LDR 11

34.8K 1.6K 109
                                    


LDR 11
          Laut sudah menenteng tas ranselnya. Pagi ini ia sudah bersiap untuk kembali ke Bandung, tak sabar rasanya untuk bertemu dengan gadis yang dicintainya. Ia membuka pintu kamarnya diikuti dengan Bayu yang berjalan dibelakangnya. Senyum manis tak surut dari bibirnya, meskipun pagi ini ia harus melewatkan perjalanan ke tempat wisata lainnya di Yogja bersama dengan teman-temannya yang lain. Setidaknya, sudah sembilan hari ini ia menghabiskan waktu bersama teman-temannya dan melupakan sosok Lenta dihari-harinya.
            “Laut, kamu kok bawa tas? Mau kemana?” Tanya Kei saat mereka bertemu di koridor hotel.
            “Aku hari ini mau balik ke Bandung Kei. Lenta nanti sore ke Bandung soalnya, jadi harus nemenin.” Laut menjawabnya dengan senyum manis, dan hal ini berdampak tak baik pada hati Kei. Ia tak bisa membiarkan Laut pulang lebih awal.
            Sebuah ide muncul di kepala Kei saat ia dan yang lain tengah menuruni tangga. “Aww!” Pekik Kei saat kakinya terkilir dan ia jatuh tepat dipelukan Laut.
            “Kei, kamu nggak pa-pa?” tanya Laut khawatir. Bagaimanapun, Kei adalah temannya, jadi rasa khawatir itu muncul dihatinya.
            “Aduh, kaki aku sakit nih Laut! Kayanya hari ini aku nggak bisa ikut jalan-jalan juga deh.” Kei meringis kesakitan saat dirasakannya pergelangan kakinya nyeri.
            “Yaudah, kamu istirahat yah, biar aku anter ke kamar.” Bisa dikatakan Laut adalah sosok pria baik dibalik sikapnya yang dingin. Ia bahkan tak memandang siapa orang yang ia tolong saat ini. Dengan tanpa rasa curiga sedikitpun Laut membantu Kei untuk kembali ke kamar gadi itu. Sheila dan Chacha menatap Laut tak mengerti, bagaimana bisa Laut tak melihat kilatan mata Kei serta senyum licik yang tercetak jelas di wajah cantik gadis itu?
            “Ini sebenernya Laut kelewat baik atau begok sih? Kenapa Laut nawarin diri buat nolongin Kei coba!” Chacha geram sendiri melihat Laut yang terlalu baik pada Kei. Sudah jelas-jelas Kei sedang berusaha merusak hubungan pria itu dengan kekasihnya, tapi masih saja tak sadar.
            “Tahu! Kalau gue jadi Lenta, udah gue putusin tuh Laut.” Sheila menimpali.
            “Udah-udah. Kalian berdua malah ngegosip. Makan aja yuk, udah laper tahu.” Bayu menghentikkan acara bergosip kedua wanita ini. Ia tak mau dengar kata-kata yang macam-macam mengenai Laut dan Kei. Bagaimanapun, ia mengenal baik sosok Laut dan Kei.
***
            Lenta memasuki kamar berwarna serba coklat, hitam dan putih itu. Ia melihat sosok pria yang tengah menenggelamkan dirinya didalam selimut berwarna hitam. Dengan senyum mengembang, Lenta menjatuhkan dirinya disamping pria yang masih menutup matanya itu.
            “Lenta, kamu ngapain sih pagi-pagi ke sini? Ganggu kakak tidur tahu nggak!” dengan suara seraknya, pria itu menggumam kesal pada Lenta. Ia tahu tujuan Lenta ada di kamarnya saat ini. Ia lebih meemilih bergelung dalam selimutnya dari pada harus berurusan  dengan rencana Lenta.
            Lenta memeluk kakaknya dibalik selimut itu. Mencium pipi Langit dengan penuh sayang. “Kak, bangun dong. Ini tuh udah siang tahu, karena mendung aja jadi kelihatan masih pagi.” Langit tak perduli dengan celotehan adiknya itu, yang ia butuhkan hanyalah tidur, guna mengabaikan gadis kecilnya dan rencananya.
            “Kak, bangun dong. Terus beberes diri deh, satu jam lagi Ayah pulang nih. Kakak, emang nggak mau ikut ke Bandung apa?” Tanya Lenta yang kini memainkan rambut berantakannya Langit.
            “Nggak! Jangan pernah ajak kakak ke Bandung kalau buat ke rumah wanita itu.” Tolak Langit mentah-mentah. Ia sudah berusaha untuk tak terdengar kasar, namun nyatanya, telinganya sendiri merasa takut mendengar suaranya yang begitu kasar 
            “Kakak nggak kangen sama Mama? Emang Mama salah apa sih Kak, sampai Kakak benci banget sama Mama?” Tangan Lenta berhenti memainkan rambut Langit. Kini ditatapnya Langit dengan sedih. Langit merasakan hal itu meskipun ia masih menutup matanya.
            Sebuah hembusan nafas berat keluar dari bibir Langit, menerpa wajah Lenta dengan aroma mintnya. Mata Langit terbuka dan menatap adiknya itu penuh dengan sabar. “Biar Kakak aja yang tahu. Sekarang, kalau kamu mau ketemu wanita itu, Kakak izinin. Tapi jangan paksa Kakak buat ketemu sama wanita itu.” Langit membelai lembut rambut Lenta. Ia rubah nada suaranya, ia tak mau menyakiti Lenta. Gadis ini adalah harta berharganya.
            “Kakak sayang sama Lenta?” Tanya Lenta dengan tatapan sendu.
            “Sangat. Kamu harta kakak yang berharga. Apapun bakal kakak lakuin buat adik, kakak yang satu ini.” Langit mencium kening Lenta.
“Kalau seandainya Lenta minta kakak putus sama Viona, gimana?” Tanya Lenta lagi.
            Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam jantung Langit. Ia tak percaya pertanyaan itu akan muncul dari bibir adiknya. Namun, seulas senyum terkembang dibibirnya, meskipun hatinya merasakan sesuatu yang jauh dari kata menerima pertanyaan itu. “Iya, kakak bakal putusin Vio.” Langit berhenti sejenak. “Demi kamu.” Langit mencium kening Lenta dengan sayang. Gadis kecilnya ini begitu berarti baginya dibandingkan wanita manapun.
            “Kakak tenang aja, aku nggak minta Kakak buat putus sama Viona, tapi aku cuma minta Kakak ikut aku sama Ayah ke rumah Mama. Aku pengen kita kumpul Kak.” Langit memberantakkan rambut Lenta dengan penuh sayang. Tatapan memohon Lenta inilah yang sebenernya tak pernah bisa ia tolak, tapi kali ini ia harus meneguhkan hatinya untuk tidak terbuai pada mata cantik itu.
            “Sayang, belum saatnya. Nanti, kalau Kakak udah bisa nerima semuanya, Kakak pasti mau kok ketemu wanita itu.” Jelas Langit.
            Lenta menghembuskan nafas berat. Ia menyerah untuk membujuk sang Kakak bertemu dengan Mamanya. Ia mengangguk kecil dan bangkit dari tidurnya, berjalan dengan lesu meninggalkan kamar Langit.
Sebenarnya Lenta tahu mengapa Langit begitu membenci mamanya. Tapi Lenta tak mau sampai Langit mengetahui hal itu. Yang ia tahu adalah Langit menyimpan itu sendiri karena untuk melindunginya. Dan sampai saat ini pun meski terdapat rasa kecewa pada mamanya, rindu itu nyatanya lebih dalam dibandingkan kekecewaannya. Semoga saja Langit juga merasakan apa yang ia rasakan, sehingga ia tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan keutuhan keluarganya lagi nanti.
            Lenta kembali ke kamarnya, menghempaskan tubuhnya dengan rasa kesal yang menghampiri hatinya. Ia kesal karena tak bisa membujuk Langit untuk ikut ke Bandung bersamanya dan Mudra. Namun bagaimanapun ia harus menghargai keputusan Kakaknya, ia juga tak bisa memaksa Langit untuk memaafkan mamanya bukan?
            Lenta melirik ponsel yang sedari tadi terbaring manis di atas bantal. Ia meraihnya, dan terdapat pemberitahuan pesan masuk ke dalam ponselnya. Lenta tersenyum manis saat nama Laut tertera disana.
From : Laut :3
Maaf hari ini nggak bisa pulang ke Bandung. Kei sakit, dan nggak ada yang jagain. Aku harus jagain dia. Besok aku janji langsung pulang pagi-pagi.
            Hati Lenta langsung patah saat itu juga. Laut telah berbicara begitu serius semalam, namun sekarang dengan mudahnya menarik ucapan sendiri tanpa memikirkan perasaannya yang telah bergantung pada Laut hari ini. Dan, apa dia bilang? Cuma karena Kei sakit, dia tidak bisa pulang? Apa sespesial itu hubungan diantara mereka, sampai-sampai Laut lebih mementingkan Kei dibandingkan dirinya yang berstatus sebagai kekasih dari pria itu?!
Sent : Laut :3
Oh jadi gitu! Pentingin aja orang lain dibanding cewek sendiri! Kamu tuh emang dari awal selalu mentingin TEMEN kamu dibanding aku!
Eh, tapi yang ini TEMEN SPESIAL!
            Runtuh sudah pertahanan Lenta siang ini. Air matanya mengalir dikedua pipinya. Sakit itu entah kenapa menyeruak didalam sana. ingin tak perduli, namun hatinya lebih kuat dibanding logikanya.
***
            Kei, melihat ponsel Laut yang bergetar. Laut sedang pergi keluar untuk membeli bubur, dan ponselnya tertinggal disana. Dan, dengan sejuta alasan Kei mampu menahan Laut disini, ia berhasil membuat pertemuan yang telah direncanakan Laut gagal dalam hitungan menit.
            Kei meraih ponsel Laut, tertera nama Lenta disana. Senyum sinis terkembang di wajah cantiknya. Jemarinya mengetikkan beberapa huruf disana, membentuk sebuah kalimat yang akan membuatnya semakin leluasa mendekati Laut.
            Laut baru saja kembali, dan buru-buru Kei meletakkan ponsel Laut dinakas setelah memastikan ia menghapus bukti bahwa ialah yang membalas pesan dari Lenta.
            “Gimana kakinya? Udah enakan?” Tanya Laut yang duduk disisi ranjang. Kei mengangguk kecil dan tersenyum tipis. Laut balas dengan senyum tipis pula. Ia segera meraih ponselnya, melihat pada layar untuk memastikan Lenta membalas pesannya. Namun, kekecewaan itu harus diterima Laut manakala tak ada nama Lenta disana yang membalas pesannya.
***
From : Laut :3
Kamu tuh kenapa sih? Bawaannya cemburu mulu! Aku bosen kamu cemburuin. Mendingan kita jalan sendiri-sendiri aja, capek pacaran sama cewek childish kaya kamu! Dan mulai sekarang jangan hubungin aku lagi!
            Lenta menatap tak percaya pada deretan kata yang seolah menertawakan  kebodohannya yang menggantungkan diri pada Laut. Dan sekarang, dengan kasar ia menyeka air matanya, tak mau lagi bergantung kepada Laut, toh sekarang dia bukan siapa-siapanya Laut-kan?
            Tanpa pikir panjang, Lenta menghapus nomor Laut dari phonebook-nya, lebih baik ia bersiap-siap untuk pergi ke Bandung. Bertemu dengan sang Mama mungkin adalah obat yang paling mujarab. Siapa tahu saja.
            “Sayang.” Lenta menoleh saat mendengar suara berat yang dimiliki sang Ayah. Ia tersenyum manis dan menghampiri Mudra. “Udah siap?” Tanya Mudra.
            “Udah dong Yah. Nggak sabar mau ketemu Mama.” Lenta meraih tangan Mudra untuk digandengnya setelah menutup pintu kamar.
            Dengan gemas, Mudra memberantakkan rambut Lenta yang rapi itu. “Gimana? Laut udah pulang?” tanya Mudra yang membuat wajah Lenta murung seketika. Dengan tersenyum tipis, Mudra tahu apa yang dirasakan putrinya saat ini, dan tanpa menjawab pertanyaannya-pun, Mudra sudah tahu apa jawaban dari Lenta. “Yaudah nggak usah cemberut gitu ah. Kan mau ketemu Mama.” Mudra membukakan pintu penumpang pada honda jazz miliknya kepada putri bungsu di rumah ini, ia memutar tubuhnya dan menempatkan dirinya disamping sang putri.
            “Yah, Lenta tidur yah.” Izin Lenta dan diangguki oleh Mudra.
***
            Lenta mengarahkan sang Ayah untuk berhenti tepat di depan seorang gadis yang tengah membeli rujak yang kebetulan lewat. Senyumnya merekah dan segera turun dari mobil. Mudra memandang putrinya dengan tatapan heran. Namun, matanya tetap mengawasi Lenta.
            Tak berapa lama, Lenta masuk kembali kedalam mobil dan memandang Ayahnya penuh senyum. “Yah, kata Kak Tasya, rumah Mama yang pagernya warna putih itu loh.” Lenta menunjuk sebuah rumah berpagar putih, rumah yang hanya satu lantai dan memiliki pekarangan yang luas.
            Mudra mengangguk kecil dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan pelan. Rumah itu hanya berjarak beberapa rumah dari tempat ia berhenti tadi. Mobilpun berhenti tepat didepan pagar putih yang tingginya hanya sekitar satu meter.
            Lenta buru-buru keluar dari mobil diikuti dengan Mudra. Lenta membuka gerbang tersebut dengan mudah karena tidak digembok. Dengan senyum yang mengembang diwajahnya, Lenta mengetuk pintu berwarna putih itu dengan tak sabaran, ditambah bibirnya melantunkan kata Mama dengan keras.
            “Sayang, pelan-pelan. Mama kamu nanti malah males bukain pintu buat kamu.” Mudra memberantakan rambut Lenta. Ia senang, putrinya tak secemberut saat mereka berangkat tadi.
            “Ma, ini Lenta, Ma.”    Pintu putih itu terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah tak muda lagi. Dan wajah cantik itulah yang menurun pada Lenta. Lenta langsung berhambur kedalam pelukan Alien, bahkan keduanya hampir saja jatuh jika Alien tak berpegangan pada pintu tadi.
            “Lenta sayang, hati-hati dong.” Suara Mudra membuat Lenta melepaskan diri dari Alien, Alien menatap pria paruh baya yang masih berada di dalam hati kecilnya. Senyum kaku itu muncul seiring rasa malu dan berdosa kembali menyeruak dalam dirinya. Ia merindukan Mudra, namun ia sadar, ia bukanlah wanita yang pantas untuk menunjukkan rasa rindunya pada Mudra, terlebih ia telah melakukan kesalahan besar.
            “Masuk Mas, Len.” Alien mempersilahkan anak dan mantan suaminya itu untuk masuk ke dalam rumahnya yang baru. Rumah yang sekitar satu tahun ini menjadi tempat ia berlindung dan berhasil membuat mantan suaminya menemukannya setelah dua belas tahun lebih mereka berpisah.
***
            Langit menatap rintikan hujan dari balik jendela kamarnya. Setiap titik hujan yang turun, kenangan itu menghampirinya, mencoba menyentuh hati kecilnya dan menyadarkannya bahwa ia merindukan wanita tersebut.
            Dulu, setiap kali hujan turun, Langit paling takut tidur sendiri meskipun itu pada siang hari. Dan Alien, sosok Mama yang—dulu—selalu dibanggakannya menemaninya dalam tidurnya, membacakan dongeng, menyanyikannya lagu, bahkan Mamanyalah yang mengajarinya bermain gitar. Langit jadi ingat, saat itu ia tengah bermain gitar dibawah guyuran hujan, bersama sang Mama yang menyanyi dan adik kecilnya yang menari, semua terasa indah meskipun pada akhirnya ketiganya mendapat omelan dari sang Ayah.
            Senyum itu terlihat begitu miris tercetak dibibir Langit, matanya-pun ikut mengeluarkan cairan bening itu. Hatinya menangis lebih dari apa yang keluar dari matanya. Sebuah tangan menyapu lembut kepala Langit, membuat Langit mengadahkan kepalanya, melihan sosok yang masuk ke dalam rumahnya tanpa sepengetahuannya, bahkan gadis itu sudah masuk kedalam kamarnya.
            “Kakak kenapa?” Tanyanya yang kini menghapus air mata Langit. Selama menjalin kasih dengan Langit, ini pertama kalinya ia melihat Langit menangis. Dan dari sosok keras kepala serta tegas yang dimiliki Langit, Langit adalah sosok pria yang rapuh.
            Tanpa pikir panjang, Langit langsung memeluk gadisnya itu. Menangis disana tanpa perduli sehabis ini ia akan menjadi bulan-bulanan gadis yang dipeluknya itu. “Aku kangen wanita itu, tapi aku juga benci sama dia. Dia yang udah buat Ayah sakit hati, dia yang buat Ayah terpuruk, dan dia yang nggak pernah mencoba buat mempertahankan kami. Dia milih pergi sama cowok brengsek itu, dan sekarang dia malah balik kesini, mencoba buat ngerubah semua yang udah berjalan normal tanpa dia. aku benci dia, Vio.”
            Dengan lembut, Viona mengusap punggung Langit dengan sabar. Mencoba memberikan ketenangan pada kekasihnya itu. “Aku tahu Kakak benci sama Tante Alien. Tapi coba, Kakak tanya lagi sama hati Kakak, apa rasa benci Kakak itu lebih besar dari rasa cinta juga kangen Kakak sama Tante Alien.” Usul Viona.
            Langit diam dalam pelukan Viona, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu. Jawabannya adalah, rasa sayang Langit ternyata jauh lebih besar, ia ingin bertemu dengan sang Mama namun sisi hatinya yang lain gengsi untuk mengatakn hal tersebut.
            Langit melepaskan diri dari pelukan Viona, menghapus air matanya dan berjalan menuju pintu yang ada di sudut kamarnya. Ia membersihkan wajahnya yang mungkin sudah super kucel karena tangisan sialan yang tiba-tiba merubahnya menjadi sosok Langit yang rapuh.
            “Kak, Lenta mana?” Tanya Viona yang sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi Langit.
            Langit meletakkan handuk yang baru saja digunakannya untuk mengeringkan wajahnya. “Ke Bandung.” Jawab Langit yang melewati Viona. Ia keluar dari kamar, pikiran yang memutar masa lalu itu membuat perutnya tiba-tiba merasa lapar.
            “Ketemuan sama Laut? Kok nggak bilang-bilang?” Tanya Viona yang membuntuti Langit dari belakang.
            “Nggak. Ketemu sama Mama.” Jawab Langit singkat saat menuruni tangga.
            Mendengar Langit menyebut ‘Mama’, Viona langsung mempercepat langkah kakinya. Berhenti tepat di depan Langit dan membuat Langit memutar bola matanya kesal karena tingkah kekasihnya itu. “Kakak manggil Tante Alien tadi pake Mama yah?” Tanya Viona memastikan.
            “Iya. Kenapa emangnya? Ada yang salah?” Tanya Langit ketus. Ia melangkah lagi melewati Viona.
            Viona mencoba mengejar Langit lagi, kini langkahnya sudah sejajar dengan Langit. “Mulai deh juteknya. Heran deh!” Viona mendengus kesal, membuat Langit menghentikkan langkahnya dan menghadap kekasihnya itu.
            “Udah nggak usah ngambek ih.” Langit memberantakkan rambut gadisnya itu. Matanya menangkap jam antik yang berdiri manis disamping lemari yang ada di ruang tengah. Senyumnya mengembang tipis disana. “Udah jam sepuluh malem, kamu nggak dicariin sama Mama kamu?” Tanya Langit perhatian.
            “Di rumah nggak ada orang udah gitu, tadi Kakak ditelfon nggak diangkat-angkat, yaudah aku kesini aja.” Jawaban polos itu keluar dari bibir tipis Viona.
            “Yaudah, mending kita sekarang makan dulu abis itu kamu, aku anter pulang.” Ajak Langit yang langsung diangguki setuju oleh Viona.
***
            Disini Alien berada sekarang. Satu mobil bersama dengan mantan suami dan malaikat kecil yang sekarang tumbuh dewasa. Bahkan putrinya itu sekarang sudah mengenal cinta, namun wajah polos dua belas tahun yang lalu masih tercetak disana, terlebih saat ia tertidur seperti sekarang. Dan, wajah polos itulah yang membawanya bertemu dengan pria yang saat ini berstatus sebagai mantan suaminya.
Dan, saat ini mereka sedang berada di perjalanan menuju Jakarta. Hatinya berdebar, ia tak sabar untuk bertemu dengan putra sulungnya. Mendengar suaranya saat itu membuat rasa bersalahnya semakin besar, dan malam ini ia akan bertemu juga menjelaskan semuanya pada Langit.
“Lebih baik kamu tidur, udah malem.” Mudra memecahkan keheningan di dalam mobil.
Alien menggeleng kecil. “Aku nemenin Mas aja, bentar lagi juga sampe Jakarta kan?” Alien tersenyum tipis, membuat hati Mudra tenang.
Entahlah, meskipun rasa sakit itu pernah tertinggal di hati Mudra, namun hatinya masih menyimpan rasa sayangnya terhadap wanita disampingnya ini. Ia ingin Alien kembali kedalam pelukannya, bukan hanya untuk kedua anaknya melainkan juga untuk dirinya. Ia akan membuat keluarganya kembali normal, seperti tiga belas tahun yang lalu, saat ia belum pergi ke Jepang dan meninggalkan keluarganya di Jakarta, dan ternyata itulah yang membuat keluarganya hancur.
