[ BAB - 08 ]

1.3K 285 107
                                    


Bantu koreksi typo, ya!

[ BAB 08 - OPPOSITES ]















“Adip bener-bener enggak berangkat sekolah? Bu— tapi, dia setiap pagi berangkat pake seragam, kok.”

Bukan jadwal piketnya—La Lula memilih duduk di kursi meja pojok ruangan BK. Ia menyimak umpan balik orangtua Adip. Seorang ibu yang mengenakan baju bermotif kembang bunga, dipadu celana kain yang tinggi-nya di atas mata kaki.

Selagi ibunya dan guru konseling beradu argumen, Adip malah nampak santai dan acuh tidak acuh— seolah enggan peduli. Padahal, ibunya berusaha bernegosiasi supaya sang putra tidak diberikan hukuman terberat, yakni—surat mutasi.

Penampilan Adip lumayan kacau-balau. Ia tidak mengancing tiga kancing ter atas, di lehernya tergantung rantai besi, ia tidak memasang sabuk—parahnya, bekas tindik muncul di kuping laki-laki itu.

Penampilan yang sangat urakan, untuk siswa yang notabene masih kelas XI.

“Maaf, ya, Bu guru, saya ngebesarin Adip sendiri, tanpa bantuan ayahnya.” Si ibu menggantung sepersekian detik, ia mengatur napas, seolah belum siap mengutarakan persepsi. “Saya enggak minta anak saya dimaklumi, enggak apa-apa dia memang buat salah. Tapi, tolong jangan di-drop out. Ibu kasih Adip hukuman yang setimpal. Boleh, kok, dia dihukum bersihin toilet sebulan, asalkan jangan dikeluarin dari sini, Bu. Saya udah enggak punya uang untuk biaya pindah sekolah. Maafin sikap anak saya, mungkin faktor kurang sayang dari ayahnya—anak saya jadi berandalan di sekolah. Saya juga minta maaf, saya gagal mendidik anak saya.”

Dua bulan absen berturut-turut. Sebenarnya, sudah tidak ada kesempatan lagi bagi Adip. Bahkan, tidak ada tawaran negosiasi. Beruntung, hasil diskusi antar sesama guru BK, keputusannya masih perlu dibincangkan kepada orangtua Adip, bagaimana baiknya agar semua pihak tidak dirugikan.

Toh, sekolah menerapkan beberapa kebijakan yang setiap kasusnya akan dikembalikan pada keputusan guru BK.

“Adip, semisal kami maafin, kamu janji bakal rajin dateng ke sekolah?” tanya guru BK yang tempo hari mengintrogasi Adip.

Adip mengendikkan bahu. “Terserah, sih, Bu.”

“Adip!” tegur sang mama.

Si siswa merotasikan bola mata. “Yaudah, sih, Ma— kalau Adip diberhentiin biarin, aja, lah.”

“Sebentar, ya, Bu. Saya ngomong ke Adip dulu.”

Hendak meraih tangan putranya. La Lula bangkit, kontan ia menjadi pusat perhatian, sebab decitan kursi kayu yang bergesek lantai, menimbukan bunyi. Lantas, ia melempar tatapan datar kepada Adip.

“Ibu, menurut saya diskusi udah selesai. Enggak usah diperpanjang. Mending, saya yang ngomong sama anak Ibu,” kata La Lula, kalimatnya terkesan kasar. “Abis saya ngobrol, saya serahin keputusan ke anak Ibu. Percuma Ibu ngebujuk Adip, kalau Adip-nya males sekolah, ya—enggak berguna, Bu. Tombak utama anak sukses dari pribadinya, bukan orangtuanya.”

Adip mendelik, tanpa sadar menghadiahi La Lula sorotan tajam. Alih-alih tersinggung, orangtua Adip justru tersenyum kaku. Benar, kalimat yang La Lula lontarkan adalah fakta. Lantas, ia mengangguk— menyepakati kesimpulan La Lula. Usai berpamitan pulang, La Lula mengajak Adip yang ogah-ogahan memasuki ruang konsulnya.

Guru BK yang lain, sedikit menyayangkan aksi La Lula, yang menunjukkan sisi tidak sopan. La Lula memang begitu—selalu berlaku tidak etis kepada orangtua siswa yang kekurangan. Makanya, tidak salah dirinya banyak dibenci, termasuk orangtua siswa.

Marriage On RulesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang