Chapter 6

9.3K 975 53
                                    

.

.

.

Bisakah, seseorang takut pada cinta?

-x-


Jaeyeon kelihatan lega sekali begitu mereka turun dari pesawat dan kembali menjejak tanah, berjalan melewati pintu kedatangan yang sarat pendatang.

"Tolong katakan padaku kalau kita tidak perlu naik tabung terbang itu lagi untuk pulang," Jaeyeon berkata terengah-engah, menyeret kopernya seperti itu beban terberat di dunia.

Jongin berjalan tegak tanpa masalah, ransel di satu bahu. Ia menoleh pada Jaeyeon, tapi tatapan herannya terhalang kacamata hitam. "Kita akan pulang dengan pesawat, tentu saja," sahutnya.

Jaeyeon mengatupkan rahangnya rapat-rapat dan menggerundel, "Kalau begitu, cukup sudah. Aku akan tinggal di pulau ini saja."

"Jangan konyol." Jongin tidak bisa menahan tawa. "Kau tidak selalu terancam mati karena naik pesawat."

"Kau tidak pernah tahu," dumal Jaeyeon.

Jongin menggeleng-geleng sebagai ganti kalimat, Ya, ya, terserahlah. "Kau baik-baik saja?" Ia berhenti sejenak untuk mengamati Jaeyeon yang kepayahan dan pucat. "Masih bisa berdiri. Tidak masalah."

Jongin berjalan acuh tak acuh mendahuluinya dengan kaki-kakinya yang jenjang, dan Jaeyeon membayangkan pasti bahagia sekali rasanya kalau sepatunya melayang dan bagian solnya yang keras menghantam belakang kepala laki-laki itu.

***

Melarikan diri dari bawah hidung ayahnya tidak sulit, terutama karena ayahnya adalah tipe orang yang berpikir ia tidak bisa dilawan. Jongin tinggal memesan tiket penerbangan ke Tokyo sesuai yang diperintahkan dengan kartu kredit dari ayahnya, lalu diam-diam membeli tiket penerbangan ke Jeju sehari lebih awal dengan tabungan pribadinya-cara yang sama dengan yang dilakukannya untuk membeli apartemen. Sekarang ia bisa berlibur dengan bahagia tanpa dilacak dan semua orang boleh panik karena pengantin mereka lenyap. Hadiah yang setimpal.

Satu-satunya yang kurang, pelarian yang buru-buru ini berarti hampir tidak ada persiapan. Tapi Jongin menyukainya. Tidak terencana, itu bagian yang paling menyenangkan.

Mobil penjemput dari hotel telah menunggu mereka di depan bandara. Setelah sopirnya mengangkut barang bawaan mereka, Jaeyeon dan Jongin duduk di kursi belakang dalam diam selama dua menit pertama.

Jongin membuka mulut duluan ketika melihat Jaeyeon mengeluarkan ponsel dari saku jinsnya. "Sebaiknya kau tetap mematikannya."

Jaeyeon menoleh tidak mengerti. "Kenapa?"

"Kita ini dalam pelarian, semua orang sedang mencari kita."

Jaeyeon melihat wajah terperanjat si sopir dari kaca spion dalam, lalu tertawa keras dan dibuat-buat. "Oh, astaga, kau ini benar-benar lucu." Ia menampar lengan Jongin.

"Aduh!" Jongin mengelus lengannya dan beringsut menjauh. "Apa-apaan-"

Jaeyeon tertawa-tawa lagi, tapi matanya menatap Jongin tajam. Tutup mulut atau kupukul sungguhan, begitu maksud tatapannya. Dan syukurnya Jongin paham-kurang lebih-karena ia buru-buru tutup mulut.

Mereka tiba kira-kira lima belas menit kemudian. Gedung hotel itu menjulang tinggi, dengan pintu kaca besar yang membuka langsung ke lobi utama berbentuk setengah lingkaran. Lampu gantung kristal menggantung di atas langit-langit kubah yang tinggi. Kursi-kursi bulat dan meja kayu disiapkan untuk orang-orang yang sedang menunggu, pot besar pohon palem diletakkan di sudut-sudut. Di mana pun terdengar suara sepatu sibuk berkeletak-keletuk di atas lantai marmer.

Loveless CovenantWhere stories live. Discover now