Chapter 7

1.2K 118 11
                                    

Aku merasakan seseorang menepuk tanganku beberapa kali dengan pelan. Aku baru saja terlelap, mungkin baru satu jam atau bahkan kurang dari itu. Aku berkedip sesekali dan melihat Jo yang menatapku, wajahnya terlihat pucat.

"Bagaimana tidurmu? Matahari sudah mulai terbit." Sapanya.

Jo menatapku dengan tersenyum dan lingkaran hitam di sekeliling matanya. Aku membalas senyumnya seadanya. Meskipun sangat mustahil untuk tersenyum bagiku pagi ini.

"Aku tertidur lelap," aku berbohong. "Kita harus kembali berjalan, bukan?" kembali menghadapi maut lebih tepatnya. Aku mensyukuri setiap aku membuka mataku dan masih dapat melihat dunia. Mungkin dahulu kala sebelum kondisi seperti ini banyak manusia bodoh yang tidak bersyukur atas kenikatannya. Namun jika sesuatu sudah terjadi seperti sekarang ini, semua orang mengeluh dan berteriak.

Jo meregangkan tangannya, lalu menarikku berdiri, "Ayo, kita hadapi dunia."

Kalimat itu mampu membuat hatiku bergetar, meskipun wajahku hanya datar dan mata yang hampir membentuk garis tipis layaknya mata cipit asia.

Aku dan Jo mengemasi persediaan kami, mengisi air bersih ke dalam botol. Untung saja dengan tidak sengaja kami menemukan keran air yang masih menyala. Walau airnya hanya menetes, tapi cukup untuk mengisi perbekalan air minum.

Aku menghela nafas, lalu membongkar tasku dan mengambil dua buah roti terakhir yang kami temukan beberapa hari yang lalu. Aku menyodorkannya kepada Jo.

"Untukmu, pasti kau lapar."

Jo menaikkan alis, "Yang benar saja, simpan itu untukmu besok." Lalu pria itu menarik tasnya.

Aku menyimpan sepotong roti yang seharusnya untuk Jo kembali ke dalam ransel kecilku, lalu membuka bungkus roti jatahku. Jo sudah berjalan beberapa langkah di depanku. Aku tersenyum tipis melihat roti malang yang sebenarnya dapat kusantap sepersekian detik karena aku benar-benar lapar, namun aku memilih memotongnya menjadi dua bagian.

"Hei! Soldier!" panggilku tegas.

Jo menoleh dengan tatapan bertanya.

Aku berjalan mendekatinya, "Buka mulutmu, kau harus makan untuk tetap melindungiku."

Aku melihat ekspresi tegang Jo yang berangsur-angsur mendingin, ia tersenyum dan menggeleng.

"Nanti saja suap menyuapnya." Ucapnya sambil mengambil sepotong roti dari tanganku, lalu memakannya, dan kami kembali berjalan.

Aku menendang sebuah botol sehingga terdengar bunyi pecah yang tidak terlalu keras, namun sampai membuat Jo menoleh keras karahku. Dan aku hanya bisa tersenyum tanpa dosa dan mengangkat bahuku.

Kami berada di bawah tugu nasional yang mana hanya berjarak dua ratus meter dari gedung perpustakaan kota. Aku dan Jo berkeliling sepanjang malam untuk menemukan tempat bersembunyi yang ideal untuk beristirahat sesaat. semalam beberapa kanibal masih terjaga hingga dini hari. Mengingat kami tak mungkin membuat keributan dan jelas kami kalah jumlah, kami memilih engendap-endap, dan mencari tempat yang aman.

Aku meringis saat melihat gedung kecil tempat Mom ku tinggalkan. Gedung itu tak terlihat detailnya dari tempat aku berdiri. Hati kecilku masih mempercayai kebohongan Mom yang berjanji untuk menemuiku dimanapun aku berada. Kebohongan itu hadir di mimpiku saat tidur singkat tadi. Sehingga membuatku berharap. Berharap Mom baik-baik saja.

"Jangan lengah," ucap Jo menyadarkanku. "Mungkin jam-jam seperti ini mereka tidak berkeliaran. Kau harus waspada jika mereka tiba-tiba muncul."

Aku mengangguk. Aku sudah sangat agresif belakangan ini. Dengan cepatnya aku menancapkan sebatang pisau dapur ke dada pria gempal kemarin malam, meski aku sedikit terlambat dan Mom menjadi korban. Sejujurnya aku masih ingin membunuh pria itu, meskipun aku sudah melakukannya dua kali, tapi tetap saja ia tidak merasa kesakitan. Tidak seperti yang Mom rasakan.

The CannibalsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang