Chapter 10

7.7K 880 51
                                    

.

.

.

Waktu tidak menyembuhkannya, hanya membuatnya semakin rapuh.

-x-


Jaeyeon tahu dengan sendirinya apa yang terjadi tadi malam. Semua ada di berita. Hampir seolah-olah ada yang menanas-manasi media untuk menyebarkannya besar-besaran. Pengerusakan di rumah keluarga Kim. Kekacauan di kelab malam. Dua orang terluka dirawat di rumah sakit. Kecelakaan mobil. Tidak ada korban jiwa. Kim Jongin akan dipanggil ke kantor polisi untuk pemeriksaan.

Keadaan Jaeyeon tidak lebih baik. Setidaknya selusin reporter menghalangi jalan masuknya ke restoran dengan mikrofon dan kamera. Jaeyeon merasa seperti menghadapi kematian orangtuanya lagi, saat ia dikejar-kejar media demi sepenggal komentar dan keterangan yang tidak bisa ia berikan karena ia terlalu terguncang. Restoran terpaksa diliburkan sementara.

Maka disinilah Jaeyeon sekarang, putus asa ingin melakukan sesuatu, tapi tidak tahu apa yang bisa dilakukan.

"Aku tahu cepat atau lambat kau akan mencariku."

Jaeyeon dan Hyosung duduk berhadapan di meja bundar dekat jendela sebuah kafe kecil dua puluh empat jam. Mereka satu-satunya pelanggan di kafe itu, karena saat ini hampir sudah lewat setengah satu pagi dan kesibukan sudah surut dari tempat-tempat seperti ini. Pramusaji di balik meja kasir menguap saat mengantarkan pesanan mereka tadi—latte dan espresso ukuran sedang.

"Kau sudah dengar beritanya?"

Hyosung mengangkat bahunya acuh. "Aku tidak membaca sampah. Tapi, berhubung kau mengungkitnya, apa dia baik-baik saja?"

"Tidak."

"Tidak," ulang Hyosung getir. "Tentu saja. Dikhianati seperti itu oleh orang-orang yang dianggapnya keluarga, siapa pun bisa bertingkah gila, dan dia justru dianggap penjahat." Hyosung mereguk espresso-nya. "Well, jadi apa yang kauinginkan?"

"Ceritakan padaku."

"Apa?"

"Kim Jongin."

Hyosung tertawa sarkastik. "Kau terlalu ikut campur untuk seseorang yang dibayar untuk pura-pura menikah," katanya. Tapi setelah satu sesap espresso lagi, ia berkata, "Dia masuk ke rumah itu sebagai Kim Jongin delapan belas tahun yang lalu, setelah bibi Injung menikah dengan paman—maksudku ayahnya Jongin, atau mantan ayahnya, terserah. Tidak ada yang menyukai perempuan itu di keluarga. Latar belakangnya tidak jelas. Kudengar dia mantan hostess. Masa bodohlah, kita tidak sedang membicarakan dia. Pokoknya, dia punya anak laki-laki. Anak paman, katanya. Paman belum punya penerus, jadi kedatangan anak itu semacam... apa, ya? Berkah? Yah, happy ending for all."

Sarkasme dalam suara Hyosung mengambang di udara dalam gelembung-gelembung besar yang membuat dada Jaeyeon sesak.

"Lalu Jongin kecil kita mulai dilatih menjadi pewaris seperti seekor anjing liar. Dipukul, ditendang, diberi makan, dikurung, dan mereka bertingkah seolah-olah itu demi kebaikannya, karena mereka mencintainya. Bullshit. Tidak satu pun menolongnya, bahkan ibunya.

"Jongin tidak bisa membicarakannya dengan siapa-siapa, mungkin karena takut, mungkin karena tidak ingin menjelekkan keluarganya. Entahlah. Tapi aku tahu. Aku melihatnya sendiri. Kami tumbuh bersama sejak kecil."

"Aku tahu," kata Jaeyeon otomatis. "Jongin pernah mengatakannya."

Hyosung melanjutkan seakan tidak mendengar Jaeyeon, "Kau tahu, anak-anak belajar dengan mencontoh. Keluarga Kim membentuk cinta dan perhatian sebagai rasa sakit. Jongin tidak menyukainya. Kata cinta jadi menakutkan. Dia tidak bisa mencintai orang lain. Dan dia tidak ingin dicintai karena takut dilukai. Mungkin ini terdengar remeh bagimu, tapi kau tidak pernah melihat orang berkeringat dingin, pucat pasi, dan nyaris kehilangan kesadaran saat membaca surat cinta, kan? Kuberitahu, keadaannya sama sekali tidak lucu."

Loveless CovenantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang