Chapter 4

9.4K 1K 72
                                    

.

.

.

Kita, tidak boleh jatuh cinta pada satu sama lain.

-x-


"Dan kenapa," Jaeyeon berkata galak setelah Jongin menghentikan mobilnya di tepi jalan raya tidak jauh dari restoran. "Kau membawaku ke sini?"

Jaeyeon tergoda untuk mengatakan 'berani-beraninya kau muncul di hadapanku lagi', tapi stok lidah ularnya menguap sejak meninggalkan dapur tadi.

"Ada yang ingin kukatakan padamu." Jongin menggapai sesuatu dari bawah kursi Jaeyeon—dengan cepat, syukurnya, karena Jaeyeon punya refleks yang terlalu bagus dan hampir menggetok kepalanya—dan meletakkannya di pangkuan gadis itu. "Pertama, ini barang-barangmu yang kautinggalkan semalam."

Jaeyeon berdeham ketus. "Oke."

"Aku minta maaf soal ibuku," kata Jongin. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa yang dilakukannya di sini. Kuharap dia tidak terlalu menyulitkanmu." Jeda sejenak. "Tapi melihat ekspresinya tadi, kurasa kau menghadapinya dengan baik."

Jaeyeon tidak yakin apa saja yang ia katakan tadi—sepertinya ia merocos begitu saja—tapi kalau Jongin menganggap kerjanya bagus, itu bisa dikatakan positif.

Tunggu, Jaeyeon kan tidak bekerja untuknya, jadi bagus apanya.

"Aku juga bersalah padamu," lanjut Jongin, "karena melibatkanmu dalam masalah keluarga itu."

Jongin mengatakan keluarga itu seakan-akan ia sedang membicarakan keluarga orang lain. Jaeyeon bisa mengerti. Kalau ia yang punya keluarga seperti itu, ia juga tidak terlalu ingin mengakuinya, sebanyak apa pun uang yang mereka miliki. Mungkin alasan inilah yang membuat Jaeyeon tidak bisa benar-benar membenci Jongin, terlepas dari apa yang laki-laki itu lakukan semalam. Tinggal di rumah dengan keluarga yang tidak saling menyukai, dibebani tanggung jawab yang tidak diinginkan, sementara tiap tindak-tanduknya diamati publik, seseorang bisa gila dengan tekanan sebesar itu.

"Tidak hanya ibuku, ayahku mungkin saja akan mengganggumu juga. Dan percayalah, ada lebih banyak yang bisa dia lakukan." Jongin menghela napas pendek. "Mereka suka sekali mendramatisir segala hal."

Jaeyeon mendengus dan tersenyum miring. "Jadi, kau datang untuk memberi peringatan dini?"

Jongin terkekeh pelan. "Setelah kau katakan, mungkin iya. Tapi sebenarnya aku datang untuk berterima kasih atas bantuanmu."

Jaeyeon merasa Jongin menatapnya, tapi ketika ia menoleh, laki-laki itu sedang menatap lurus ke jalanan di depannya.

"Karena kau sudah menepati janji, aku juga harus menetapi janjiku, kan?"

"Apa maksudmu?"

"Uangmu," kata Jongin. "Tujuh puluh juta won itu. Yah, aku tidak bisa membawa uang tunai seperti yang kau minta. Apa kau keberatan dengan cek?"

Benar. Itulah satu-satunya alasan mereka bertemu. Jaeyeon butuh uang. Setelah laki-laki itu membayarnya, mereka tidak akan bertemu lagi—tepatnya, Jaeyeon tidak perlu menemuinya lagi dan bisa hidup dengan tenang. Tapi, entah kenapa ide itu malah membuat gumpalan besar menyumbat tenggorokannya.

Jongin mengulurkan selembar kertas panjang bertuliskan nominal uang dan tanda tangan. "Ini."

Jaeyeon menerimanya dengan tangan kaku dan mulut hambar. Ia sudah mempertaruhkan segalanya demi uang itu, dan sekarang ia tidak menginginkannya. Rasanya aneh.

"Aku sudah menyulitkan hidupmu dengan cukup banyak hal." Jongin menoleh pada Jaeyeon dan tersenyum kecil. "Aku akan mengurus masalah orangtuaku, jadi kau tidak perlu khawatir. Akan kupastikan tidak ada yang mengganggumu lagi."

Loveless CovenantWhere stories live. Discover now