Girang bukan main rasa hati Sin Liong. Dengan beberapa totokan dia membebaskan orang itu yang segera menggeliat dan memijit-mijit dadanya, kemudian memandang kepada Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri. "Aku akan menunjukan tempatnya, akan tetapi....kau harus tahu bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka bukanlah aku pembunuhnya."
Tentu saja kata-kata ini membuat Sin Liong terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak bicara lagi, melainkan berkata dengan suara terengah.
"Lekas.... tunjukkan....!" Dan dia menyambar pergelangan tangan orang itu agar jangan sampai melarikan diri melalui tempat-tempat rahasia.
Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong dan ternyata lorong-lorong itu amat ruwet bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya. Pantas saja dia tidak berhasil, pikir Sin Liong dan merasa kagum. Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah melalui jarak yang kurang lebih lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata, lebar sempit dan di situ banyak terdapat gundukan-gundukan batu pedang dan dari atas bergantungan pula batu-batu yang runcing. Mereka berada di dalam guha-guha besar yang berbeda sekali dengan guha-guha dari mana Sin Liong dan Swat Hong masuk.
"Di mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suarnya gemetar karena dia merasa tegang sekali.
Benarkah bahwa Swat Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan kekhawatirannya. Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh!
"Di mana dia? Hayo katakan!" Dia mengguncang tangan orang kerdil itu.
Tubuh orang itu menggigil. "Dia... di dalam guha sana itu.... lihat, di sana ada lubang besar, bukan?"
"Hayo kita ke sana!"
"Tidak.... tidak, aku takut....! Mereka menjebaknya di sana, tempat itu adalah sarang laba-laba raksasa yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas ....."
Sin Liong tidak perduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui bantu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara lirih.
"Sumoi....!" Dia berteriak.
"Suheng.... aihhhh.... Suheng....!" Terdengar suara tangis.
Swat Hong yang menangis. Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya lagi. Dia sudah memasuki guha dan terus ke dalam, membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong.
Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda dengan pedang tiangkat tinggi-tinggi dan tangan kiri siap di depan dada. Matanya yang terbelalak memandang tajam kepada seekor laba-laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggauta bulat seperti mata melotot kepadanya. Di belakang laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan main besarnya, benang sarang laba-laba itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada sarang itu, tak dapat dilepaskan lagi. Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata, "Suheng....., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu....!"
Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan keras, dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun. Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup, akan tetapi dia tidak memperdulikan atau memusingkan hal itu, yang penting adalah menolong sumoinya.
"Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar saking girang dan terharunya.
Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan cepat sekali dan tiba-tiba berbarengan dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah Sin Liong. Itulah benang besar yang mengandung daya lekat luar biasa sekali, Sin Liong menggerakan pedang rampasannya dan tali putih itu terbabat putus, kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua kemudian dari samping dia menggerakan kaki menendang.
"Desss....!!" Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu, namun terkena tendangan kaki Sin Liong, dia terlempar, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu menghamburkan banyak benang putih ke arah Sin Liong.
Pemuda perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia memandang lagi, ternyata laba-laba itu telah lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah dinding batu. Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali karena sarang itu mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakan pedangnya karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang melintang dan melekat pada tanah dan pada langit-langit guha.
Pedangnya menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu, membawa tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah, gadis itu telah lemas sekali dan tentu akan terbanting kalau saja tidak disambar oleh Sin Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang laba-laba itu dan memondong tubuh sumoinya yang lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoinya yang duduk bersandar batu.
"Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoinya.
Detik jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa sumoinya itu telah keracunan!
"Untung.... untung kau datang, Suheng.... kalau tidak.....aku sudah hampir tidak kuat....." Gadis itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin Liong.
Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong menangis. Tak lama kemudian dia berkata, "Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun, akan tetapi berapa lama kau tertawan seperti itu?"
"Sejak malam tadi....... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...."
"Sudahlah, mari kubantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu."
"Nanti dulu aku harus menceritakan dulu kepadamu....." Swat Hong berkata terengah-engah, "ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih mencengkeram hatiku suheng."
Sin Liong mengangguk. Menurut hasil penyelidikan tadi, biarpun terserang hawa beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya dan malah lebih berbahaya ketegangan dan pukulan batin yang dideritanya selama satu malam itu. Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram merupakan obat mujarab pula, seolah-olah kengerian yang ditahan-tahan itu memperoleh jalan keluar dan dapat meringankan hati yang tertekan.
"Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak berkelebatnya bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku ke tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku mengejarnya. Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki guha ini. Aku cepat mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang diantara mereka dan memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam guha ini, aku menerjang dan melompat maju, bermaksud menangkap seorang di antara mereka."
Sin Liong mendengarkan penuh perhatian dan diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoinya dan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran mereka untuk menawan seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoinya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing memasuki jebakan yang amat mengerikan.
"Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat sarang laba-laba itu. Tubuhku tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan hendak menggigit, aku pingsan entah beberapa kali."
"Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguhpun aku merasa heran sekali...."
"Dapat kau bayangkan betapa ngeriku, Suheng, ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang mendatangkan cahaya remang-remang amat mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan laba-laba itu...... mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu-ragu..... ihh, melihat kaki yang berbulu itu, meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak.
"Memang hebat sekali pengalamanmu, Sumoi. Akan tetapi yang penting, engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia amat berbisa."
"Berkat inilah," Swat Hong mengeluarkan sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau.
"Ah kiranya engkau membawa bekal Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu."
"Baik, Suheng.... aku...... ahhhh......" Tiba-tiba napasnya menjadi sesak dan Swat Hong terguling pingsan!
Sin Liong cepat menyambar tubuh sumoinya dan memeriksanya. Dia merasa heran sekali karena begitu memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa keadaan sumoinya tidak seringan yang diduganya semula. hal ini adalah karena tadi sumoinya meletakan Batu Mustika Hijau itu di pinggangnya, maka ketika pada pemeriksaan pertama, hawa beracun agak tertolak oleh mustika itu sehingga kelihatanya hanya ringan. Sekarang, setelah batu itu dikeluarkan, daya tolak racun dari batu itu meninggalkan tubuh Swat Hong dan hawa beracun yang amat jahat itu menyerang sepenuhnya membuat Swat Hong roboh pingsan.
Sin Liong tidak ragu-ragu lagi, cepat dia memijat tengkuk dan mengurut kedua urat besar di pundak. Swat Hong mengeluh lirih dan membuka matanya.
"Sumoi, kau ternyata terluka hebat juga di sebelah dalam tubuhmu oleh hawa beracun itu. Lekas kau buka baju atas, aku harus mengerahkan sinkang, menempelkan tangan di punggungmu, langsung tidak tertutup pakaian."
Suara Sin Liong sungguh-sunggu dan Swat Hong juga mengerti akan keadaannya yang berbahaya. Dia merasa pening dan dadanya sesak sekali, maka tanpa membuang waktu lagi dia lalu membuka bajunya, duduk membelakangi Sin Liong dan membiarkan punggungnya terbuka sama sekali.
"Aughhh....ahhh, panas sekali..... ah, Suheng, badanku seperti dibakar rasanya...." Swat Hong merintih sambil memegangi bajunya dan mencegah baju itu merosot.
"Tenanglah, Sumoi. Biar kumulai, kau menerima sajalah hawa sinkang dariku."
Sambil duduk bersila di belakang Swat Hong, Sin Liong lalu mnyalurkan tenaga sinkang yang dingin, menempelkan telapak tangan pada punggung yang berkulit putih mulus, halus dan pada saat itu panas sekali. Setelah telapak tangannya menempel, baru Sin Liong tahu betapa hawa beracun itu mendatangkan hawa panas yang makin lama makin hebat. Ahh, dia terlalu sembrono, mengira luka sumoinya tadi ringan saja sehingga tidak segera mengobati sumoinya.
Swat Hong merasa tersiksa, mulutnya terbuka dan dia merintih-rintih. Hawa panas luar biasa yang menyerang dari dalam membuatnya berpeluh, akan tetapi kini terasa olehnya betapa dari telapak tangan di punggungnya itu masuk perlahan-lahan hawa dingin, sedikit demi sedikit. Dia ingin membatu Sin Liong akan tetapi diurungkannya niat itu. Biarlah, dia ingin melihat sampai di mana pemuda itu akan membelanya. Dia tahu bahwa mengerahkan Swat-im-sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang panas itu membutuhkan pengerahan tenaga yang kuat, apalagi harus dilakukan sedikit demi sedikit dengan hati-hati sehingga akan menghabiskan tenaga. Pula, begitu merasa telapak tangan pemuda itu di punggungnya yang telanjang, semacam perasaan aneh memasuki hatinya dan dia ingin agar telapak tangan suhengnya itu tidak lekas dilepaskan dari pungungnya! Karena itulah dia tidak mau membantu, membiarkan suhengnya mengerahkan tenaga sendiri untuk mengusir hawa beracun itu.
Sin liong tidak menaruh curiga, hanya mengira bahwa sumoinya terlalu lelah sehingga tidak kuat membantunya. Hal ini malah membuat dia makin bersemangat mengerahkan tenaganya. Mukanya mulai meneteskan keringat dan dia memejamkan matanya, memusatkan seluruh hati dan pikirannya ke dalam usaha pengobatan itu. Dia tidak tahu betapa sumoinya tersiksa, bukan hanya tersiksa oleh bentrokan antara tenaga Swat-im-sin-kang yang mengusir hawa beracun panas melainkan juga tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tidak karuan. Tidak melihat betapa Swat Hong mengepal tangan kirinya, mulutnya terbuka terengah-engah, dan dimukanya tidak hanya peluh yang menetes, melainkan juga air mata!
Juga kedua orang muda ini tidak tahu betapa di tempat itu muncul bayangan seorang kakek yang berdiri tegak memandang mereka sambil mengelus jenggotnya. Kakek ini berpakaian rapi dan sederhana bentuknya namun yang terbuat dari kain yang mahal, jenggotnya yang panjang terpelihara rapi, sudah banyak putihnya, dan rambutnya yang putih juga tersisir rapi dan digelung ke atas, diikat dengan pembungkus rambut sutera biru dan ditusuk dengan tusuk konde emas. Wajah kakek ini biarpun sudah tua namun masih kelihatan tampan dan bersih, ketampanan yang membayangkan kekejaman, apa lagi dari sinar mata dan tarikan mulutnya yang seperti orang mengejek. Kalau tidak melihat mulut dan sinar matanya, kakek ini tentu akan menimbulkan rasa hormat karena dia lebih pantas menjadi seorang pendeta atau pertapa yang agung.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan pandang matanya tertuju kepada tubuh belakang Swat Hong yang telanjang. Sinar matanya seperti membelai-belai punggung yang melengkung indah itu, yang terakhir di bawah membesar sampai ke pinggul yang hanya tertutup sebagian oleh baju yang merosot, dari samping punggung tampak membayang tonjolan buah dada yang gagal tertutup sama sekali oleh baju yang dipegang oleh tangan Swat Hong. Dalam keadaan tanggung-tanggung ini, telanjang sama sekali bukan dan tertutup rapat juga bukan, keadaan Swat Hong mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan mudah membangkitkan berahi seorang pria yang memang benaknya penuh terisi oleh khayalan-khayalan cabul!
Siapakah kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun akan tetapi masih begitu tertarik melihat punggung telanjang seorang dara? Dia adalah seorang bertapa yang belum lama turun dari pertapaannya di lereng Pegunungan Himalaya. Selama dua puluh tahun dia meninggalkan daratan besar merantau ke barat dan akhirnya bertapa di lereng Himalaya, bertemu dengan pertapa-pertapa sakti dan mempelajari ilmu. Dahulunya dia adalah seorang tosu yang ingin memperdalam ilmunya. Akan tetapi setibanya di Himalaya, dia bertemu dengan ahli ilmu hitam sehingga pelajaran Agama To diselewengkan menjadi pelajaran kebatinan yang penuh dengan ilmu sihir yang aneh-aneh. Dan karena memang di dalam dirinya belum bersih, ilmu hitam yang dipelajarinya membuat semua kekotoran di dalam dirinya itu menonjol dan mencari jalan keluar, dibantu dengan ilmu sihirnya sehingga pendeta Agama To ini menyeleweng menjadi seorang pertapa atau pendeta palsu yang tidak segan-segan melakukan apa pun demi mencapai kenikmatan dan kesenangan dunia.
Nama pendeta ini adalah Ouwyang Cin Cu, sorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi, memiliki kekuatan sihir yang membuat dia terpakai sekali tenaganya oleh Jenderal An Lu Shan. Berkat ilmu sihir dari Ouwyang Cin Cu inilah, yang merupakan obat "guna-guna", maka An Lu Shan yang kasar itu berhasil memikat hati Yang Kui Hui!
