BUKU 9. KISAH SEPASANG RAJAWALI VII

3.1K 44 0
                                    

Kepala rampok itu tiba-tiba menge­luarkan seruan aneh, lalu kedua tangan­nya menegang kemudian saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua ta­ngan menggaruk mukanya, lehernya, dan tak lama kemudian dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangan menggaruki mukanya, men­cakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta. Melihat demonstrasi tenaga sin-kang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.

Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena ra­cun, maka dengan marah mereka ber­teriak-teriak dan menyerbu dengan pe­dang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan ketenang­an seperti patung-patung hidup, membiar­kan para perampok itu menyerbu. Kemudian, mereka itu melontarkan berma­cam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan. Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelo­jotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh me­reka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk.

Melihat pembunuhan yang amat me­ngerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia meloncat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui me­rangkul lehernya dan mencegahnya. Ke­tika dia hendak membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu. Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik dekat telinganya, "Mereka begitu lihai, sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?"

Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang amat lihai, apalagi orang yang ber­ada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu saja amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya meng­apa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa tu­run tangan sama sekali. Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya!

Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang ter­kena bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tum­buh-tumbuhan di dekat tempat itu men­jadi layu dan daun-daunnya menjadi ku­ning dan rontok.

"Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tak jauh lagi!" Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai tadi berada di be­lakang.

"Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!" Hong Kui berbisik, kemudian membalik­kan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api merah dari sinar matahari senja.

Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah me­reka bahwa mereka ini adalah kelompok anggauta perkumpulan Lembah Bunga Hitam! Kiranya belasan orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan melakukan perjalanan ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali. Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hi­tam dengan para jagoannya! Dari perca­kapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu ber­pindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang amat lihai.

"Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi," kata yang seorang.

Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui ber­bisik, "Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah suhengku."

"Hek-tiauw Lo-mo?"

"Benar, mereka bermusuhan karena memperebutkan kitab curian. Justeru ka­rena mempelajari ilmu dari kitab curian­nya itulah tubuhku keracunan."

Kian Bu mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam ber­musuhan dengan Ketua Pulau Neraka, ka­rena memperebutkan kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari per­tandingan dengan dua orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, ka­kek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai. Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan penge­jaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan te­tapi karena maklum akan kelihaian me­reka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya men­jadi korban dan di samping itu dia se­dang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab curian itu. Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke te­laga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi meng­hadapi lawan yang bagaimana tangguhpun juga.

Malam itu terang bulan dan suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri kereta. Kian Bu makin ter­pesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka pakai­an itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu.

Karena maklum bahwa mereka ber­dekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apalagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa ha­rus mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menahan diri sehingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam per­mainan cinta. Dia hanya merintih lirih.

Kian Bu sudah tertidur pulas kecapai­an, tidur dengan senyum kepuasan di bi­birnya, berbantalkan lengan sendiri, se­dangkan Hong Kui yang rambut dan pa­kaiannya masih mawut itu terlentang memandang langit yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu di­hentikan.

Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan meman­dang ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang besar dan jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.

"Eh, kenapa berhenti?" Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.

"Ssssh...." Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.

"Wah.... dia....?" bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka!

Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan mereka me­nelungkup di atas kereta.

"Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang kaucuri!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan meng­getarkan hutan itu.

Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa berge­lak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Ka­kek tinggi kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.

"Ha-ha-ha, engkau maling rendah be­rani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!" Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon berserabutan ke­luarlah orang-orang Pulau Neraka yang tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan orang-orang pilihan yang mengawal ketua mereka. Semenjak Hek-tiauw Lo-mo ga­gal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana ber­kumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menan­ti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan me­lakukan penyelidikan dan pengejaran.

Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu mujijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebut setengah bagian kitab yang mereka bu­tuhkan, dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengar mengejar kedudukan membantu pembe­rontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka.

Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo melorncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang de­ngan dahsyatnya. Adapun anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka. Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama itu kini berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu. Ka­rena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh me­reka terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan senjata-senjata bera­cun mereka. Dalam pertempuran-pertem­puran yang lalu mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga kalau mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan mengguna­kan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar mereka.

Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit. "Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu...."

Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata, "Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, ka­lau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya."

"Eihhh....?"

"Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci."

Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum dan merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah ke­reta kedua golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!

"Eh, lihat ada orang....!" Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri. Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sesosok ba­yangan manusia dengan gerakan cepat dan ringan berloncatan lalu berindap-indap menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayang­an yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.

"Dia mencuri kitab!" bisik Hong Kui dan tangam kiri wanita ini bergerak, se­buah benda bulat melayang ke arah ke­reta di belakang itu.

"Darrrr....!" Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat me­loncat ke samping menghindar.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding ramai itu, cepat menengok dan melihat kakek itu, mereka terkejut sekali.

"Dia mencuri kitab itu....!" teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.

"Wah, jadi ramai sekarang...." kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.

"Hayo kita nonton keramaian!" Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambut­nya, membereskan pakaiannya dan ber­sama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Me­reka lalu berlari cepat mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara.

Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai itu dapat menyusulnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke manapun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang.

Kakek tua yang rambut dan jenggot­nya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menye­linap memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan lang­sung dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan ber­kelebat dan bayangan itu lenyap sehingga dia bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pun­daknya dan menggeleng kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.

Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya, pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh ge­metar dia lalu berlutut dan bersembunyi di balik meja!

Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali. Dua orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Se­tan! Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut se­kali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal takut, apalagi ada Topeng Setan di situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung itu.

Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah di­satukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng.

Maka melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan membentak, "Bocah hina mundurlah!"

Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan "bocah hina" tadi, maka melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahu­luinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut!

Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sin-kang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!

