[ BAB - 09 ]

1.4K 289 206
                                    


Bantu koreksi typo, ya!

[ BAB 09 - TANDA ]






Ketukan ketiga tidak kunjung mendapat tanggapan, Rafiqh terpaksa menekan knop pintu—mendorong papan berbahan dasar kayu jati tersebut. Si pemilik kamar tidak mengunci, ia lantas melangkah masuk ke dalam ruangan. Netranya tertuju ke meja kerja, ia berniat mencari kunci mobil yang tempo hari dipinjam oleh si sulung dan belum dikembalikan.

Pola kernyitan terukir sempurna pada alis tebalnya begitu melihat kondisi meja kerja Radhyan, tumben sekali berantakan. Padahal, sang kakak type orang yang tergila-gila atas yang namanya kerapian.

Layar laptop pun masih menyala, ia berniat ingin me-nonaktifkan benda itu. Masih hangat, berarti Radhyan baru saja terlelap pada pukul enam dini hari. Pekerjaan apa yang membuat Radhyan rela begadang begini?

Huh?

Tampilan layar laptop menunjukkan website google yang tengah mencari kata kunci berjudul “Desa di Indonesia yang tidak sepi”. Ia terulur, memindah kursor ke tab selanjutnya. Masih dengan kata kunci yang sama, bedanya Radhyan sudah membuka isi artikel.

Rahang Rafiqh nyaris terjatuh melihat betapa tak terhingga-nya jumlah tab yang dipencet Radhyan.

Mungkin—sekitar tiga puluhan? Dengan beragam kata kunci berbeda, yang intinya tetap sama, yaitu mencari daerah terpencil yang mempunyai lingkup ramai, tetapi tidak padat kendaraan.

Apakah Radhyan berencana pindah bersama istri selepas menikah? Ia bahkan mencari lahan kosong, yang mungkin akan dibangun rumah impiannya.

Terbukti, di atas meja berhamburan lembar kertas conton design rumah modern. Lucu sekali si sulung, menyuruh personal assistant-nya mengumpulkan informasi vendor WO, sedangkan ia sibuk memilih design rumah masa depan.

“Rafiqh?”

Spontan, Rafiqh berpaling, menatap Radhyan yang baru terbangun. Kancing piyama kakak sulungnya terlepas. Dirinya bisa melihat dengan jelas, bekas luka yang menghiasi dada ke batas perut pria itu.

Luka yang sudah sembuh, tetapi jejaknya tak akan hilang seiring waktu berlalu.

Are you okay?” tanyanya, terbersit artikulasi sarat kecemasan.

“Ya,” balas Radhyan, ia bangkit—menuruni ranjang sambil mengancing piyama. “Udah ambil kunci?”

“Kapan ke psikiater?”

Alih-alih menjawab, Rafiqh mengajukan tanya. Ia tidak segampang itu melupakan kekhawatirannya seputar kondisi Radhyan.

“Lusa.”

“Bareng,” sahut Rafiqh.

Radhyan mengangguk, “Oke.”

“Lanjut tidur,” suruh si tengah, mengingat Radhyan belum terlelap nyenyak.

Si sulung pasti mengantuk usai begadang.

“Mau anter teh Lula ke sekolah, Rafiqh.” Radhyan menimpali, ia menuju kamar mandi. “Udah janji.”

Bukankah Radhyan terlalu memaksakan diri? La Lula akan mengerti jika kakaknya menjelaskan situasi. Ia takut—takut insiden kembali terulang.

Pasangan Radhyan tidak sekalipun melihat effort sang kakak. Bahkan, dengan kondisi nyaris mati—

Ah ..., tidak.

Keyzia dan La Lula dua orang yang berbeda, 'kan? Ia tak sepatutnya berprasangka buruk.

Marriage On RulesDove le storie prendono vita. Scoprilo ora