Bobby -Fool-

150 17 2
                                    

Double update! Tapi bukan dari prompts. Udah lah gak urus pokoknya update, saya gak mungkin menelantarkan work yang satu ini.

Kali ini temanya bukan tema 'nyeleneh' lho! Angst-romance, hope you like it!

***
Kosong. Pikirannya kosong. Suara jalanan yang ramai seakan jauh dari telinganya, walaupun ia tengah berjalan di tengah lautan manusia yang sibuk dengan aktifitas mereka sendiri.

Hanya satu hal yang mampu membuatnya melangkah dengan tatapan kosong. Kim Jiwon.

Teringat dirinya akan kejadian satu jam yang lalu.  Kini, mereka resmi berpisah.  Apakah ini benar-benar akhir yang bahagia? Tidak, ia juga tidak tahu.

Kedua kakinya membawanya ke sebuah taman dekat sungai. Sepi. Jika Jiwon disini, pasti akan sangat berisik, pikirnya.

Bersandar ia di pinggir pagar pembatas sungai. Langit jingga seakan memahami perasaannya. Makin lama makin gelap, sudah waktunya bagi matahari untuk kembali bersembunyi.

Dikeluarkannya telepon genggam dari tasnya.  Kosong.  Biasanya ia selalu merasakan getaran dahsyat, tanda telepon masuk dari Jiwon. Mungkin tidak akan ada pernah lagi telepon darinya, ia tersenyum miris.

***

"Aku sibuk. Ada apa?" Dari nada bicaranya, jelas terdengar bahwa laki-laki itu kesal waktunya diganggu.  Kekasih yang tengah berdiri di depannya hanya bisa mengucapkan maaf.

"Baiklah, Jiwon. Maaf kalau aku mengganggumu. Kalau begitu aku akan langsung ke inti pembicaraan saja," hancur sudah niatnya mengajak lelaki sipit itu menikmati hangatnya Americano, seperti yang biasa mereka lakukan dulu.

"Katakan," Jiwon mengecek pergelangan tangannya yang dihinggapi jam tangan. Gadis itu merasa hatinya tersayat akibat gestur kecil yang dilakukan kekasihnya.

"Aku ingin kita mengakhiri hubungan ini." Akhirnya. Kata-kata itu terucap.

Sebelum Jiwon sempat bertanya, ia sudah mendahuluinya.
"Ada yang berubah diantara kita. Aku... ya, mungkin aku yang salah. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik," suaranya serak di akhir ucapannya. Ingin rasanya ia menangis.

Jiwon hanya memandangnya shock.  Mulutnya menganga, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Jiwon?" Lamunan laki-laki itu pecah akibat panggilan familiar tersebut.

"Bagaimana? Apa aku... bisa pergi sekarang?  Sepertinya waktumu juga terlalu berharga untuk kauhabiskan di sini." Bahkan gadis itu juga tersentak atas kalimat yang telah keluar dari mulutnya sendiri. Ia tidak pernah sekejam itu dalam berkata.  Mungkin ini kali pertamanya ia mengucapkan sesuatu yang sangat sarkas, terutama kepada Jiwon.

"Jika itu maumu... baiklah."
Jawaban itu bagaikan tangan raksasa yang menonjok ulu hatinya. Setetes air mata berhasil meluncur dari matanya. Ia segera mengusap jejak air di pipinya, berharap Jiwon tidak melihatnya.

"Mungkin kau benar. Ada yang berubah... di antara kita." Kamu yang berubah, dasar Jiwon bodoh. Ingin rasanya ia mengatakan itu untuk membalas ucapan Jiwon. Tapi ia tidak bisa.  Seakan ada sesuatu di pangkal tenggorokannya yang menahannya berbicara.

"Baiklah. Selamat tinggal." Hanya itu yang sempat ia ucapkan, sebelum ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Jiwon yang masih berdiri mematung.

Ia mengharapkan sebuah pelukan dari Jiwon. Atau teriakan Jiwon yang memintanya untuk tidak pergi. Atau sebuah ciuman dari kedua bibir orang yang kini sudah menjadi mantan kekasihnya itu.

Tapi ia tahu, kehidupannya ini bukanlah sebuah drama. Ini kenyataan. Harapannga semakin redup tatkala ia makin jauh dari Jiwon.  Langkah kakinya kuat dan suara benturan sepatu dengan jalan setapak terdengar nyaring.  Seakan ia berusaha menyembunyikan isak tangis dan air mata yang mengucur makin deras.

***

Kembali ia pada kenyataan. Hanya dengan membayangkan kejadian itu, air matanya kembali mengalir.  Cahaya oranye di penghujung pandangan menangkap perhatiannya. Langit akan segera berubah menjadi hitam kelam.  Matahari bergerak perlahan makin turun, seakan-akan sungai telah menelan benda bersinar tersebut.  Orang-orang di jalanan dan taman juga ikut berhenti dari aktifitas mereka, menikmati detik-detik hilangnya matahari.

Dipejamkannya kedua matanya.
Kim Jiwon, biarlah pada saat matahari terbenam, cintaku ikut terbenam bersamanya. Selamat tinggal.

***

Jiwon duduk termenung di dalam studionya.  Masih tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi.  Ia telah melepaskan kekasihnya.

Siapa yang salah? Apa yang telah diperbuatnya? Banyak pertanyaan di dalam benaknya.

Awalnya Jiwon hanya menganggap semua ini permainan, sebuah kejahilan belaka.  Tapi hatinya benar-benar resah ketika ia tidak menerima pesan yang biasanya ia terima. Dari kekasihnya.

Begitu gelisahnya ia menunggu sampai ia mulai menyadari sesuatu.

Pesan dan telepon dari gadis itu. Orang spesial yang kontaknya disimpan sebagai 'home' di teleponnya.

"Astaga," dadanya sakit. Ia mulai menangis.

Ia telah berubah menjadi sebuah monster.

Yang menyiksa hidup gadis itu perlahan-lahan.  Menganggapnya gangguan.  Sampai pada akhirnya hampir melupakan keberadaannya.

Dadanya perih tatkala ia menyelusuri kenangan-kenangan bahagia mereka.  Berkatnya, ia sudah sampai ke titik ini.  Sukses.  Tanpa kehadiran perempuan itu, ia tidak akan bisa menjadi dia yang sekarang.

Tapi apa?  Apa yang sudah ia lakukan untuk membalas kebaikannya selain memperlakukannya bak uap air?

Jiwon mengepalkan kedua tangannya erat.  Aku bajingan.  Aku pengecut.  Terbayang wajah datar gadis itu, beberapa waktu yang lalu.  Kini Jiwon baru saja menyadari, adanya kilatan rasa sakit dan kecewa di mata indah gadis itu.

Jiwon menangis makin keras.  Marah.  Kesal.  Perasaannya campur aduk.  Akankah pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir mereka?

"Carilah laki-laki yang lebih pantas," desis Jiwon diantara isak tangisnya.
"Yang bisa melindungimu dan membahagiakanmu.  Bukan sepertiku, yang sudah gagal...."

The End.

Votw dan comment akan SANGAT SAYA NANTIKAN.
Biar semangat nulis ;)

By the way saya paling lemah di genre ini, jadi mohon kritik, komentar, saran ya. Maaf kalau feel-nya kurang.

iKON Oneshots [Story Prompts] [Bahasa Indonesia]Where stories live. Discover now