkan percakapan tunggalnya karena takut Wonwoo tidak nyaman. Sedikit yang dia tahu kalau Wonwoo setengah mati berusaha fokus dan menahan gejolak aneh di dadanya meskipun gagal karena tidak peduli sekuat apapun dia mencoba, pengaruh kalimat Mingyu sangat kuat sampai-sampai buket yang ia buat terlihat tidak rapi.

“Kenapa kau belum mengirim pesan untuk Seulgi? Dia khawatir, kau tahu?”

Pertanyaan yang diajukan pemuda itu sederhana saja bahkan bisa dibilang itu pertanyaan yang wajar. Hal yang tidak wajar adalah dia yang tiba-tiba merasa marah. Tanpa diperintah otaknya mulai membuat spekulasi kalau yang Mingyu lakukan sekarang adalah demi Seulgi. Semua kekhawatiran dan kelegaan yang dirasakan pemuda itu semata-mata karena perasaannya terhubung dengan Seulgi.

Spekulasi itu membuat dadanya berdenyut sakit. Ingatan masa lalu kembali menghantuinya. Hal itu membuatnya reflek membanting buket pesanan Mingyu untuk menghilangkan bayangan itu.

“Wonwoo-ya, kau baik-baik saja?”

Wonwoo tidak langsung menjawab. Dia justru mendongak dan tatapannya sukses membuat dada Mingyu berdenyut. Firasatnya mengatakan kalau dia akan terluka sebentar lagi.

“Kenapa kau kemari?” sentaknya, “Ingin mengejekku?"

“Won…”

“Bisakah kau berhenti ikut campur? Mengkhawatirkanku?” Wonwoo mendengus remeh, “Omong kosong!”

“Wonwoo-ya, ada apa denganmu?” Mingyu merasa sangat bingung karena kemarahan tiba-tiba Wonwoo.

“Kenapa kau kemari? Kenapa kau harus muncul lagi? Apa kau disuruh mereka? Untuk membujukku kembali? Kalau memang iya, katakan pada mereka kalau sudah menaruh harapan terlalu banyak padamu.”

Mata keduanya saling bertabrakan dengan sorot mata yang berbeda. Satu penuh emosi dan satu lagi jelas terluka.

“Apa kau tidak sadar kalau kau juga salah satu yang membuatku memilih pergi? Atau kau berpura-pura tidak tahu? Kalau begitu biar kuperjelas padamu. Kau adalah salah satu mimpi burukku, salah satu dari memori masa laluku yang ingin kuhapus. Jadi dengarkan baik-baik, kalau semua kekhawatiranmu tadi benar, kalau kau memang lega aku bahagia, maka jangan kembali merusak kebahagiaanku. Jangan bersikap seolah kau mengenalku dan akan lebih baik lagi kalau kau tidak menunjukkan wajahmu lagi di hadapanku!”

SequoiaWhere stories live. Discover now