Bertapa atau melakukan segala usaha penekanan terhadap nafsu adalah usaha sia-sia dan palsu belaka, karena tidak mungkin akan berhasil selama di dalam dirinya masih berkecamuk nafsu itu sendiri. penekanan hanyalah akan menghentikan timbulnya nafsu itu sementara waktu saja, akan tetapi bukanlah berarti bahwa nafsu itu sudah mati. Sewaktu-waktu, jika penekanannya berkurang kuatnya, tentu akan meledaklah nafsu yang ditahan-tahan. seperti api dalam sekam , sewaktu-waktu dapat membakar. karena yang menekan nafsu ini pun sesungguhnya adalah nafsu sendiri dalam lain bentuk atau lain nama yang kita berikan kepadanya. Keinginan tidak mungkin dilenyapkan dengan lain keinginan, karena akan menjadi lingkaran setan yang tiada berkeputusan. Apa artinya bertapa di tempat sunyi, meninggalkan masyarakat agar tidak melihat lagi wanita dan timbul nafsu berahi kalau nafsu berahi itu sendiri masih bercokol di dlam batinnya, kalau dirinya sendiri setiap saat digerogoti oleh nafsu berahi yang masih bercokol di dalam batin itu? Sebaliknya, biarpun hidup di antara seribu orang wanita cantik, kalau memang tidak ada nafsu berahi di dalam hatinya sama sekali bersih, pasti tidak akan ada gangguan sesuatu di dalam batin.
Jadi yang penting bukanlah mencari pelarian, bukanlah melarikan diri dari segala macam nafsu, dalam hal ini sebagai contoh adalah nafsu berahi, melainkan membebaskan diri dari nafsu berahi. Dan kebebasan ini hanya dapat terjadi apabila kita mengerti benar, mengenal benar diri sendiri, mengenal nafsu berahi yang membakar kita, dan tak mungkin kita dapat mengenal tanpa kita mempelajari, mengawasi, mengamati dengan seksama tanpa usaha untuk mendudukannya! Dengan pengamatan ini maka segala akan tampak jelas, segala akan kita kenal dan dari pengamatan akan timbul pengertian, dari pengertian akan muncul suatu tindakan yang berlainan sama sekali dari tindakan palsu pelarian.
Demikianlah halnya dengan Ouwyang Cin Cu, karena puluhan tahun lamanya dia menahan-nahan dan menekan nafsu, setelah kini dia menguasai ilmu yang tinggi, memperoleh jalan untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, dia membiarkan nafsu-nafsunya bersimaharajalela, seolah-olah untuk menebus pertapaannya yang selama puluhan tahun itu!
Begitu turun gunung kembali ke timur untuk menikmati seluruh sisa hidupnya dengan segala macam kesenangan yang diinginkan tubuhnya, dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan. Memang dia seorang yang cerdik, maka tampaklah olehnya kesempatan terbuka baginya untuk mencari kedudukan tinggi, kemuliaan sebagai seorang penguasa. Dia mengunjungi An Lu Shan dan dengan demonstrasi kepandaiannya, baik silat maupun sihir, dia diterima dengan tangan terbuka dan diberi kedudukan tinggi, yaitu penasihat urusan dalam dari Jenderal itu! Tentu saja dia tidak dapat menjadi penasehat urusan perang karena dia sama sekali tidak mengerti akan ilmu perang. Mulailah Ouwyang Cin Cu hidup mewah dan terhormat di dalam istana An Lu Shan, segala kehendaknya terlaksana. Kemewahan, kehormatan, dan pelampiasan nafsu berahinya karena disediakan banyak pelayan-pelayan wanita muda yang cantik-cantik untuk kakek ini!
Pada waktu itu, Ouwyang Cin Cu diutus oleh An Lu Shan untuk mengunjungi Rawa Bangkai, karena An Lu Shan yang sudah tahu akan kelihaian dua orang wanita The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li, mempunyai niat untuk menarik kedua wanita itu sebagai pembantu dalam dan pengawalnya. Hal ini menunjukan kecerdikan Jenderal itu. Dia tahu bahwa The Kwat Lin adalah bekas Ratu Pulau Es, maka selain memiliki ilmu silat yang hebat, tentu juga memiliki ambisi-ambisi pribadi terhadap kerajaan yang hendak mereka gulingkan dan rampas. maka kalau wanita seperti itu diberi kesempatan memperoleh kekuasaan dengan pasukan yang kuat, kelak tentu akan menjadi penghalang dan saingan belaka. Berbeda kalau wanita itu ditugaskan mengawalnya, segala gerak-geriknya dapat diawasi selain tenaganya dapat dipergunakan untuk mengawalnya sehingga dia akan merasa lebih aman dan terjamin keselamatannya.
