Bobby -Say My Name-

14 3 0
                                    

Semua dimulai ketika tangannya menggenggam tanganku. Ketika kelima jarinya bertautan dengan jari-jariku. Telapaknya yang besar menggenggamku erat, menyalurkan panas tubuhnya ke permukaan kulitku. Tiada sepatah kata yang terucap. Bagai lelaki sejati, dari bahasa tubuhnya terlihat jelas bahwa ia ada di sampingku untuk melindungi. Ia memastikan aku aman dan nyaman.

Kami berjalan dalam diam dalam keheningan yang nyaman. Ingin rasanya waktu berhenti saat ini juga, agar aku bisa selamanya seperti ini dengan dirinya.

"Jiwon," panggilku. Tanpa mengalihkan wajahnya, ia menjawabku. "Hm?"

"Aku ingin memberikanmu hadiah."

Mendengar perkataanku, Jiwon menoleh. Matanya bersinar bak anak kecil. Kedua ujung bibirnya naik, senyum yang sangat lebar terlukis di wajahnya. "Oh ya?"

"Ya," jawabku terkekeh. Ia benar-benar menggemaskan. Aku menatap tempat di sekelilingku, dan akhirnya sadar bahwa kami sudah hampir sampai di tempat tujuan. Aku berjalan lebih cepat, menuntun Jiwon di belakangku.

"Kita hampir sampai, ayo!"

***

Aku membawanya ke sebuah taman. Taman yang teramat sepi, tiada seorang pun selain kami berdua. Langit teramat gelap, dan ratusan bintang-bintang bertengger di cakrawala. Aku menyuruh Jiwon duduk di salah satu bangku yang terletak persis di tengah taman. Di tempat ini, ada banyak pohon dan bunga-bunga mengelilingi kami, serta beberapa lampu taman yang berpendar apik memancarkan cahaya remang-remang.

Jiwon duduk dengan patuh. Matanya masih berkilauan, ia tampak sangat menantikan hadiahku. Aku berdiri di depannya, benar-benar tidak bisa menahan senyumku untuk tidak merekah melihat sikapnya.

"Pertama-tama," aku merogoh sesuatu dari dalam tasku. Sebelum aku mengeluarkannya, aku menatap Jiwon. "Tutup matamu,"

Bagaikan anak kecil yang tidak sabar menunggu hadiahnya, ia menutup kedua kelopak matanya. Tubuhnya bergetar semangat.

Aku mengeluarkan syal yang sudah kurajut mati-matian selama tiga minggu ini, lalu mengalungkannya pada leher kekasihku. Ia membuka matanya begitu menyadari kehangatan benang wol yang menangkupnya. Ia menatap takjub rajutan benar merah dan hijau tersebut, lantas menatapku. "Kau yang membuatnya sendiri?"

"Tiga minggu," aku menampilkan senyuman banggaku. Ia masih menatapku takjub. "Kau? Yang paling tidak bisa melakukan pekerjaan feminim seperti ini? Merajut untukku?"

"Iya," aku mulai jengkel. Ia tampak masih tidak percaya dengan buah tanganku, dan hal tersebut membuatku sedikit jengkel.

Pikiran burukku terputus kala ia bangkit dan memeluk pinggangku, kedua bibirnya dengan cepat menanamkan ciuman di bibirku. Ia tertawa melihat wajahku yang merah akibat perlakuannya.

"Ini hadiah terbaik. Terima kasih, sayang."

Ia masih sibuk berputar-putar di antara gumpalan salju sembari menari dengan syal yang bergantung di lehernya. Seketika wajahku berubah muram melihatnya. Pria yang terkadang bertindak konyol itu, sebentar lagi tidak akan menjadi siapa-siapa lagi dalam hidupku.

"Jiwon,"

Ia berhenti dan mengampiriku. Nafasnya masih terengah-engah. "Ada apa?"

Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. Setelah mengambil nafas dalam-dalam, kalimat itu akhirnya terucap dari bibirku. "Kita sudahi saja ya hubungan ini?"

Kedua matanya mengerjap berkali-kali. Mulutnya terbuka, namun tidak ada kata yang terucap. Seluruh tubuhnya mematung. Jelas ia tidak akan menyangka topik ini akan muncul dalam hubungan kami.

"Tapi ke--"

"Aku sudah tahu semuanya." Kupotong perkataannya. Ya, cepat atau lambat ini semua harus berakhir. Namun bagiku, lebih cepat lebih baik. Aku tidak ingin tersakiti dan makin hancur. Memikirkan kejadian yang aku lihat selama ini membuat dadaku sesak. Mataku bahkan sudah mulai berair, siap untuk menangis.