"Aihhh....!" Dia berseru dan tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerah­kan tenaganya karena baru sekarang dia teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena merasa benci dan mendendam kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya kini menggunakan pukulan beracun yang me­matikan untuk membalas dendam.

"Dessss....!" Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng ter­lempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.

"Hah! Kiranya engkau belum mam­pus?"

Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sam­pai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara memerintah, "Paman, bunuh orang ini!"

Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati perin­tah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai menca­pai jarak dua meter itu dan jari tangan­nya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo!

Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar dan dengan me­ngerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.

"Cuuss....! Dessss!"

Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali. Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo ter­huyung-huyung mundur sampai lima lang­kah keluar dari pintu warung!

Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hu­bungannya dengan Si Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua ber­topeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan mautnya.

Topeng Setan mengeluarkan suara se­perti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat. Hebat sekali sepak-terjang Topeng Se­tan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi Topeng Setan dapat meng­hadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biarpun dia mampu menandingi dua orang datuk itu, akan tetapi dia pun tidak dapat mendesak mereka, apalagi mengalahkan. Kalau per­tandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali.

Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir daripada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung dengan sembunyi. Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding melawan kakek pencuri kitab melainkan bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir dia membu­ka mulut memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng adalah ke­turunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan kakek tiri dari Suma Kian Lee. Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk ber­temu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan petualangannya dalam permainan cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, dia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sam­pai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.

"Aku.... aku mau.... pergi kencing du­lu...." katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi.

Sementara itu, ketika melihat betapa suhengnya dan Ketua Lembah Bunga Hi­tam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan se­kali Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan lang­sung dia terjun ke pertempuran sambil mencabut pedangnya.

Topeng Setan terkejut sekali dan cepat mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan men­jadi makin repot.

"Perempuan hina dan pengecut!" Ceng ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerak­kan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkejut dan tidak be­rani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat sehingga hampir saja pun­dak Ceng Ceng terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke bela­kang.

"Ceng Ceng mundurlah....!" Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar.

Pada saat itu, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi makin ramai. Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tu­buhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, kini meloncat mundur dan menonton dengan penuh ke­khawatiran karena biarpun dibantu oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apalagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun.

Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suhengnya mendesak Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah To­peng Setan, maka sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apalagi yang mencuri kitab adalah kakek rambut putih itu. Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu menge­lak dan lambungnya tertusuk pedang!

Melihat ini Topeng Setan mengeluar­kan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja, terus dia terjun dan menye­rang kalang-kabut untuk membantu To­peng Setan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka agaknya mema­suki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi masuk. "Heh-heh-heh, Siluman Ku­cing, kiranya engkau di sini!"

Melihat munculnya nenek yang dike­nalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan keka­sihnya yang sejak tadi belum juga mun­cul.

"Kian Buuuu....!" Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertem­puran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.

"Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh....!"

Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Adapun nenek itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil ter­kekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah melarikan diri.

Dua orang datuk lihai itu hanya bi­ngung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab mereka.

Topeng Setan yang melihat kesempat­an baik ini, cepat memanggul tubuh ka­kek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin meninggalkan tem­pat yang berbahaya itu.

***

Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa "terbang" oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Pu­teri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.

Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Mi­lana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Men­teri Su sendiri untuk menangkapnya.

Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, lalu menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pem­baringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.

"Bibi Puteri Milana....!" tegurnya gi­rang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan ba­sah air mata.

"Bibi.... apa yang terjadi....?" tegur­nya sambil memegang kedua dengan pu­teri perkasa itu.

"Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga."

Tentu saja Syanti Dewi menjadi gi­rang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, namun pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini. Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diteri­manya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini.

Puteri Syanti Dewi memejamkan ma­tanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian ber­larian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memi­liki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini!

Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana me­lompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya. "Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi."

"Eh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?"

"Hemm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kaudengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku." Dengan singkat Milana lalu menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, me­lakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biarpun suaminya telah berhasil membunuh pange­ran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.

"Nah, karena itu aku harus pula per­gi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa." Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.

"Ahhh.... Bibi....!" Syanti Dewi meme­luk Milana sambil menangis. Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak meng­ucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu.

Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya, "Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya?"

Milana menarik napas panjang. "Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus membawamu, yang jelas kita harus ke­luar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebe­lum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya."

Syanti Dewi dapat memaklumi pera­saan hati puteri perkasa itu, apalagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah su­nyi. Akan tetapi ternyata istana itu dija­ga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia mendengar suara para pendeta mem­baca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang berada di dalam istana­nya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah meme­nuhi permintaannya yang ditulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.

"Mari kita pergi," katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga meman­dang ke arah istana itu dengan hati ter­haru. Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa malapetaka yang demi­kian hebatnya. Kesengsaraan yang dideri­tanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau di­bandingkan dengan malapetaka yang di­alami oleh Puteri Milana.

Milana yang berpemandangaq tajam sekali, biarpun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya ba­yangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa ta­kut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi brang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang utara.

Para pembesar militer di istana se­mua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu di­rahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar luas. Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang menge­nal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan gi­rang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu.

Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya ber­jaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso.

Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh, "Adik Milana, tunggu dulu....!"

Milana terkejut dan merasa heran se­kali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi memba­yanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya.

Kini wanita itu telah tiba di depan­nya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguhpun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat mendu­ga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun meman­dang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.

"Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu me­ngapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri." Wanita itu berkata.

"Maaf," Milana menjawab dengan hati-hati. "Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?"

"Ah, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok se­orang musuh besar kita?"

"Lu Kim Bwee....? Aihh, engkau Ang Siok Bi....!" Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, betasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) me­ngeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Akan te­tapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya, "Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam?"

"Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja."

"Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?"

"Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan per­samaan nasib kita belasan tahun yang lalu.... aku mendengar bahwa engkau te­lah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...."

"Hemm, apamukah pemuda itu?"

