Yunhyeong -Square-

107 6 0
                                    

Pria itu tersenyum.

Wajah tampannya itu tampak bersinar, memancarkan kebahagiaan.

Sayang, beberapa detik sesudahnya, ulasan indah tersebut hilang.  Digantikan oleh tatapan kosong dan bibir beku.

Rahangnya mendadak menjadi keras dan kaku, nafasnya tidak teratur.

Satu menit kemudian, sembari menjambak surai rambutnya yang berwarna cokelat, pria itu berteriak.

Air mata mulai meluncur ke pipinya, ia makin keras menarik cambang halus di kepalanya sendiri.

Ia jatuh tertelungkup di atas lantai ubin yang dingin, kini meraung-raung mengucapkan kalimat yang tidak jelas.

"Kita harus segera melepaskannya."

"Dengan keadaan seperti ini?  Tidak.  Dia tidak siap untuk bergabung dengan masyarakat."

"Lalu?  Mau sampai kapan?"

Peneliti berjas putih yang mendapat pertanyaan tidak segera menjawab temannya.  Alih-alih ia memandang pria yang tengah menangis tersedu-sedu di lantai.  Jaraknya jauh, mereka dipisahkan oleh dinding beton yang tebal.  Yunhyeong menatap pria di layar dengan tatapan iba.

"Dia akan segera menemukan 'titik tenang'nya.  Ketika ia sudah bisa mengendalikan dirinya sendiri, barulah kita akan membantunya." ujar Yunhyeong sembari mematikan layar di depannya, memutuskan akses pengamatan kepada sang pria yang terkurung dalam ruangan besi.

"Dia butuh eksistensi orang lain,"

Yunhyeong menatap teman sesama penelitinya dalam diam.  Banyak pemikiran melintas di kepalanya.  Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.

"Sadarlah.  Kondisi mentalnya tidak stabil.  Perubahan sekecil apapun dapat berdampak besar padanya.  Ia harus berada di tempat itu sampai ia tenang.  Setelah itu kita pelan-pelan ubah variabel dalam lingkungan dan rutinitas sehari-harinya." suaranya tegas, Yunhyeong jelas tidak ingin dibantah.

Pria di depan sang kepala pemimpin penelitan menatapnya dengan syok, tidak percaya.  Mulutnya menganga, dan ia merasa ulu hatinya sakit bak ditonjok.

"Kau?  Mengharapkan ia bisa sembuh dan membaik dengan sendirinya ketika ia mengalami masalah mental?  Dia manusia juga, Song Yunhyeong!  Jangan melupakan unsur estetika manusia sebagai mahluk sosial!  Dia butuh uluran tangan orang lain!"

Yunhyeong berjalan menjauh.  Ia mendekati sebuah pintu di ujung ruangan, lantas membukanya.  Di dalam kamar kecil tersebut, terdapat ratusan barang yang hancur.  Kursi patah, penggaris bengkok, boneka robek yang mengeluarkan kain dan kapas, buku yang tidak berbentuk, dan barang-barang lain yang rusak parah.

"Kau ingin membantunya secara langsung?" pertanyaan retoris yang meluncur dari mulut sang pemimpin penelitian berhasil mengguncang keteguhan sang asisten peneliti.  Tapi cepat-cepat ia kembali pada tujuan awalnya.

"Ya.  Aku ingin membantunya.  Walaupun itu bisa membahayakan diriku."

Yunhyeong kembali menutup ruangan tersebut, lantas menggeleng.

"Tidak kuizinkan.  Penelitian ini harus berjalan sesuai dengan prosedurku."

"Tapi--"

"Tidak ada gunanya membantah," potong Yunhyeong.  "Aku adalah pemimpin di sini.  Aku yang membuat ruangan isolasi itu, dan aku yakin penelitian ini akan menghasilkan terobosan baru bagi kebaikan umat manusia."

Ia berjalan ke pintu keluar, dan sebelum menghilang dari pandangan, ia menatap rekan kerjanya dengan tatapan merendahkan.

"Rasa simpatimu terlalu berlebihan.  Terkadang, satu manusia harus dikorbankan untuk kepentingan manusia lain.  Aku tidak bisa terus menerus bekerja dengan orang yang berhati sepertimu.  Ini adalah laboratorium dan tempat penelitian, seharusnya otakmu harus lebih didahulukan daripada apapun juga."

Kali ini, sang asisten hanya bisa menelan ludahnya sendiri.  Lidahnya kelu, ia ingin membalas perkataan dingin dan keji milik Yunhyeong, tetapi satu kata pun tidak bisa ia ucapkan.  Yang jelas, ia tahu bahwa ia saat ini sedang marah.

Marah karena ia mau taat bekerja di bawah pimpinan seseorang yang tidak memiliki perikemanusiaan seperti Yunhyeong.

"Kalau jalanku dan jalanmu memang berbeda, aku menantikan surat pengunduran diri beserta jas laboratoriummu di atas mejaku besok pagi." ujar Yunhyeong sebelum keluar dari ruangan pengawas objek penelitian.


***

Pria itu bangun, dan hal pertama yang ia rasakan adalah punggungnya yang sakit bukan main.  Seakan kasurnya menghilang dan ia baru saja tidur di atas alas datar semalaman.  Tubuhnya menggingil, dan kepalanya pusing.

Butuh beberapa waktu sampai kesadarannya terkumpul.  Ketika ia sepenuhnya terjaga, matanya segera melebar.  Ia berkali-kali menampar wajahnya.

Berusaha memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.

Tidak.  Ia tidak sedang bermimpi.

Ia sedang berada di dalam 'Square'.  Tempat tahanan berbentuk ruangan berukuran 5 x 5 meter dengan dinding besi abu-abu suram dan lantai putih yang dingin.  Di salah satu sisi tembok terdapat lubang kotak berukuran 20 cm x 10 cm tempat dikirimnya makanan dan minuman.

Tiada gagang pintu atapun jalan keluar yang bisa diakses dari dalam.

Satu-satunya jalan keluar ialah dengan menekan tombol dari ruangan pengawas.

Ia bisa melihat cakaran dan percikan darah di seluruh penjuru tembok, bukti kelakuan manusia terjebak yang menggila di dalam tempat tersebut.

Yunhyeong menatap ke kamera CCTV hitam yang terpasang di ujung langit-langit ruangan.

Walau ia tidak bisa melihat apa-apa, ia begitu yakin bahwa Jinhwan -asistennya- tengah mengawasinya.

Jinhwan telah menaruhnya dalam ruangan keji ini, dan lebih memilih menyelamatkan sang objek penelitian.

Yunhyeong jatuh berlutut, lantas berteriak sekeras yang ia bisa.

"Sialan!"











Halo :)

I am very busy for the past.... two months lol.  Ini masih ngetik ending Dewangga nggak kesampaian selesai mulu :(  Mohon bersabar yak :(

Untuk menebus 'jarang update' akhirnya saya mengetik cerita ini dadakan huwehuwehuwe anyway ini terinspirasi dari lagu Seventeen Hip Hop Team yang Trauma.

Tolong berikan komentar dan pendapat kalian tentang cerita ini!  Terima kasih <3

(btw belum dibaca ulang, typo dan error lainnya akan diperbaiki kalau sempat dibaca ulang hehe)

iKON Oneshots [Story Prompts] [Bahasa Indonesia]Where stories live. Discover now