Chapter 8

1.1K 109 10
                                    

Erick menarikku dan Jo ke sebuah ruangan kosong berdebu yang cukup lebar. Ia meletakkan kotak bawaannya lalu mengeluarkan sesuatu. Sebuah botol berwarna hitam dengan ukuran tidak terlalu besar.

"Kanibal di gedung ini jumlahnya tidak terhitung, sekuat apapun kalian, kalian akan tetap kalah jumlah." Ucap Erick sambil mengocok botol di tangan kanannya, lalu ia mendekatiku dan menyemprotkan isi botol itu.

"Hei apa itu." Ucap Jo kasar sambil melangkah ke depan Erick.

Aku mendesah, "Jo!"

Jo menatapku singkat, lalu beralih ke Erick. Erick hanya tersenyum kecil. "Aku hanya ingin membuat kalian tetap hidup. Cairan ini disebut parfum, baunya dapat menyamarkan bau manusia kalian."

Aku mengangguk. Erick juga menyemprotkan cairan itu ke Jo, lalu ia mengembalikan benda itu kembali ke barang bawaannya.

"Ayo kembali berjalan, labku dua lantai lagi dari tempat ini. Pastikan kalian berjalan di belakangku, dan jangan bersikap aneh." Ucap Erick panjang lebar dan diakhiri senyum kecil. Tak ada noda darah di sela-sela giginya, ia terlihat benar-benar normal.

"Aku punya adik." Ucap Jo saat Erick berada di ambang pintu. Erick berhenti melangkah.

Aku dapat mendengar helaan nafas berat Erick. Setidaknya ia lebih muda beberapa tahun dariku, tapi ia pasti menjalani hidupnya dengan berat diantara para kanibal gila di gedung ini.

"Aku punya kakak. Mungkin sekarang ia seusia kalian. Dia orang yang baik, hanya ia yang dibawa ke camp penyelamatan. Aku tidak keberatan akan hal itu. Aku tahu kau sulit percaya padaku, sama seperti orang tuaku." Erick diam sejenak, "Oh ayolah, kita harus tetap jalan. Kalian harus tau beberapa hal hingga kalian bisa melanjutkan perjalanan." Sambungnya.

Aku merangkul Jo, ia menatapku beberapa detik, dan aku menatapnya kembali.

"Kita akan tetap hidup, percayalah padaku. Percayalah pada Erick." Ucapku berbisik.

"Aku percaya padamu, aku hanya takut sesuatu terjadi padamu."

Aku mengangguk, lalu menarik Jo untuk mengikuti Erick. Kami beberapa kali berpapasan dengan kanibal, untunglah mereka tidak menghiraukan kami. Beberapa dari mereka sedang berbicara tentang mayat pria yang di temukan pagi tadi. Aku tahu siapa mayat yang di maksud. Jelas aku yang membuatnya menjadi mayat. Jika mereka tahu pembunuh kanibal itu sedang berkeliaran di sekitar mereka, mungkin aku sudah tamat.

Erick berhenti di sebuah pintu yang tak jauh beda dengan pintu-pintu lainnya di lantai ini. Ia mendorong cukup kuat sehingga terdengar bunyi berdecit yang cukup kuat. Erick masuk terlebih dahulu, lalu aku dan Jo menyusul.

Aku mencium aroma mint yang menyegarkan. Aku terkejut, sama terkejutnya dengan Jo. Jika di ruangan ini hanya ada aku dan Jo, mungkin kami berfikir sedang ada di dunia normal. Tidak di dunia penuh dengan kanibal seperti saat ini.

Meja kayu lebar berwarna putih terpampang lebar di hadapanku, diatasnya terdapat banyak tabung reaksi bersih yang tersusun rapi. Banyak juga cairan di dalam tabung-tabung kaca yang juga tersusun rapi. Di kanan meja itu terdapat westafel lengkap dengan handuk kecil yang tergantung tak jauh dari pintu toilet, mungkin. Di dinding yang lain terdapat tempat tidur bertingkat dan meja belajar kecil di bawahnya.

"Inilah labku, kamarku, dan juga rumahku. Kanibal tidak suka bau mint." Ucap Erick sambil meletakkan kotaknya.

Aku dan Jo saling tatap.

"Kanibal lain maksudku, kecuali aku. Aku berbeda." Erick membenarkan.

Aku menatap sebuah buku yang terletak di bawah lampu belajar Erick. "The Cannibals" satu satunya tulisan yang terpampang di sampul putih buku itu.

The CannibalsWhere stories live. Discover now