Haruto terduduk gemetar, tubuhnya seakan membeku di tempat. Kakinya yang biasanya gesit dan siap bergerak kini terasa berat seperti tertanam di tanah. Pikirannya kacau balau, suara di dalam kepalanya seolah menjadi gema jauh yang tak bisa ia fokuskan. Semua yang dia pelajari, semua kekuatan yang telah dia kumpulkan, terasa tak berarti di hadapan monster ini.
Laba-laba raksasa itu berdiri diam, tak bergerak. Hanya kaki-kakinya yang panjang dan berlapis duri yang sesekali bergerak pelan, seolah menguji kesabaran Haruto. Makhluk itu tidak menyerang, tidak terburu-buru untuk menghabisinya. Seolah-olah, Haruto hanyalah mangsa yang sudah pasti tak akan lolos.
"Kenapa dia tidak bergerak...?" Haruto bergumam, napasnya putus-putus. Tapi dia tahu jawabannya. Monster ini tahu dia tidak perlu terburu-buru.
Seolah-olah setiap detik yang berlalu hanyalah permainan bagi makhluk itu. Haruto bisa merasakan udara di sekelilingnya makin dingin, napasnya menjadi berat. Hawa mematikan dari laba-laba itu meresap di udara, menekan setiap celah harapan yang tersisa.
"Aku... aku harus bergerak," pikir Haruto, berusaha membangkitkan keberanian. Tapi tubuhnya tidak menuruti pikirannya. Pandangannya terfokus pada kaki-kaki besar itu—mengkilat, berselimut duri, siap mencabik-cabiknya dalam sekali gerakan.
Monster itu masih diam, tapi kehadirannya begitu menekan, seperti bayangan kematian yang menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Satu kesalahan saja, dan Haruto tahu... segalanya akan berakhir.
Ketegangan meningkat. Haruto bisa merasakan detak jantungnya berdenyut di telinganya, cepat dan tak teratur. Matanya terpaku pada monster itu, berharap makhluk tersebut tidak akan bergerak. Namun, semakin lama ia menunggu, semakin jelas baginya—diamnya monster itu hanyalah tanda bahwa ia sedang bermain dengan mangsanya.
"Aku harus... kabur... atau melawan...," pikirnya. Tapi apa yang bisa dia lakukan?
Kejadian itu terjadi begitu cepat. Sebuah kaki laba-laba, setajam bilah pedang, tiba-tiba bergerak dengan kecepatan yang tak terduga, menusuk tubuh Haruto tepat di sisi kanan. Haruto terbelalak, tubuhnya langsung terasa lemas, seluruh kekuatan seakan lenyap dari tubuhnya dalam sekejap. Sebelum dia bisa mengatur napas atau bahkan berpikir, sebuah kaki lain dari monster itu bergerak, menusuk bagian kirinya dengan ketepatan yang sama.
"Ghaah!" Suara jeritan kesakitan keluar dari mulut Haruto, bercampur dengan semburan darah yang memancar dari kedua sisi tubuhnya.
Rasa sakit yang mendalam menusuk sampai ke tulang. Napasnya tersengal-sengal, dunia di sekelilingnya mulai terasa samar, seolah kabur akibat trauma yang mendadak. Dia merasa seolah-olah tubuhnya tak lagi miliknya, tak lagi berada dalam kendalinya.
Arachiara, monster di depannya, tidak berhenti di situ. Kaki-kaki tajam itu mengangkat tubuh Haruto dengan mudah, seperti mangsa kecil yang tertangkap dalam jaring raksasa. Dari sudut pandang ini, Haruto akhirnya bisa melihat bentuk utuh monster yang menyerangnya.
Di atas kaki-kaki laba-laba itu, ada tubuh manusia—bagian atas yang menyerupai wanita, namun jelas bukan manusia biasa. Wajahnya cantik, namun menakutkan, dengan mata berkilat merah dan senyum licik yang menyeramkan di bibirnya. Kulitnya putih pucat, kontras dengan tubuh laba-laba di bawahnya. Dia adalah Arachiara, spesies tertinggi dari monster laba-laba, seekor Arachne—makhluk setengah manusia setengah laba-laba yang hanya bisa lahir dari keturunan monster unik atau hasil evolusi yang sangat langka.
"Ghaaah!" Haruto mengerang lagi, lebih banyak darah mengalir dari mulutnya.
Setiap napas yang diambilnya adalah perjuangan, dan setiap detik tubuhnya terasa semakin berat. Tusukan di kedua sisi tubuhnya semakin dalam, kaki-kaki Arachiara terus menahan dirinya dengan kekuatan yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead or Alive in Second Life : RE
FantasyBercerita tentang anak SMA biasa bernama Takumu Hiyoshi yang di reinkarnasikan sebagai World Order yang baru. Demi menjaga tatanan di sana, Takumu menyembunyikan identitasnya dengan Bereinkarnasi kembali menjadi anak dari kepala desa di wilayah Nord...