17: Too Good to Be Truth

2.1K 111 1
                                    


Leo keluar dari mobil dan bergegas setengah berlari melintasi halaman parkir Venice Cafe di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Ia menudungi kepalanya dengan tangan. Hujan tercurah tak terlalu deras, namun tak bisa pula dibilang ringan. Tetes-tetes air tetap saja tembus dan menimpa rambutnya. Untung jarak yang ia tempuh tak terlalu jauh. Saat ia membuka pintu kafe, baru beberapa bagian kemejanya saja yang terkena air hujan.

Begitu tiba di dalam, ia mengedarkan pandang. Kafe ini bernuansa Eropa, dengan dinding dan lantai berkesan seperti dibuat dengan kayu. Berada di sini seperti tengah ada di Paris atau London dalam kemuraman musim gugur yang melankolis. Tapi hujan yang tahu-tahu menderas segera kembali menyadarkan Leo bahwa ia masih ada di Indonesia, dan harus segera mengurai benang kusut yang telah melanda pikirannya dalam sepekan terakhir.

Yang dicarinya ketemu dengan cepat, tengah duduk di meja untuk dua orang tepat di dekat jendela, hanya berteman secangkir kopi di meja. Waktu menunjukkan beberapa menit sebelum pukul 17, tapi cuaca yang mendung sejak pagi membuat suasana seperti telah lewat senja. Mobil-mobil di jalanan melaju dengan menyalakan lampu depan masing-masing.

Leo melangkah mendekat dengan hati seperti diiris dengan pisau. Terakhir kali ia dan Arlina bertemu di tempat umum seperti ini, mereka akan saling melambaikan tangan dengan wajah cerah. Lalu, begitu mereka dekat, ciuman lembut akan didaratkan Leo di kedua belah pipi Arlina. Sesudahnya, keduanya akan tenggelam dalam percakapan mengasyikkan yang bisa tahan hingga berjam-jam, hingga mereka perlu pesan makanan atau minuman tambahan dua atau tiga kali lagi.

Kali ini jelas tak akan ada kehangatan seperti itu. Arlina bergeming, dan mengenakan kaca mata gelap. Tak terlihat apakah dia melirik ke arah Leo, namun jelas dia tahu yang ia tunggu telah tiba. Dan pasti mereka hanya akan memperbincangkan hal yang ingin dibicarakan Arlina saja—yang Leo pun tahu kira-kira akan berakhir seperti apa.

Leo duduk dengan gerakan pelan. Ia tak bisa menyembunyikan kecanggungannya. Sedang Arlina nampak berusaha keras mengendalikan emosinya dengan lebih banyak bersikap pasif dan diam. Tak ada ekspresi apa pun di wajahnya. Marah dan kesal tidak. Bahagia pun tidak. Sejurus ia lebih mirip es. Membeku, tanpa ekspresi.

Hai, sapa Leo, tepat ketika seorang pramusaji bergegas mendekat sambil membawa buku menu.

Pesan aja dulu, Arlina tak membalas sapaan Leo, membuka kaca matanya. Baru kita bicara.

Leo menumpukan perhatian ke buku menu dan membiarkan sang pramusaji menunggu, karena ia hanya akan memesan secangkir kopi hitam. Namun ia membaca jauh lebih lama dari seharusnya. Lebih karena ia memaksa wajahnya untuk menunduk, tak mencoba mencari sesuatu di sinar mata Arlina. Sesuatu yang aneh dan menyakitkan. Ia jadi tak punya nyali menatap mata itu, padahal terakhir kali sebelum terbang ke Sydney hari itu, ia masih bisa menyelami mata cantik Arlina dari jarak tak sampai lima meter—saat mereka berciuman bibir di terminal bandara. Lalu mereka berpisah sambil melambaikan tangan dan tersenyum manis.

Tak dinyana, itu benar-benar jadi perpisahan paling akhir. Sekarang, saat kembali bertemu, keduanya seperti menjadi orang yang saling asing. Bahkan jauh lebih asing daripada saat mereka pertama kali bertemu di kereta kala itu.

Sejak kejadian tak disangka di rumah panti, ini kali pertama mereka saling berkontak lagi. Dini hari itu Leo tak berhasil menyusul Arlina. Gadis itu pergi cepat sekali dengan mobilnya, lalu memutuskan segala jenis komunikasi. Ia tak bisa ditelepon dan dikirimi pesan teks lewat media sosial apa pun. Rumah kediamannya mendadak kosong. Bahkan orang tuanya pun ikut menghilang. Para rekan dan tetangga tak bisa memberi informasi ke mana atau di mana keberadaan Arlina. Mereka pun kehilangan kontak.

Suasana makin runyam karena Amanda mendadak juga lenyap. Pembantu di rumahnya hanya mengatakan bahwa gadis itu pergi ke luar negeri agak lama. Pasti untuk keperluan pekerjaannya sebagai travel writer, namun tak ada yang tahu persisnya dia ada di mana. Halaman Facebook dan Twitter-nya pun tak ada pembaruan sejak tanggal 1 Januari dini hari tepat sesudah dia pasang foto-foto kembang api.

Janji Hati 2: "Setelah Dava Tiada"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang