7: Puisi-Puisi Cinta

2.5K 190 2
                                    

Ketika tiba di penginapan, Amanda langsung mendaftarkan diri ke resepsionis untuk menyewa kamar. Keadaan masih normal. Dirinya yang datang seorang diri sambil membawa kopor. Masuk ke kamar, mengeluarkan beberapa perlengkapan, dan berbaring malas di tempat tidur.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu flat. Mungkin petugas resepsionis, pikirnya dalam hati. Amanda pun segera berjalan mendekati pintu dan membukanya.

"Hello..."

Jantungnya nyaris melompat. Tentu saja dia ingin berteriak, namun tenggorakannya seperti terjepit di kerongokongan sehingga suaranya sama sekali tidak keluar. Dia ternganga seraya menatap sosok di depannya dengan fokus penuh. Napasnya tertahan.

"Miss Amanda," suara itu menyapanya dengan hangat seraya tersenyum lebar.

"My God...!" balas Amanda tertahan seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan. "How can it be?"

Apakah ia sedang bermimpi? Amanda mencoba mencubit pipinya sendiri. Ada rasa sakit yang menjalar di permukaan wajahnya. Sakit. Berarti sekarang dia tidak sedang tertidur lalu bermimpi.

Apa yang sekarang sedang dilihatnya adalah kenyataan. Seseorang yang sejak beberapa hari lalu menganggu pikirannya dan sempat membuatnya cukup depresi, kini tahu-tahu telah berdiri di ambang pintu kamarnya di Melbourne.

Gavensa Paramasatya.

Yang sama sekali tidak mencemaskan apa pun tentang kepergiannya dan bahkan hari ini tidak bisa mengantarkannya ke bandara lantaran lebih memilih sibuk dengan pekerjaannya, padahal sangat kecil kemungkinan bahwa mereka akan bisa bertatap muka lagi.

"Bukannya gue pernah bilang," dia mengedipkan sebelah matanya, "Apa sih yang nggak bisa buat lo?"

Amanda hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya lantaran masih terkejut dengan semua yang terjadi sekarang ini. Dengan isyarat tangan dia pun mempersilakan Gian agar masuk ke dalam flatnya yang masih berantakan.

Cowok itu segera mendorong kopornya seraya mendudukkan diri di kursi kayu yang ada di samping kiri pintu.

"Gi, jawab pertanyaan gue!" Amanda tak sabar. "Kenapa lo bisa sampai di Melbourne?"

"I wanna take my holiday, Man," jawab Gian ringan.

Sungguh gadis itu tak puas dengan jawaban tersebut. Kedatangan Gian ke Melbourne sangat mengejutkan. Tidak ada tanda-tanda, tidak ada pemberitahuan sebelumnya, tidak ada firasat. Pokoknya tidak ada yang mencurigakan dan Amanda sama sekali tak pernah membayangkan ini.

"Tapi..."

Cowok itu meletakkan telunjuknya di bibir Amanda.

"Nanti malem gue cerita. Sekarang gue ke kamar dulu, ya. Mau istirahat."

Dia bangkit berdiri seraya menjinjing kopornya.

"Kamar gue berada tepat di depan kamar lo."

"Hah?"

"Jadi, kalau ada apa-apa, just knock my door."

Amanda mengerjapkan matanya. Kamar Gian ada di seberang kamarnya? Ya ampun, lelucon macam apalagi ini? Apa laki-laki itu sedang mengerjainya?

Sebelum gadis itu tersadar dari lamunannya, Gavensa sudah membuka pintu flatnya seraya berjalan lurus ke depan dan mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya. Kemudian ia memutar anak kunci tersebut dan pintu terbuka.

"See you soon!" Gian melambaikan tangannya pada Amanda yang sekarang tengah terpaku bagaikan patung di ambang pintu.

Sungguh, ini jauh lebih mengejutkan daripada berita bom nuklir yang menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki.

Janji Hati 2: "Setelah Dava Tiada"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang