Donghyuk - Rel Kehidupan

25 5 0
                                    

Ezra melambaikan tangannya, lantas berbalik untuk menerobos kerumunan yang bergerombol di dekat tangga masuk menuju kereta.  Tidak, ia tidak mau menunjukkan wajahnya yang merah dan air mata yang sudah memberontak ingin segera meluncur keluar dari matanya.  Tidak di depan kakeknya, yang baru bisa ia temui setelah tiga tahun.  Kesibukannya menjadi mahasiswa super sibuk di luar provinsi menjadi penghalang utama baginya untuk bersua dengan keluarga. Jangankan kerabat jauh, ia sering lupa tidak mengabari ibunya sendiri.  Kalau saja ia tidak ditelepon oleh ibunya di malam hari, mungkin ia akan terus menjalani hidup bak orang yang tidak memiliki keluarga.

Ia hanya sempat mengunjungi kakek dan neneknya selama empat hari.  Walau singkat, setidaknya ada banyak hal yang berubah dari mahasiswa tingkat akhir tersebut.  Ia bersumpah akan membuat kakek-neneknya bangga terhadap cucunya.  Ada perasaan marah ketika ia datang tanpa membawa prestasi apapun.  Ia terlebih marah kepada diri sendiri kala dua orang sepuh itu masih menyambutnya dan memerlakukan dia sama seperti dulu, tanpa ada pembicaraan yang menyinggung dirinya yang tidak pernah memberi kabar.  Yang bisa dilakukan Ezra adalah berdoa pada Sang Kuasa agar ia bisa diberikan waktu untuk kembali bertemu dengan mereka di masa mendatang.

Ezra berhasil masuk ke gerbong kereta.  Perjuangannya tidak selesai, ia harus kembali berdesakan dengan orang-orang yang hendak turun.  Rambut pirangnya yang terlampau terang menarik perhatian banyak orang, namun ia tidak menggubris tatapan-tatapan aneh yang ia dapat.  Matanya mencermati tiap nomor di atas jendela, mencari nomor sama yang tertera di tiketnya.

"Akhirnya," ia segera duduk di bawah tulisan 10ABC.  Kedua sisinya kosong, dan di hadapannya duduk seorang pria tua dengan jaket tebal dan topi yang lusuh.  Cukup aneh mendapati kursi yang tidak berpenghuni ketika hampir semua kursi di gerbong tersebut ditempati orang.

Ia mengambil waktu untuk mengamati interior di dalam gerbong.  Sudah lama sejak kali terakhir ia mengendarai kereta.  Akibat kota tempatnya mengemban pendidikan terlampau jauh, ia selalu menggunakan pesawat untuk bepergian.  Kini gerbong kereta kelas ekonomi berbeda jauh dari gerbong dalam ingatannya yang pernah ia tumpangi ketika dirinya masih kecil.  Walau tempat duduknya masih sama-sama tegak, setidaknya bahan kursinya lebih empuk.  Ekonomi bahkan memiliki dua AC di tiap gerbong.  Tersedia korden biru di tiap jendela, dan di bawah jendela terdapat lubang stop kontak serta gantungan untuk tempat sampah.

"Turun mana, Mas?" pria tua di depan Ezra menyapanya.

"Surabaya, Pak.  Bapak?"

"Lawang," pria itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memandang stasiun yang masih dipenuhi orang-orang yang berebut masuk.

"Kuliah, Mas?" pertanyaan dadakan tersebut mengagetkan Ezra yang tengah sibuk mengirim pesan kepada keluarganya.

"Oh, iya, iya Pak...." Buru-buru disimpannya telepon genggam ke dalam saku jaket, ia merasa tidak sopan karena bermain dengan benda elektronik tersebut ketika tengah diajak berbincang dengan orang tua.

"Oh... nanti kayaknya anak saya kalau besar bisa kaya Mas,"

"Anaknya usia berapa, Pak?"

"Masih SD," bapak tersebut menghela nafas panjang.  "Tapi hidup susah, Mas, butuh duit."

Ezra benar-benar tidak tahu bagaimana ia harus merespon keluhan tersebut.  Ia sempat terdiam sejenak, berpikir keras.

"Nggak apa-apa, Pak... Em, zaman sekarang banyak beasiswa.... Anak bapak bisa kuliah gratis, kok...."

"Oh ya?" Untuk sejenak, mata pria itu nampak bersinar.  Ia jelas tertarik dengan ucapan Ezra.  "Ah, mana bisa.  Istri saya mana mau."

Ezra dibuat bingung dengan subjek pembicaraan yang tiba-tiba berubah.  "Hah? Istri?"

iKON Oneshots [Story Prompts] [Bahasa Indonesia]Where stories live. Discover now