TRP 11 : Teman Rasa, Move Up

29K 3K 292
                                    

Alia melirik Ardo yang sedang menyetir sambil menguap untuk kesekian kalinya. Pria itu terlihat tidak siap untuk menghadapi hari, namun Alia tidak berani menanyakan penyebabnya. Ardo juga tidak mengatakan apapun, seakan kenyataan kalau ia tertangkap basah sedang tidur dengan pacarnya bukanlah kejadian yang harus dibahas. Ia justru asyik menghabiskan oleh-oleh yang dibawa orangtua mereka dari Palembang, kemudian sibuk menguap karena kekenyangan dan mengantuk.

"Tadi malam Richi tidur jam berapa?" Pertanyaan Amara memecahkan keheningan di dalam mobil yang disewa khusus untuk mengakomodasi kedatangan Nauval dan Amara, "Kok nguap terus? Nggak mandi ya tadi?"

"Nggak tahu tidur jam berapa," Ardo menjawab sambil mengacak rambutnya, "Salahnya Mama dan Om karena datang tiba-tiba. Kalau tahu kalian mau datang, aku pasti istirahat lebih cepat."

"Bukannya kalian yang susah dihubungi?" dengus Amara jengkel, "Disuruh pulang ke Palembang, malah nggak muncul-muncul. Mama udah pusing terus-terusan ditanyain soal ukuran pakaian kalian berdua."

"Nikahnya juga masih enam bulan lagi Ma," keluh Ardo, "Jahit mah dua hari juga paling selesai."

"Dua hari?!" pekik Amara histeris, "Kamu pikir menjahit itu sulap? Mama pengennya semua jahitannya rapi, dan itu harus dipersiapkan sejak sekarang."

"Iya, iya. Cerewet," gerutu Ardo yang ditanggapi Nauval dengan kekehan geli.

Ardo menghentikan kendaraan mereka di salah satu butik sederhana, dan beriringan keempatnya keluar dari mobil. Ardo mengernyitkan kening ketika menyadari kalau sedari tadi Alia hanya diam, namun tidak sempat bertanya karena gadis itu mendapat giliran pertama diukur untuk keperluan menjahit kebaya. Diam-diam Ardo terkekeh melihat bagaimana kikuknya Alia ketika diminta merentangkan tangan untuk mengukur lingkar dada. Gadis itu bahkan tidak menyembunyikan ekspresi leganya ketika acara tersebut selesai, dan Ardo kembali kehilangan kesempatan bicara, karena kini gilirannya untuk diukur.

"Mama udah berkali-kali bilang, kamu diet dong, Nak," desah Amara melihat tonjolan di balik kaus Ardo, "Anak muda macam apa kamu ini, sampai perut aja nggak keurus?"

"Anak muda anti mainstream," kilah Ardo membuat pelayan yang sedang mengukur lebar bahunya terkikik geli, "Yang penting kan ganteng, Ma."

"Rambut gondrong gini gimana bisa ganteng?" Kecam Amara sambil berpura-pura menjambak rambut anak semata wayangnya itu.

Ardo hanya tertawa tanpa menjawab ejekan itu. Pria itu menoleh karena pelayan yang sedari tadi mengukur dirinya, kini meraih tangan kanannya. Dengan cekatan pelayan tersebut menempelkan rentengan benda persegi empat yang terdiri dari berbagai warna ke tangannya, untuk menentukan warna jas yang paling cocok untuk kulitnya.

"Richi suka yang mana?" tanya Amara ikut memperhatikan, "Mama rasa warna hitam bagus untuk kamu."

"Terserah Mama aja," jawab Ardo sambil menguap, "Warna apa juga boleh."

"Tapi kombinasi aja deh Nak, biar nggak terlalu kaku. Jadi warna dasarnya hitam, terus di pinggirannya kita kasih warna lain. Gimana?"

"Boleh," Ardo kembali menguap.

"Biru aja ya kombinasinya? Biar kompak dengan Alia."

Ardo yang sudah akan kembali menguap, melirik Alia dan mengangguk, "Ya udah, gitu juga boleh."

"Kamu ini!" desis Amara jengkel, "Semuanya boleh. Mama kasih baju badut, baru tahu rasa!"

Ardo terkekeh dan mengabaikan omelan Ibunya dengan bertanya, "Udah kan? Mau duduk."

"Udah! Dasar pemalas."

Ardo menyeringai dan sudah akan berlalu, namun tertahan karena pelayan yang sedari tadi melayaninya tidak langsung melepaskan tangannya. Gadis yang sepertinya masih magang itu tersenyum malu-malu, dan ketika tangan mereka terlepas, Ardo mendapati secari kertas di dalam genggamannya. Sambil melangkah menuju kursi tunggu, ia membuka kertas tersebut dan mendapati deretan angka tertera di dalamnya.

Teman Rasa Pacar - Slow UpdateWhere stories live. Discover now