"Dia itu puteraku. Ah, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat.... bahwa dia telah membantu pemberontak.... akan tetapi demi perkenalan kita.... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan." Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan kesela­matan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis!

Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun. "Ja­ngan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu."

Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedang­kan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa ada­nya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyela­matkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkan­nya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita can­tik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agak­nya sudah sejak dahulu saling mengenal itu.

"Jadi Ang Tek Hoat itu adalah pu­teramu, Enci Siok Bi? Bolehkah aku ber­tanya kepadamu, siapakah ayahnya?" Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh se­lidik sehingga Ang Siok Bi merasa terke­jut sekali, merasa seolah-olah mengha­dapi serangan tusukan pedang yang lang­sung mengarah ulu hatinya.

"Adik Milana! Mengapa engkau mena­nyakan hal itu? Apa hubungannya de­nganmu?"

"Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apa­bila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya."

"Betapa aneh pertanyaanmu ini! Me­ngapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jaha­nam Gak Bun Beng itu?"

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini, wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian. Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

"Sudah kuduga demikian.... dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan?"

"Adik Milana, bagaimana engkau ma­sih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...."

"Enci Siok Bi!" Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang. "Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kaupesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kauceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?"

Siok Bi memandang dengan mata ter­belalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biarpun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya, "Aku.... aku mengatakan kepadanya bahwa ayah­nya adalah.... Ang Thian Pa...."

"Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?"

Siok Bi mengangguk. "Dan aku kata­kan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?"

Milana menggeleng kepada dan menarik napas panjang. "Pantas kalau begitu.... aihh, sungguh kasihan sekali Gak-su­heng....! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?"

"Tentu saja! Habis mengapa?"

"Engkau telah keliru, Enci! Kita se­mua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan se­kali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikitpun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...."

"Ahhh....!" Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biarpun dia tidak pernah mau me­nyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biarpun puteranya itu tampan akan tetapi sedikitpun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng! "Apa.... apa maksudmu....?"

"Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan per­buatan-perbuatan jahat dengan meng­gunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kauingat baik-baik ke­tika peristiwa terkutuk itu terjadi, apa­kah engkau melihat wajahnya?"

Siok Bi menjadi pucat sekali, menge­nangkan peristiwa itu, ketika pada ma­lam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang me­ngaku sebagai sahabat Gak Bun Beng.... ah, hampir dia menjerit. Kini dia ter­ingat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!

"Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat."

Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siong Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap, "Bagaimana.... bagaimana aku dapat percaya ceritanya ini....? Setelah belasan tahun aku percaya demikian.... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?"

"Engkau harus percaya kepadaku, Enci Siok Bi. Harus, kataku! Aku sendiri pun menjadi korban tipuan orang itu, sung­guhpun tidak sampai tertimpa malapetaka seperti engkau dan Enci Kim Bwee, akan tetapi aku pun dahulu percaya bahwa Gak-suheng adalah seorang yang amat jahat dan melakukan perbuatan terkutuk. Oleh karena itulah maka aku dahulu suka bekerja sama dengan engkau dan Enci Kim Bwee untuk mengeroyok Gak-suheng sampai dia terjungkal ke dalam jurang dan engkau mengira bahwa dia telah mati. Sayang bahwa sejak itu aku tidak dapat bertemu lagi dengan engkau atau Enci Kim Bwee sehingga mengakibatkan hal yang berlarut-larut sampai sekarang. Akan tetapi ketahuilah, orang yang melakukan perbuatan keji itu masih.... ang­gauta keluargaku sendiri dan.... dan dia telah mengakui segalanya di depanku dan di depan ayah ibuku sendiri. Dia adalah Wan Keng In, putera dari ibu tiriku di Pulau Es...."

"Ya Tuhan....!" Siok Bi mengeluh pan­jang. "Dan di mana keparat itu...."

"Dia sudah tewas, Enci. Dia sudah tewas menebus dosa-dosanya. Puteramu itu she Wan, tidak salah lagi. Wajahnya persis wajah ayah kandungnya itu...."

"Dan kita dahulu telah membunuh Gak Bun Beng....!"

"Tidak, Enci Siok Bi. Dan inilah ce­lakanya. Puteramu masih belum tahu dan kini dia hanya tahu bahwa Gak Bun Beng masih hidup maka dia bertekad untuk mencarinya dan membunuhnya sebagai musuh besar. Dahulu, ketika kita mengira Gak-suheng yang tergelincir ke dalam jurang itu mati, sebetulnya dia masih hidup dan sekarang, puteramu itu tentu akan terus memusuhinya." Milana berhenti sebentar. "Sungguh kasihan Gak-suheng.... dahulu Wan Keng In yang mem­burukkan namanya, sekarang.... puteranya juga melakukan perbuatan-perbuatan ja­hat dengan menggunakan namanya."

"Ahhhh....! Apakah anakku telah men­jadi manusia sejahat itu? Anakku telah menjadi seorang manusia yang menyele­weng dan jahat, Adik Milana?" Siok Bi bertanya dengan suaranya mengandung rintihan batin tertekan.

"Tidak! Tek Hoat sama sekali bukan­lah manusia jahat!" Tiba-tiba Syanti De­wi berkata dengan suara tegas. "Kalau dia sampai melakukan suatu penyele­wengan sebelumnya, hal itu tentu adalah pengaruh dari keadaannya dan bekal yang dia bawa dari cerita ibunya. Dia bukan seorang manusia jahat dan patut dika­sihani."

Siok Bi menoleh dan memandang dara yang cantik jelita itu dengan heran. "Siapakah dia ini, Adik Milana?"

"Dia adalah Puteri Bhutan, bernama Syanti Dewi. Dia telah diselamatkan oleh puteramu itu dan agaknya apa yang dikatakannya itu mendekati kebenaran. Puteramu itu telah melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan mempergunakan nama Gak-suheng yang disangkanya sudah mati dan disangka musuh besar pembunuh ayahnya maka hendak dicemarkan nama musuh besar yang tidak dapat dibalasnya lagi karena disangkanya sudah mati itu. Dia lalu tersesat membantu pemberon­takan. Tentu saja dosanya amat besar sekali dan dia selayaknya di jatuhi hukum­an berat. Akan tetapi pada akhir pembe­rontakan, dia telah membuat jasa besar, membunuh pangeran pemberontak Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya, mengorbankan diri sendiri sampai terluka demi menyelamatkan Puteri Bhutan ini. Karena jasanya itulah maka dia telah kubebaskan, dan celakanya, setelah dia mendengar bahwa Gak-suheng masih hi­dup, dia bertekad untuk mencarinya dan membalas dendamnya."

"Ahhhh....!" Siok Bi berseru kaget. "Hal itu harus dicegah! Di mana dia sekarang, Adik Milana? Dia harus di­cegah memusuhi Gak-taihiap.... selain beliau bukan musuh kami.... juga mana mungkin anakku mampu menandinginya?"

"Agaknya engkau tidak tahu. Putera­mu itu telah menjadi orang yang memi­liki kepandaian tinggi sekali, Enci Siok Bi. Dia telah dibebaskan dan aku tidak tahu ke mana dia pergi. Memang hanya engkaulah yang dapat mencegahnya dan menceritakan keadaan sebenarnya dari riwayat kalian ibu dan anak. Mungkin dia masih berada di kota raja."

"Kalau begitu aku akan mencarinya sekarang juga!" Siok Bi berteriak, lalu lari meninggalkan dua orang puteri itu menuju ke kota raja.

Milana menarik napas panjang dan Syanti Dewi berkata halus, "Agaknya be­lasan tahun yang lalu telah terjadi hal-hal yang amat hebat menimpa dirimu dan diri Paman Gak, Bibi."

Milana menarik napas panjang. "Kami semua telah melakukan dosa besar sekali terhadap Gak-suheng, dan dia semenjak dahulu sampai saat ini pun merupakan seorang manusia yang amat mulia, gagah perkasa dan hebat...." Puteri ini menengadah, termenung karena teringat akan sikap Gak Bun Beng yang meninggalkan­nya, kemudian dia teringat pula akan surat peninggalan suaminya. Jari tangan­nya meraba surat suaminya yang dituju­kan kepada Bun Beng dan diam-diam dia meragu apakah dia akan dapat berjumpa lagi dengan satu-satunya pria yang di­kasihinya itu.

"Sekarang kita hendak pergi ke mana, Bibi?" Syanti Dewi yang maklum akan kedukaan yang menyelimuti wajah puteri itu, memecahkan kesunyian dan menarik kembali Milana dari lamunannya.

"Ke mana....? Ahh, aku sendiri men­jadi bingung memikirkan keadaanmu, Syanti. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Bhutan. Akan tetapi semua orang telah pergi.... aku pun sekarang seorang diri. Sebetulnya aku ingin kembali ke Pulau Es, ke tempat tinggal ayah bunda­ku, akan tetapi engkau...."

"Bibi Milana, kalau begitu biarlah aku melakukan perjalanan sendiri ke barat. Aku pun bukan seorang yang lemah dan aku berani untuk pulang seorang diri ke Bhutan. Aku tidak mau membikin repot padamu, Bibi...."

"Hemm, jangan berkata demikian, Syanti Dewi. Aku yang telah melarikan engkau dari istana, dan akulah yang ber­tanggung jawab atas keselamatanmu. Tidak, aku harus mencari jalan sebaiknya agar engkau dapat diantar ke Bhutan dengan selamat."

Selagi Syanti Dewi hendak memban­tah, tiba-tiba dari arah kota raja tampak serombongan pasukan berkuda menda­tangi. Milana memandang dengan alis berkerut. "Apakah mereka hendak meng­gunakan kekerasan?" Dia mengomel dan mengepal tinjunya, sedangkan Syanti Dewi memandang dengan khawatir. Dia mengkhawatirkan diri Milana karena tahu bahwa puteri itu mengalami hal yang amat hebat dan bisa dianggap sebagai pemberontak atau orang buruan istana.

Akan tetapi ketika pasukan yang ter­diri dari dua losin perajurit itu tiba dekat, mereka melihat bahwa pasukan itu me­ngawal seorang jenderal yang tinggi be­sar dan gagah, yang bukan lain adalah Jenderal Kao Liang.

"Gi-hu....!" Syanti Dewi berseru girang memanggil ayah angkatnya itu dan jen­deral itu melompat turun dan cepat me­megang kedua pundak Syanti Dewi de­ngan sinar mata berseri.

"Syukurlah.... aku sudah menduga bah­wa engkau tentu telah diselamatkan!"

Sementara itu Milana melangkah de­kat dan berkata dengan suara dingin, "Jenderal Kao, apakah engkau mengejar untuk menangkap aku?"

Jenderal itu menarik napas panjang dan memberi hormat kepada Puteri Mi­lana. Suaranya terdengar penuh penye­salan. "Sampai mati pun tidak ada yang dapat memaksa saya untuk menangkap Paduka. Saya telah mendengar akan se­mua peristiwa di kota raja dan saya ikut menyatakan berdukacita atas malapetaka yang menimpa keluarga dan diri Paduka. Ketika saya mendengar dari para penjaga bahwa Paduka bersama seorang dara cantik keluar dari gerbang malam tadi, saya sudah menduga bahwa tentu Syanti Dewi Paduka selamatkan. Sekarang saya menyusul untuk menawarkan bantuan, barangkali ada sesuatu yang saya dapat lakukan untuk membantu Paduka."

"Jenderal Kao, aku adalah seorang yang hidup sebatang kara di kota raja, dan aku tidak membutuhkan bantuan ­apa-apa. Hanya kebetulan sekali engkau datang karena aku bingung memikirkan Syanti Dewi. Dia harus diantar kembali ke Bhutan."

"Jangan khawatir, biar para penga­walku ini yang mengantarnya sampai ke Bhutan dengan selamat." Jenderal itu lalu menghadapi Syanti Dewi. "Dewi, apakah engkau ingin kembali ke Bhutan?"

Puteri itu mengangguk. "Kehadiranku di sini hanya menimbulkan keributan saja, Gi-hu. Sebaiknya kalau aku pulang saja ke Bhutan dan sebetulnya aku sudah memberi tahu kepada Bibi Milana bahwa aku berani pulang sendirian, tidak perlu dikawal...."

"Ah, mana mungkin? Jangan kau kha­watir, biarpun aku terikat oleh tugasku dan tidak dapat mengantar sendiri, dua losin pengawalku ini akan mengawalmu sampai ke Bhutan. Kalau saja tidak ada peristiwa engkau hendak dinikahkan dan engkau melarikan diri dari istana, tentu bisa menanti sampai aku sempat mengantarmu sendiri. Akan tetapi sekarang ti­dak mungkin lagi, engkau akan dianggap sebagai seorang pelarian. Nah, biar pa­sukanku mengawalmu. Sebelum ada pe­ngejaran dari kota raja, sebaiknya engkau berangkat sekarang, anakku. Kaupakai­lah kudaku ini."

Syanti Dewi merasa terharu dan dia memeluk ayah angkatnya, menghaturkan terima kasih dan selamat tinggal. Ke­mudian dia pun memeluk puteri Milana dan berbisik di dekat telinganya, "Bibi.... jangan biarkan Paman Gak merana...." Dan sambil terisak dia lalu melompat ke atas kudanya lalu membalapkan kuda itu, diiringkan oleh dua losin pengawal yang sudah menerima pesan dari Jenderal Kao diiringkan oleh pandang mata Milana yang berlinang air mata dan pandang mata Jenderal Kao yang merasa kehi­langan.

Dua orang gagah ini pun lalu saling berpisah, Milana melanjutkan perjalanan ke utara sedangkan Jenderal Kao Liang kembali ke kota raja.

***

Dengan kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan akhirnya, setelah men­daki sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di daerah yang sunyi sekali.

Ketika dia menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan kakek itu yang amat pa­yah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian penting di dalam tubuhnya dan pedang itu mengandung ra­cun pula.

"Ahh, bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?" Tiba-tiba Ceng Ceng ber­seru ketika dia mengenal muka kakek itu, "Benar, dia adalah Louw Ki Sun.... aku pernah bertemu dengan dia....!" Ceng Ceng berseru lagi.

Akan tetapi Topeng Setan yang me­meriksa luka itu segera berkata, "Ceng Ceng, harap engkau suka membantu. Carikanlah air yang jernih.... dia memer­lukannya...." Suara Topeng Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah baginya mencari air di tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil itu.

Akan tetapi ketika dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi me­rebahkan tubuh kakek tua di atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. Sela­ma dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang yang jantan, ber­kepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi oleh perasaan. Akan tetapi mengapa sekarang menangis.

"Paman, kau.... kau.... menangis?"

Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut putih yang rebah telentang di atas lantai. Ceng Ceng me­mandang dan tahulah dia bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.

"Ah, dia telah mati?" tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu.

Topeng Setan mengangguk. "Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia mati karena mem­bantuku, Ceng Ceng."

Diam-diam hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah perkasa dan lihai, juga ter­nyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka. Maka dia pun tidak banyak bicara lagi dan ikut ber­sembahyang memberi hormat ketika je­nazah itu dikubur di depan kuil tua dan Topeng Setan melakukan upacara sem­bahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat alat-alatnya. Mereka ha­nya berlutut di depan gundukan tanah, tepekur dan mengheningkan cipta.

Kemudian Topeng Setan mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan menu­ju ke Telaga Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah berada di tela­ga itu untuk mencoba peruntungan me­reka, yaitu berusaha menangkap anak naga yang akan dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.

Makin dekat dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apalagi setelah dia mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang melakukan perjalanan menuju ke arah yang sama. Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luat biasa, melakukan perja­lanan tanpa bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!

"Mereka adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke tela­ga itu," Topeng Setan berkata lirih ke­tika melihat keheranan Ceng Ceng. "Se­baiknya kita jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan de­ngan mereka sebelum kita tiba di tempat tujuan."

Ceng Ceng mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan da­pat berhasil memperoleh anak naga atau anak ular itu? Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki binatang keramat itu. Dia sekarang menduga bah­wa orang-orang lihai, datuk-datuk kaum sesat yang dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lem­bah Bunga Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini!

Akhirnya, beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas. Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia meli­hat banyak sekali orang-orang di pinggir telaga, bahkan ada pula yang sudah ber­perahu hilir mudik di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking dalamnya itu. Telaga itu luas sekali se­hingga pantai di seberangnya tidak nam­pak. Karena luasnya telaga maka biarpun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada belasan buah perahu di tengah­nya, akan tetapi tempat itu masih keli­hatan sepi. Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama, sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apalagi terang bulan di musim semi ini yang di­kaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya naga siluman! Akan tetapi sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak "pesiar" di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu demikian royal se­hingga berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga!

Akan tetapi, agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari keributan atau per­musuhan karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu memisah­kan diri, mencari tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri.

Ceng Ceng dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti akan terjadi pe­rebutan yang hebat dan dia makin me­ragu apakah Topeng Setan akan berhasil memperoleh anak ular atau naga itu.

"Begitu banyak orang...." Ceng Ceng berbisik.

Topeng Setan memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah perahu kecil dari seorang nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang dengan jantung tegang berdebar.

"Mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah, agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di guha dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga itu."

"Ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki kelihaian yang amat hebat. Apa kaukira ada yang lebih lihai dari mereka, Paman?"

"Hemmm, kau sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada me­reka berdua itu yang lihai. Aihhh, banyak sekali orang berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang paling pandai."

"Aku mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es," kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar sakti itu.

Topeng Setan menarik napas panjang. "Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia tergolong tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai yang menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana tingginya...."

"Lebih tinggi dari kepandaian Pende­kar Super Sakti?" tanya Ceng Ceng tidak percaya.

"Mungkin sekali, bahkan mungkin be­berapa kali lipat! Mereka yang tidak mau lagi mempergunakan ilmunya untuk mela­kukan sesuatu di dunia ramai, tidak bisa dibandingkan dengan kita, dengan mereka yang kini datang ke sini mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga." Topeng Setan menghela napas panjang. "Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai itu seperti dewa.... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...."

"Apakah kau mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan malape­taka bagi kehidupan manusia, Paman?"

"Kenyataannya demikianlah.... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa ke­pandaian bukanlah untuk mengumbar nafsu.... ah, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng Ceng." Topeng Setan lalu menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke kanan. Benar saja, ada seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah mereka, agaknya pemu­da itu sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.

"Eh.... kau ini....? Moi-moi.... Nona Ceng....?" Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya di­kembangkan dan wajahnya berseri.

Ceng Ceng memandang penuh perha­tian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang bersikap amat manis kepadanya, yang tanpa ba­nyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah.... menciumnya tanpa dia dapat mencegah­nya, pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya dia tidak sudah hancur hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi musuhnya.

"Ohhh.... Pangeran.... Yung Hwa...." Dia tergagap.

"Aih, Nona.... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kira­nya aku dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh dengan kegelisahan setelah aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan pemberontak, dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ah, mukamu masih pucat.... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang semua tabib terpan­dai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau terluka pukulan beracun...."

Ceng Ceng sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepaqa Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut me­lihat wajah yang buruk itu dan dia ber­tanya, "Dia ini.... eh, siapakah dia, Nona Ceng?"

Sebelum Ceng Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata, "Kiranya Paduka seorang pangeran. Saya adalah To­peng Setan, pembantu Nona Ceng ini."

"Topeng Setan....? Nama yang aneh....!" Pangeran Yung Hwa kelihatan serem.

"Dia yang mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini, bagaimana Pangeran btsa tahu bahwa aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai di tempat ini?" Ceng Ceng bertanya.

Pangeran Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu melupakan Topeng Se­tan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu bercerita.

"Aku bertemu dengan Perdana Men­teri Su, beliau yang menceritakan semua­nya kepadaku. Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau.... ah, ka­sihan Kakak Milana...."

"Kenapa, Pangeran?" Ceng Ceng ber­tanya heran.

"Ah, kau belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ah, banyak terjadi hal yang hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk, mem­bunuh para pengawal yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana."

Ceng Ceng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang pemberontakan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang dikaguminya itu. Juga dia kaget mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan dari istana oleh Puteri Milana.

"Lalu ke mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?" tanyanya.

"Entahlah. Siapa bisa mengikuti ba­yangan Enci Milana? Dia sudah terbang.... dan aku berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!" Wajah yang tampan itu berseri.

"Mengapa, Pangeran?"

"Ah, engkau tidak tahu? Ceng-moi...., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan betapa gelisah hatiku.... engkau tahu bahwa setelah bertemu dengan engkau.... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita lain.... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil ke­putusan untuk minggat lagi...."

"Ah, jangan berkata begitu, Pange­ran!" Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan muka merah kepada To­peng Setan yang hanya mendengarkan tanpa memandang.

"Akan tetapi untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilari­kan oleh Enci Milana. Memang Enci Mi­lana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan berbudi. Dia tahu bah­wa Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar, kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang dirimu, bahwa me­nurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi, aku segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini sambil pesiar, dan benar saja aku bertemu denganmu, Ceng-moi....!" Pangeran itu kelihatan girang bukan main.

Ceng Ceng menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng Setan karena pemuda bang­sawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan perasaannya di depan saha­batnya itu. "Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu bahwa tidak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku itu. Kenapa engkau membuang-buang waktu mencari­ku, Pangeran? Tempatmu di istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...."

"Hushhh, jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari tabib yang pandai di kota raja...."

"Paman Topeng Setan ini adalah ta­bibku, Pangeran."

"Ouhhh....! Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?" Yung Hwa ber­tanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. "Kalau benar, apa pun yang Paman minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja! Ataukah harta benda? Akan kuse­rahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat menyembuhkan Nona Ceng...."

Topeng Setan menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng Setan segera berkata, "Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku! Dia telah berkali-kali menolongku dan kini pun dia berusaha mencarikan obat untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa."

"Ah, kalau begitu Paman adalah se­orang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!" Dan Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Topeng Setan! Memang pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia paling ban­del dan suka memberontak terhadap per­aturan dan tradisi istana, dan dia tidak angkuh seperti layaknya seorang pange­ran, dan pandai dia bergaul dengan rak­yat biasa.

Topeng Setan cepat-cepat mengangkat bangun pangeran itu. "Ah, harap Paduka jangan merendahkan diri seperti itu, Pangeran." Suara Topeng Setan mengan­dung keharuan. "Saya berjanji akan ber­usaha sekuat saya untuk menyembuhkan Nona Ceng."

"Terima kasih.... terima kasih....! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng, obat apakah yang hendak dicari di telaga ini?"

"Obat yang juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran."

