11: Always

1.8K 120 15
                                    


Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu itu tiba.

Senyum di wajah Amanda mampu mengembang lebih besar daripada adonan tepung yang mempu mencetak puluhan donat saat ini. Bagaimana tidak? Sebentar lagi ia akan bertemu Gian.

Ia menyeruput green tea latte-nya sambil sesekali melihat jam tangan. Oke, seharusnya sebentar lagi laki-laki itu muncul.

Gadis itu menghela napas ketika wajah Leo malah menghiasi pikirannya sekarang. Kenapa tiba-tiba ia jadi memikirkan Leo? Senyumnya memudar dan keningnya berkerut. Wajahnya berubah serius.

Apakah ia perlu menceritakan pada Gian tentang pertemuannya dengan Leo nanti? Amanda tahu benar bahwa akhir-akhir ini Leo selalu berusaha melakukan berbagai hal untuk memperbaiki citra di matanya. Tidak ada yang salah dengan itu. Justru memang seharusnya hal itu dilakukan Leo sejak dulu.

Tapi hatinya masih tidak stabil. Sebentar-sebentar ia bisa merasa terluka dan menganggap bahwa Leo tidak seharusnya muncul lagi. Di sisi lain, Amanda tahu jika terus bersikap tertutup, maka dirinyalah yang salah karena tidak memberikan kesempatan pada seseorang untuk berubah menjadi lebih baik sekaligus menghilangkan perasaan bersalah.

Selamanya ia tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya jika dia berada di posisi Leo. Begitu juga dengan Leo. Dia tidak akan pernah tahu sebesar apa rasa sakit ketika kehilangan Revan dan Dava.

Ia dan Leo mungkin tidak perlu berharap dapat bertukar diri untuk saling mengerti satu sama lain. Mereka sama-sama punya beban yang sama beratnya. Dan untuk menghilangkan beban itu, mereka harus...

Ah, Amanda benci untuk mengikuti pikirannya. Cukup!

Gadis itu mengaduk-aduk gelasnya dengan tak bersemangat. Sebaiknya tidak usah dulu. Gian datang ke sini tentunya untuk bersenang-senang, bukan untuk mendengarkan hal-hal yang menyedihkan.

"Hei, Man."

Gadis itu masih melamun sampai tidak sadar bahwa ada tangan besar yang berkibas di depan wajahnya. Ia tersentak dan langsung saja matanya melebar ketika melihat Gian sudah duduk manis di sampingnya.

"Sudah lama ya? Tadi aku antrean bagasinya padat."

Perempuan itu menyampirkan rambutnya ke sebelah bahu dan menatap Gian lekat-lekat. Ia masih membutuhkan beberapa detik untuk mengosongkan pikirannya dan bersikap normal.

"Giaaan!" Amanda langsung memeluk laki-laki yang mengenakan kacamata hitam itu. "Finally!"

Selama beberapa detik ia membenamkan wajahnya di bahu bidang Gian seraya mengusap tengkuk laki-laki itu pelan.

Ketika melepaskan pelukannya, Amanda kembali mengamati Gavensa hinga kepalanya miring beberapa derajat. Ada yang berbeda. Gian terlihat lebih kurus dan tak bertenaga. Ya, mungkin ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Juga perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar tujuh jam ke Indonesia pasti menyebabkannya tidak bisa tidur dengan nyenyak seperti di rumah.

Gian menguap dan tersenyum tipis.

"Kamu sudah makan?"

Gadis itu mengangguk.

"Can we go to your home now? Kayaknya aku mau istirahat dulu."

Kemudian ia menyeruput green tea Amanda.

Gadis itu terdiam sejenak. Biasnaya Gian selalu bersemangat. Seletih apa pun, dia akan tetap jahil dan atraktif.

"Ya sudah, kita pulang sekarang saja."

Ia menelpon Pak Sutris dan menyuruhnya menjemput di pintu kedatangan.

"Eh..." cowok itu buru-buru mencegah Amanda yang hendak mengangkat cangkir minumannya. "Jangan diminum!"

Janji Hati 2: "Setelah Dava Tiada"Where stories live. Discover now