***
Laut sedari tadi menempatkan ponselnya di telinga kanannya. Sedari tadi ia mencoba menghubungi Lenta, namun nomor ponsel gadisnya itu  tidak aktif. Laut juga mencoba menghubungi rumah Alien, tak ada yang mengangkatnya. Bahkan, nasib yang sama juga menimpanya saat mencoba menelfon nomor rumah Lenta.
Laut menyerah! Ia membanting tubuhnya dengan frustasi di atas ranjangnya. Ia mengotak-atik akun sosial medianya, menuju profil Lenta, namun kekecewaan lagi-lagi harus diterima oleh Laut karena tidak mendapatkan tanda-tanda kehidupan dari Lenta didunia mayanya.
“Telfon Bunda aja, siapa tahu dia lagi sama Bunda.” Saran Bayu yang sedari tadi memperhatikan kegelisahan dari sahabatnya itu.
“Udah, tapi nggak ada yang ngangkat, kayanya Bunda lagi nggak di rumah deh.” Laut masih memandang ponselnya, saat ini ia mencoba mengirim pesan pada teman-teman Lenta untuk menanyakan keadaan gadis itu.
“Telfon ponsel Bunda dong Laut!” Geram Bayu.
“Gue nggak ada nomernya Bunda, Bay. Lo ada?” tanya Lenta penuh harap.
“Calon mantu apaan lo, nomer calon mertua aja nggak tahu!” Bayu memberikan ponselnya yang telah menampilan deretan angka milik Alien disana. Dengan senang hati Laut menerima ponsel Bayu, dan menelfon Alien menggunakan ponsel Bayu.
Bayu mendelik pada Laut, namun baru saja ia ingin melayangkan protes pada Laut, suara Laut kini menjadi lembut tanda telfon telah diterima oleh seseorang di sebrang sana.
“Bun, ini Laut. Lenta sama Bunda?” tanya Laut sopan. “Oh yaudah kalau gitu Bun, makasih yah. Nggak usah dibangunin Lentanya, kasihan dia. Salam yah Bun buat Lenta. Assalamualaikum.” Laut mengakhiri telfonnya bersama Alien, ia memberikan ponsel Bayu pada sang pemilik dengan wajah yang super lesu.
“Kenapa? Nggak biasanya lo lesu gini kalau Lenta nggak ada kabar.” Tanya Bayu heran. Biasanya temannya ini tak perduli kalaupun Lenta tak memberi kabar padanya.
“Kondisinya beda Bay. Kalo biasanya kan nggak ada masalah, tapi ini gue batalin janji mau balik ke Bandung gara-gara nemenin Kei. Lo tahu kan, Lenta itu paling sensi kalau gue udah nyangkut-pautin sama Kei.” Jelas Laut frustasi.
“Lo juga nggak perduli biasanya Lenta cemburu atau nggak. Kenapa sekarang jadi bingung gini.” Bayu makin tak mengerti dengan temannya itu.
“Entahlah. Gue juga bingung.” Laut merasakan hal yang sama seperti Bayu. Namun, mau bagaimana lagi. Hatinya benar-benar tak tenang.
Laut mulai menyadari, jika Laut hari ini bukan Laut yang sebelumnya. Ia sadar, semenjak nama Rama disebut oleh Lenta, hatinya mulai benar-benar tak tenang dengan hubungan yang mereka jalani saat ini. tapi tunggu! Apa tadi dia bilang? Rama? Jadi benar, Laut mulai cemburu dengan sosok Rama?
Entahlah, biarkan saja waktu yang benar-benar menjawab rasa apa yang bergelenyar dihatinya saat ia mendengar sosok pria itu dekat-dekat dengan gadisnya. Tapi, Laut berjanji ia tak akan melepaskan Lenta begitu saja meskipun hubungan yang mereka jalani adalah hubungan jarak jauh. Meskipun tak mudah, Laut tetap menikmatinya. Mencoba membangun sebuah hubungan yang tak kenal dengan sebuah tantangan meskipun ia datang dengan sejuta alasan, namun Laut akan berusaha tak memperdulikan mereka. ya, Laut tak akan perduli dengan apapun yang membuat hubungannya dengan Lenta rusak.

Long Distance RelationshipМесто, где живут истории. Откройте их для себя