Demikianlah, Ouwyang Cin Cu lalu diutusnya mengunjungi Rawa Bangkai setelah lima orang utusan pertama ke Rawa Bangkai yaitu Bi Swi Nio, Liem Toan Ki dan tiga orang kakek lain berhasil dengan baik mengunjungi Rawa Bangkai. Sekali ini, Ouwyang Cin Cu membawa surat pribadinya yang dengan ramah mengundang kedua orang wanita itu untuk mengunjungi istananya untuk mengadakan perundingan.
Kedatangan Ouwyang Cin Cu menimbulkan kegemparan, juga disambut dengan kagum oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Ketika lima orang utusan yang terdahulu datang, Kiam-mo Cai-li telah memberikan rahasia jalan menuju ke Rawa Bangkai tanpa menyeberangi rawa, yaitu melalui jalan terowongan di bawah tanah, dari balik gunung yang dijaga oleh orang-orang kerdil yang juga sudah takluk dan menjadi kaki tangannya. Maka kedatangan Ouwyang Cin Cu sekali ini tidaklah sukar, dan Ouwyang Cin Cu dengan kepandaiannya yang tinggi dapat menyelinap melalui terowongan dan menembus ke pulau di tengah rawa. Betapa kagetnya semua orang ketika melihat seorang kakek datang menunggangi seekor harimau!
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li melompat ke depan, siap untuk menghadapi lawan, akan tetapi Ouwyang Cin Cu yang masih duduk di atas punggung harimau itu tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang masih lengkap. "Apakah Jiwi yang bernama The-lihiap dan Kiam-mo Cai-li yang terkenal itu?"
"Benar, siapakan Totiang?" tanya The Kwat Lin hati-hati karena sikap tosu ini menunjukan bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi.
"Ha-ha-ha, benar-benar tidak berlebihan yang pinto dengar. Kalian selain gagah perkasa juga amat cantik. Pinto adalah Ouwyang Cin Cu, utusan pribadi An-goanswe dan inilah surat beliau untuk Jiwi!" Dia menggosok kedua telapak tangannya dan tampaklah asap mengepul tinggi. Asap itu membentuk bayangan seorang pelayan istana yang cantik, yang berjalan terbongkok-bongkok kepada kedua orang wanita itu dan menyerahkan sebuah sampul surat!
Tentu saja The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li bengong terlongong menyaksikan permainan sulap yang hebat ini. The Kwat Lin menerima surat itu sambil mengerahkan sinkangnya dan..... wushhhh, wanita pelayan itu lenyap tanpa bekas!
"Ha-ha-ha, The-lihiap benar hebat!" Ouwyang Cin Cu berseru dan dia meloncat turun dari atas punggung harimau, lalu meniup ke arah harimau itu dan..... harimau itu tertiup dan melayang tinggi lalu lenyap di angkasa!
Tentu saja semua ini adalah hasil sihir dari Ouwyang Cin Cu. Harimau dan pelayan wanita itu tentu saja tidak ada sesungguhnya, yang ada hanyalah Ouwyang Cin Cu yang mempergunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi dua orang wanita itu sehingga mereka melihat apa yang dikhayalkan oleh Ouwyang Cin Cu! Padahal, yang menyerahkan surat adalah pendeta itu sendiri yang datang dengan jalan kaki.
Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hik, kiranya utusan An-goanswe adalah seorang tukang sulap!"
Ouwyang Cin Cu memandang wanita itu sambil tersenyum. Mereka saling pandang dan sudah ada kecocokan di antara mereka. Kiam-mo Cai-li dapat melihat bahwa kakek itu, biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih tampan gagah dan matanya bersinar-sinar penuh nafsu berahi! Sebaliknya Ouwyang Cin Cu juga dapat mengenal Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang biarpun usianya sudah setengah abad lebih, namun memiliki nafsu yang besar dan awet muda karena terlalu banyak mempermainkan dan menghisap hawa muda dari banyak perjaka! Dia tersenyum makin lebar dan berkata, "Bukankah Cai-li suka akan ilmu sulap? Kita berdua suka bicara dan bersikap terang-terangan, tanpa menutupi badan sama sekali, bukan?"
Kalau bukan Kiam-mo Cai-li yang terkena sihir itu, tentu dia akan menjerit saking kaget dan ngerinya. Betapa tidak akan ngeri kalau tiba-tiba dia melihat dia sendiri dan Ouwyang Cin Cu tidak berpakaian sama sekali, telanjang bulat sama sekali di tengah-tengah orang banyak itu! Akan tetapi, ketika dia melirik dan melihat bahwa The Kwat Lin dan yang lain-lain tidak mengadakan berubahan apa-apa, tahulah dia bahwa yang melihat mereka telanjang bulat itu hanyalah mereka berdua! Diapun tersenyum dan menjelajahi tubuh telanjang kakek itu dengan pandang mata kagum, seperti yang dilakukan pula oleh Ouwyang Cin Cu kepadanya.
Pertapa cabul itu lalu diterima sebagai tamu terhormat, dijamu oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li. Seperti dapat diduga lebih dulu, di antara Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li segera terjadi hubungan gelap yang amat mesra. The Kwat Lin tahu akan hal ini dan diam-diam merasa geli, akan tetapi karena dia pun tahu akan kesukaan Kiam-mo Cai-li yang sering mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya, dia pura-pura tidak tahu.
Persiapan lalu dibuat oleh kedua orang wanita itu untuk ikut Ouwyang Cin Cu mengunjungi An Lu Shan. Akan tetapi sebelum mereka berangkat, terjadilah peristiwa kedatangan Sin Liong dan Swat Hong yang dikabarkan oleh orang-orang kerdil kepada mereka.
Ketika mendengar dengan jelas dan tahu bahwa yang datang menyerbu adalah Kwa Sin Liong dan Han Swat Hong, muka The Kwat Lin menjadi pucat sekali. Dia tahu bahwa biarpun dia jarang bertemu tanding di daratan besar setelah dia lari dari Pulau Es, namun menghadapi kedua orang muda itu dia tidak boleh main-main, apalagi menghadapi Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian hebat sekali dapat dikatakan mewarisi seluruh kepandaian bekas suaminya, Han Ti Ong!
"Aihh...., mereka datang.....??" tak terasa lagi keluar seruan dari mulutnya.
Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu yang sedang duduk berhadapan di meja makan bersama The Kwat Lin, memandang dengan kaget dan juga heran. Baru sekarang Cai-li menyaksikan sahabatnya itu kelihatan takut!
"Siapakah mereka, Lin-moi?" Persahabatan antara The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li telah menjadi sedemikian eratnya sehingga mereka saling menyebut moi-moi dan cici.
"Mereka?" Kwat Lin menjawab dan mukanya masih pucat. "Mereka adalah penghuni Pulau Es. Kwa Sin Liong adalah murid utama dari Han Ti Ong, sedangkan Han Swat Hong adalah puterinya!"
"Ahhh...." Kiam-mo Cai-li dapat menduga bahwa tentu kedatangan mereka itu mempunyai niat yang tidak baik. "Habis, apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus siap menghadapi mereka. Mereka lihai sekali, terutama Sin Liong! Atur jebakan agar mereka terperosok. kalau sampai mereka berhasil menerobos ke sini, berbahaya sekali!" kata Kwat Lin, masih tetap takut.
"Wah, Ibu. Mengapa bingung? Bukankah di sini terdapat Bibi Cai-li, juga ada Ouwyang Totiang, dan Ibu sendiri di samping puluhan orang anak buah. Biarkan mereka datang dan kita hancurkan mereka!" Tiba-tiba Bu Ong berkata dengan gayanya yang jumawa. Mendengar ini, Ouwyang Cin Cu tertawa dan mengelus kepala pemuda tanggung itu.
"Engkau hebat sekali, Han-kongcu! masih kecil ini memiliki keberanian yang luar biasa. Benar puteramu, The-lihiap. Biarlah para orang kerdil menjebak mereka, kalau jebakan itu tidak berhasil, biarlah pinto yang menghadapi mereka. Li-hiap dan Cai-li boleh siap-siap saja menyambut mereka sebagai tawanan atau sebagai mayat."
Kiam-mo Cai-li segera mengatur sendiri orang-orang kerdil untuk memancing dan menjebak Sin Liong dan Swat Hong, sedangkan Ouwyang Cin Cu mengintai dan membayangi gerakan dua orang muda itu. The Kwat Lin juga sudah siap-siap kalau kedua orang pembantu itu gagal.