"Aihhh....?" Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik. "Berebutan? Apa yang di­perebutkan?"

"Anak naga yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!" kata Ceng Ceng dengan suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin me­nakut-nakuti pangeran ini. Sikap pangeran yang gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang lincah gembira sebelum malapetaka kehidupan menimpa dirinya.

Akan tetapi Pangeran Yung Hwa ti­dak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak. "Lucu....! Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kaulihat betapa indahnya permukaan telaga yang biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ akan muncul anak naga? Ha-ha, pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh dibumbui dongeng menyeram­kan, benar-benar membuat orang menjadi gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!"

Ceng Ceng juga tersenyum. Kegem­biraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak merasa gembira berde­katan dengan pemuda yang menarik hati ini. "Kalau begitu, mengapa Pangeran tidak menulis sajak?"

"Alat tulisku berada di kereta yang menanti di sana...." pangeran itu menu­ding ke kanan. "Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan sendiri.... akan tetapi bertemu denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa ditulis pun rasa­nya sanggup aku menciptakan sajak un­tukmu. Kaudengar...."

Pangeran itu berdiri menghadapi tela­ga yang pada saat itu memang amat indah pemandangannya. Kemudian ter­dengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya ta­jam menatap ke depan seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata bia­sa. Mata seniman yang dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian besar manu­sia.

"Merah nyala matahari

membakar langit senjakala

di atas Telaga Sungari!

Air terbakar merah seperti neraka

sebagai isyarat

munculnya sang naga

dari dongeng rakyat jelata.

Matahari senja, langit menyala,

Telaga Sungari, kisah naga,

tidak seindah saat ini

berjumpa kekasih di tepi sungai!"

Ceng Ceng mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimanapun juga, pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!

"Bagaimana, Ceng-moi? Baikkah sa­jakku tadi?"

"Sajak yang indah sekali!" Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.

"Sajakmu memang bagus, Pangeran," kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia tidak tahu harus ber­kata apa di depan pangeran yang sifat­nya terbuka dan yang menyatakan pera­saan hatinya secara langsung dan terang-terangan.

"Tunggu sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian ini dan hem.... aku mak­lum bahwa keindahan itu tidak akan ada artinya lagi kalau engkau tidak berada di sini. Kautunggu sebentar, aku takkan lama...." Pangeran itu lalu bergegas per­gi hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya ke tempat itu.

Sementara itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.

"Paman, mari kita pergi...." Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.

"Eh....?" Topeng Setan berkata bi­ngung.

"Mari kita dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tidak akan berhasil menda­patkan anak naga itu.... dia.... dia.... tentu akan menjadi pengganggu kalau sudah kembali ke sini."

Topeng Setan hanya mengangguk, tidak membantah lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan tepi yang sudah tidak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng Ceng memba­yangkan betapa pangeran itu akan men­cari-cari dan akan kebingungan dan ke­cewa.

"Pangeran Yung Hwa itu baik sekali...." Terdengar Topeng Setan berkata.

"Dia seperti orang gila saja...." Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya sendiri.

"Memang begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...."

"Sudahlah, Paman. Aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana."

Bulan mulai muncul di ufuk timur dan perahu-perahu makin bertambah banyak. Agaknya semua orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah ber­siap-siap dan sudah berada di perahu masing-masing. Dan ketika prerahu kecil Ceng Ceng dan Topeng Setan berada di tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampak­lah perahu-perahu berseliweran dan agak­nya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan bersiap-siap untuk berebut­an dan kalau perlu mempergunakan kepandaian mereka untuk saling mengalah­kan lawan dalam perebutan itu!

Perahu-perahu itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya serem-serem dan aneh-aneh. Ketika Topeng Setan mendayung perahunya perlahan-lahan sambil memperhatikan kanan kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung cepat ini menimbulkan gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di sekelilingnya, ter­masuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.

Perahu besar itu agaknya tidak mem­pedulikan perahu-perahu lainnya dan me­luncur dengan angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil ter­langgar ujungnya dan dengan suara keras, perahu itu terbalik! Ceng Ceng meman­dang dengan penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu tidak jauh jaraknya dari perahunya. Penum­pangnya hanya satu orang. Orang ber­pakaian tosu tua yang wajahnya bengis. Orang-orang di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tu­buhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu besar itu.

"Tarrrr....!" Suara ledakan ini diba­rengi oleh uap yang mengepul ketika se­batang cambuk bergerak menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.

Akan tetapi, betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik me­lengking dan tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor burung wa­let bertemu halangan dan sudah berjung­kir balik dan berhasil mengelak lalu tu­buh itu mencelat lagi ke atas, tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak tiang layar perahu besar itu!

"Hebat....!" Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu demonstrasi kepandaian gin-kang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu.

Terdengar bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi ber­desing dan empat batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya ke­luar dari satu busur, meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak pa­nah itu meluncur lewat, dia hinggap di atas empat batang anak panah itu de­ngan menelungkup, kaki dan tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan "terbanglah" dia mengikuti luncuran anak panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian ini. Gin-kang tosu itu benar-benar seperti seekor burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak boleh dibuat main-main.

Tubuh tosu yang "menunggang" em­pat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah perahunya yang terba­lik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil yang ditum­pangi oleh seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang di­tumpangi seorang kakek gemuk pendek berkepala gundul.

"Huhhhh!" Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu de­ngan kedua kakinya dan perahunya "ter­bang" terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh tosu itu.

"Hemmm....!" Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan.... pe­rahunya "selulup" ke dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali ke depan, lima meter jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya seperti tidak per­nah terjadi sesuatu sungguhpun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup!

Ceng Ceng makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh Topeng Setan tadi. Ceng Ceng men­jadi makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan ber­hasil mendapatkan anak naga itu? Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.