"Kau dijodohkan oleh orang tuamu 'kan? Aku sudah tahu." Tidak kulepaskan tatapanku dari kedua benik hitamnya. Ia masih diam.

"Wanita itu, pilihan orang tuamu. Aku sudah bisa melihatnya, Jiwon. Pandangan matamu. Kau mulai mencintainya," suaraku langsung berubah serak pada kata terakhir. Aku sebetulnya tidak rela jika cintanya berpaling kepada perempuan lain. Tapi apa yang bisa aku lakukan?

"Tidak. Perasaanku masih padamu." Jiwon memegang kedua pundakku. Aku menggeleng, tidak setuju dengan pernyataannya.

"Nanti juga rasa cinta itu akan berpindah. Kau mulai tertarik dengannya, kan? Jiwon, akui saja!" Kini aku malah membentaknya. Ada apa denganku? Padahal aku sudah berjanji dengan diriku sendiri untuk menyelesaikan ini semua secara tenang.

Aku mencintai Jiwon. Hatiku teramat sakit ketika tahu bahwa cinta Jiwon yang dulunya berbalas kepadaku, kini harus mulai menghilang. Sakit, rasanya sakit. Aku selalu membayangkan ialah yang akan menjadi pria yang mendampingiku seumur hidup. Namun hari ke hari, nampak jelas bahwa ia mulai berubah.

"Aku akan mencoba membujuk or--"

"Aku mencintaimu." Kupotong lagi perkataannya. Ini pernyataan tulus dari hatiku. Aku sangat mencintai pria di depanku ini. Sangat mencintainya, sampai terasa sakit. "Tapi kita tidak bisa bersama," lanjutku. Aku masih bingung. Kenapa dari awal ia tidak memberitahuku bahwa ia dijodohkan? Apakah ia takut menyakitiku? Atau memang ia hanya senang bermain dengan perasaanku? Atau apakah ia belum menemukan waktu yang tepat? Bukankah kejujuran dan komunikasi adalah hal paling krusial untuk mempertahankan suatu hubungan?

Ia mendekapku. Menyandarkan kepalaku pada dada bidangnya. Tanpa bisa kutahan, air mataku tumpah.

Ini! Bahkan dekapannya masih terasa hangat. Terasa hangat, membuatku bagai di nirwana. Tapi apakah ia juga merasakan kenyamanan yang sama kala aku berada dalam pelukannya? Ya Tuhan, aku sangat mencintai Jiwon. Tapi aku tahu rasa cintanya padaku sudah tidak setulus dahulu. Ia tidak mencintaiku sepenuh hati, rasanya tidak semenyenangkan dan seindah dulu. Fakta ini menyayat hatiku.

Di satu sisi aku paham. Jika aku bertanya padanya, mana yang ia pilih, aku atau orang tua? Ia jelas akan menjawab orang tua. Jiwon adalah orang yang loyal, dan ia bisa menghianati seluruh orang di dunia apabila hal tersebut bisa melindungi keluarganya. Jika aku sendiri dihadapkan dengan pilihan seperti itu, aku juga akan memilih kedua orang tuaku. Jelas ia tidak bisa menolak perjodohan ini. Mau dipaksa untuk tetap berhubungan denganku pun, aku sadar itu tidak baik bagi kami.

Maka, aku memilih jalan yang benar, walau aku harus tersakiti. Meninggalkannya.

"Boleh kabulkan permintaan terakhirku?" kataku setelah isakan tangisku mereda. Tangannya mengelus surai rambutku dengan lembut, akhirnya ia ikut merelakan hubungan kami berdua untuk kandas. "Katakan," katanya.

"Katakan kalimat ajaib itu."

Kalimat ajaib, yang selalu berhasil membuat jantungku berdegup kencang. Yang tulus, yang dulu selalu keluar dari lubuk hatinya.

"Aku sangat mencintaimu, sayangku...." Kalimat ajaib itu terucap dari bibirnya. Aku menangis makin keras. Aku mencintaimu dengan sungguh-sungguh, Jiwon. Tapi aku tahu bahwa ucapan barusan hanyalah sebuah kalimat kosong dari bibirmu belaka. Ya, aku tahu bahwa perasaan itu telah berubah.

Tidak apa-apa. Biarlah aku hidup dalam delusi untuk selamanya. Biarlah aku berpikir bahwa engkau juga mencintaiku, walaupun aku tahu bahwa sebetulnya engkau tidak lagi mencintaiku.





Say my name, say my name

When no one is around you

Say baby I love you

If you ain't playing no game

Say my name, say my name

You acting kinda shady

Ain't calling me baby

Why the sudden change

Destiny's Child – Say My Name

iKON Oneshots [Story Prompts] [Bahasa Indonesia]Where stories live. Discover now