Demikianlah, setelah Sin Liong berhasil menyelamatkan Swat Hong dan sedang mengobatinya, muncul Ouwyang Cin Cu mengagumi ketelanjangan punggung Swat Hong yang berkulit putih mulus dan halus menggairahkan hatinya itu. Melihat betapa dengan pengerahan sinkang pemuda itu berhasil mengusir hawa beracun, dia menjadi kagum sekali kepada pemuda itu. Timbullah keinginan yang aneh dalam batin kakek yang penuh kecabulan itu. Berahinya yang tadi bergolak hanya dengan melihat punggung yang putih mulus dari Swat Hong itu kini berubah. Dia dapat melihat bahwa pemuda dan pemudi di dalam guha itu masih murni, maka timbullah keinginannya menyaksikan mereka itu bermain cinta!
Memang demikianlah, Kecabulan bukan hanya keinginan untuk berjinah sendiri dengan orang yang menimbulkan berahinya, melainkan juga dapat berbentuk keinginan untuk menyaksikan orang lain bermain cinta. Hal ini juga timbul karena kekagumannya menyaksikan pemuda itu sanggup mengusir hawa beracun dengan sinkang, tanda bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh. Jika dia berhalis menggunakan sihir dan guna-guna untuk membuat pemuda itu "jatuh" tentu dalam keadaan seperti yang dikehendakinya itu, akan mudah saja menawan dua orang muda yang agaknya ditakuti oleh The Kwat Lin itu.
Bagaikan bayangan setan saja, kakek itu menyelinap di balik batu dan tak lama kemudian tampak asap mengepul dari tiga batang hio (dupa) yang menyebarkan bau harum, sedangkan kakek itu sendiri sudah duduk bersila, kedua lengan diluruskan ke depan, ke arah muda-mudi itu dan sepasang matanya terbelalak memandang seperti sepasang mata setan!
Ilmu sihir yang dipergunakan oleh Ouwyang Cin Cu adalah ilmu hitam yang dikuasainya dengan latihan-latihan yang berat dan mengerikan. Di dalam ilmu ini terkandung kekuasaan mujijat yang hanya dikenal oleh mereka yang memuja setan iblis dan segala roh jahat yang mereka percaya ditambah dengan kekuatan dari tenaga sakti (sinkang) dan latihan yang tekun, dicampur dengan bermacam mantra yoga. Untuk melatih kekuatan matanya, bertahun-tahun Ouwyang Cin Cu bertapa menghadapi dupa membara sampai kekuatan pandang matanya dapat membuat api membara di ujung dupa itu membesar atau mengecil, mengepulkan asap atau tidak menurut kehendak pikiran yang disalurkan melalui pandangan matanya yang tajam itu. Kini, dibantu dengan bau asap dupa yang harum dan aneh, dia mulai menjatuhkan sihirnya, matanya memandang dengan pengaruh yang amat dahsyat, bibirnya berkemak-kemik membaca mantra.
Mula-mula Swat Hong yang terpengaruh hawa mujijat itu. Hal ini tidaklah mengherankan karena tentu saja Sin Liong memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan sumoinya, juga memang sebelumnya Swat Hong sudah tersiksa oleh perasaannya sendiri, perasaan mesra yang aneh yang sejak tadi menyelinap dan mengaduk hatinya ketika merasa betapa telapak tangan suhengnya menyentuh punggungnya. Karena memang sudah timbul perasaan wajar dari seorang gadis yang normal dan sehat, terdorong oleh rasa cintanya kepada suhengnya itu, maka tidaklah mengherankan ketika diserang oleh kekuatan sihir, Swat Hong mudah sekali terkena.
Dia mengeluh dan merintih lirih, tubuhnya gemetar semua, mukanya berubah merah seperti dibakar, napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal dan dia tidak peduli lagi bajunya yang tadi ditahan dengan tangan di bagian depan dadanya, merosot dan terbuka. Setelah gelisah bergerak ke kanan kiri, kemudian dia menoleh, memandang kepada suhengnya yang masih duduk bersila dengan muka menunduk dan mata terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping Hoo
General FictionBu Kek Siansu adalah sebuah karakter khayalan hasil karya Kho Ping Hoo, dan merupakan serial bersambung terpanjang terbaik di samping seri Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam). Ia dikisahkan pada masa kecilnya disebut Anak Ajaib (Sin Tong) karena dal...