10: Pengakuan Masa Lalu

2.2K 158 2
                                    


Tawa dan canda bertebaran di halaman bermain itu.

Sejak Dava tiada, Amanda berpikir tidak akan ada sosok yang bisa membuat anak-anak bahagia selain dirinya sendiri. Tapi, ternyata dia salah.

Sudah satu bulan sejak mereka kembali bertemu dan cukup banyak hal yang terjadi. Salah satunya soal Asih Lestari. Mungkin semua orang bahkan termasuk Amanda sendiri sama sekali tidak pernah membayangkan kejadian ini sebelumnya.

Leo akrab dengan seisi panti asuhan.

Sudah tiga pekan ini, ia selalu datang ke panti bersama Amanda. Awalnya Leo berkunjung hanya sekadar untuk menjawab rasa penasarannya—mengetahui seperti apa suasana tempat pelarian almarhum adik tirinya itu. Cowok itu memang sama sekali belum pernah pergi ke panti walau Budhe Lastri pernah mengajaknya untuk berkunjung saat bertemu di pemakaman.

Setiap datang, Leo selalu membawa suatu permainan untuk anak-anak. Hari ini adalah layang-layang. Demi apa pun, Amanda sama sekali tidak menyangka bahwa laki-laki itu mahir merakit layang-layang dan juga menerbangkannya ke angksa begitu tinggi sampai nyaris tidak terlihat.

Anak-anak sangat antusias. Selama ini permainan itu hampir terlupakan.

Sekarang Leo tengah sibuk membantu seorang anak perempuan yang kesulitan mengikatkan pola badan layangan dengan tali. Memang cowok itu sengaja menyuruh anak-anak yang ingin bermain untuk membuat layangannya sendiri terlebih dahulu.

"Kak Amanda!"

Suara itu datang dari kejauhan. Amanda mengerjapkan mata karena terkejut. Dalam hitungan detik, perempuan itu sudah berdiri di depannya.

"Menurut Kakak, bagusan kertas yang mana?" ia menimbang-nimbang dua kertas minyak berbeda pada masing-masing tangan mungilnya. "Yang merah atau yang ungu?"

Amanda tertawa seraya merunduk. "Semuanya bagus. Kalau dicampur saja gimana?"

"Caranya? Bantu Farah, Kak."

"Oke."

Kemudian ia dan Farah berjalan beriringan ke halaman bermain, mendekat pada sebuah meja yang sedang penuh sesak.

Sebenarnya gadis itu hanya mencetuskan ide soal menggabungkan warna pada kertas minyak untuk membuat layangan. Amanda tidak tahu ia akan berhasil atau tidak.

"Mau buat layangan juga, Man?"

"Enggak, ini Farah minta bantuan," gadis itu tertawa kecil seraya menatap Leo sebentar kemudian mengalihkan pandangannya lagi pada kertas di depannya.

Amanda mengambil gunting dan mengukur kedua kertas itu menjadi sama besar lalu menyatukannya menggunakan lem.

Ia terlalu asyik sampai tidak menyadari bahwa tangannya sudah menghasilkan sebuah layangan jadi. Padahal tadinya ia hanya akan menggabungkan kertas warna untuk Farah, namun ternyata berlanjut mengelem, menempel, dan lain lain sampai menghias juga ekor layangan.

"Bagus, Kak Manda!"

"Eh, kenapa jadi Kakak yang buat, ya?"

"Nggak apa-apa. Malah jadinya bagus!"

Farah langsung menyambar layangan Amanda dan melompat-lompat bahagia. Hal ini membuatnya kembali berpikir.

Leo Ferdinan memang tidak bisa bermain musik seperti dirinya dan almarhum Dava. Meskipun begitu, dia bisa memberikan sesuatu lain yang sama menyenangkannya untuk anak-anak panti.

Awalnya Amanda sama sekali tidak tertarik bergabung dalam permainan-permainan yang diciptakan Leo untuk anak-anak panti. Tapi hari ini ia akhirnya mengerti kenapa anak-anak bisa menyukai cowok itu.

Janji Hati 2: "Setelah Dava Tiada"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang