Prolog

16.1K 1.1K 92
                                    


Prolog

Jakarta, 2015.

Telapak tangan laki-laki itu terbuka.

Daun dan bunga di genggamannya berjatuhan menyisir tanah retak dan kering di sekitarnya. Dua detik kemudian, ada tangan lain melakukan gerakan yang sama.

Pandangannya terpaku pada pungung tua yang membungkuk memunggunginya. Sayup-sayup, beberapa kalimat monolog mulai terdengar. Bunyinya... menciptakan kepahitan yang jauh lebih parah daripada tersedak bubuk kopi hitam.

Ketika tiba di tempat ini, ia memang selalu dihantui oleh rasa sakit yang amat mendalam. Ia tidak tahu persis apa saja itu. Yang pasti, ingin sekali rasanya ia menghilang ditelan Bumi. Selama-lamanya...

Seluruh dunia tahu, hubungan antara Dava dan dirinya memang tidak pernah baik. Mereka kakak-beradik tiri yang punya banyak pergulatan sengit dalam batin. Tapi, sejak kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Dava, Leo akhirnya tahu bahwa sebenarnya Dava sangat menyayangi keluarga barunya. Ia tahu itu dari Budhe Lastri saat bertemu di prosesi pemakaman Dava waktu itu.

Setiap tahun, ia dan orangtuanya tak pernah absen untuk datang ke Lestari Memorial Park dan berziarah ke makam Dava—seperti yang dapat disaksikan oleh alam semesta sekarang ini. Dan waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa hari ini adalah tepat enam tahun sejak hari kelam itu terjadi.

Leo mengepalkan kedua tangannya dan menghembuskan napas kuat-kuat. Kenapa ia masih juga terperangkap dalam rasa bersalahnya—padahal semua orang sudah memaafkannya?

Sebenarnya, pada hari-hari biasa, ia mampu menjalani hidup secara normal. Ia hampir tidak pernah bersikap aneh, atau bertingkah ala pecundang. Otaknya juga sudah 90% selalu menuju pada pemikiran masa depan.

Tapi, entah mengapa, ketika pergi ke makam Dava Argianta setiap tahunnya, pikirannya jadi kacau. Ia selalu memikirkan peristiwa tabrak lari dan detik-detik pengakuan itu...

"Leo, yuk, pulang!"

"Duluan aja, Ma. Aku nungguin Arlin."

"Ya udah. Sampai ketemu di rumah, ya."

Leo mengangguk. Ayah dan ibunya berbalik dan berjalan meninggalkannya.

Pikirannya sekarang didominasi oleh Amanda dan Revan Tavari. Dua nama itu selalu mengusiknya—menarik-ulur dirinya dan menguncinya pada kenangan pilu abadi. Sekeras dan sejauh apa pun usaha yang ia keluarkan untuk menganggap kesalahan itu sekadar pembelajaran menuju kehidupan yang lebih baik, ia selalu gagal.

Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya lembut, membuyarkan lamunannya.

Laki-laki itu menoleh. tersenyum tipis.

"Hai..." katanya agak berbisik seraya berusaha mengumpulkan lagi kekuatannya.

"Tadi aku ketemu sama orang tua kamu di ujung jalan," gadis itu berbicara seraya membenarkan syalnya.

Leo diam saja.

"Maaf ya. Aku telat, soalnya meeting di kantor molor."

"Nggak apa-apa, Lin. Ini kan cuma ziarah," sahut Leo sambil membenahi kacamatanya.

Sesaat mereka berdua terjeda dalam kebisuan. Akhirnya gadis di samping Leo meletakkan beberapa tangkai mawar putih di atas batu nisan Dava dan memejamkan matanya. Berdoa.

"Mau makan siang?" tanya Arlina sesudah selesai berdoa.

"Masih kenyang," Leo melirik jam tangannya, pukul 11 siang. "Dua jam lagi, deh."

Janji Hati 2: "Setelah Dava Tiada"Where stories live. Discover now