"Cluppp....!" Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap. Ceng Ceng menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia merasa khawatir sekali dan men­duga-duga, lalu bertanya kepada Topeng Setan, "Paman, apakah dia mati?"

Topeng Setan mendengus, "Hemm, dia sudah kembali ke perahunya."

Ceng Ceng memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahu­nya yang terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya.

Sementara itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi, masih meluncur cepat ke tengah telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat. Karena keduanya ti­dak mau saling mengalah, tak dapat ter­hindarkan lagi, ujung kedua perahu besar itu beradu.

"Brakkkk....!" Dua buah perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke air.

Demikian hebatnya tabrakan itu se­hingga tiang perahu besar ke dua itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.

Tiang yang terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui! Keduanya menjadi terkejut akan tetapi dengan tenang mereka lalu menghindar dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan tetapi keduanya selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan, kedua orang ini sudah me­layang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang layar yang menimpa perahu mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji keindahan ge­rakan mereka. Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.

Perahu ke dua yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rom­bongan Pulau Neraka, sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi oleh rombongan Raja Tambolon! Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari balik perahu, dengan marah menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah perahu Raja Tambolon. Obor meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang dengan hati tegang. Tiba-tiba jendela bilik perahu Raja Tam­bolon terbuka, sebuah lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar dan.... obor yang melayang itu seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai menjadi padam! Akan tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.

Tentu saja orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi telah mendemonstra­sikan ilmu sihirnya.

Keadaan menjadi makin tegang. Ke­dua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau Neraka, sudah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya tak dapat dihindar­kan lagi kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi pada saat itu ter­dengar suara aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga, suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.

"Itu dia....! Naga sudah muncul....!"

Tampak air bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang tadi bersuara dari balik perahu maka suaranya terdengar begitu aneh. Dan otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih menjadi ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Ter­dengar suara air gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang dengan panik. Untung bulan purnama bersinar terang tanpa pengha­lang awan sehingga permukaan telaga kelihatan terang keemasan, akan tetapi belum kelihatan apa-apa kecuali gelom­bang yang makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing. Ceng Ceng dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka terguling, sedangkan wa­jah Ceng Ceng menjadi tegang dan ma­tanya terbelalak. Belum pernah dia me­rasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir tidak berani ber­kedip karena matanya terbelalak menya­pu seluruh permukaan air, mencari-cari.

Bukan hanya mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk bergerak apabila yang dinanti-nanti itu muncul.

Akan tetapi ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik, apalagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya "naga" itu! Secara tiba-tiba saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas per­mukaan air begitu saja. Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan sinarnya dan se­olah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan telaga dengan sinar matanya yang mencorong. Di dekat lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ke­tika muncul itu, lehernya "berdiri" dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung beras dan kepala sebesar itu ten­tu akan dapat dengan mudah menelan seorang manusia dewasa! Melihat kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.

"Koaaaakkk....!" Terdengar suara nya­ring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua orang ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan kepala itu menyelam se­bentar. Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali. Begitu muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu kecil terbanting dan banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah berantakan dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-ambingkan, saling bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan para penumpangnya ce­rai-berai banyak yang terlempar ke da­lam air! Suasana menjadi menakutkan dan semua orang menjadi panik.

Topeng Setan dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular "naga" itu sedemikian hebatnya. Ketika mengamuk tadi, nampaklah tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia dan panjangnya belasan meter. Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar kehijauan dan kelihatan keras dan kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih dan ketika ular itu membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga mulut yang lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di antara gumpalan uap menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Anak ular yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan. Melihat kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng Ceng men­jadi gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi bergelombang ketika ular itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat tenaganya. Mana mungkin orang dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam mulutnya? Manu­sia gila manakah yang akan mampu mengambil anak "naga" itu dari dalam moncong yang demikian mengerikan dan berbahaya?

Betapapun lihainya seseorang mana mungkin mampu melawan seekor naga yang demikian kuat dan dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja sudah dapat menghancurkan perahu-perahu besar ke­cil! Kabarnya, selama ratusan tahun be­lum pernah ada yang mampu menakluk­kan naga ini, apalagi mencuri anaknya dari dalam moncong! Akan tetapi aneh­nya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang kang-ouw yang datang untuk men­cobanya, sungguhpun setiap sepuluh tahun itu pasti jatuh korban banyak orang te­was di Telaga Sungari ini! Dan sekarang, aklbat perbuatan Hek-tiauw Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan menimbulkan korban yang tidak sedikit. Seka­rang saja yang tenggelam karena perahu­nya pecah sudah ada belasan orang!

"Bodoh si Hek-tiauw Lo-mo!" Topeng Setan berkata lirih. "Kenapa dia tergesa-gesa? Sekarang mana mungkin menangkap anak ular itu?" Jelas bahwa Topeng Se­tan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng Setan, naga itu biasanya akan lama berenang di permukaan telaga dan akan mengeluarkan anaknya dari mulut agar anak naga itu dapat berenang di permukaan air. Sekarang, karena naga itu telah menjadi buta dan terluka berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak ada harapan lagi untuk melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah tahu bahwa ada bahaya mengan­cam.

"Aaiiihhh....!" Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit dan cepat-cepat dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil itu tiba-tiba mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air. Perahu itu mencelat ke atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga Topeng Setan yang memegangi kedua pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan dapat melayang turun lagi ke atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.

"Apa.... apa yang terjadi.... eiiikkkhhh....!" Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak memandang ke kiri ka­rena tiba-tiba saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap putih bergumpal keluar dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang me­muakkan, akan tetapi karena dia sudah kebal terhadap racun, uap beracun itu tidak mempengaruhi, hanya rasa takut membuat dia seperti kehilangan semangat dan tidak mampu bergerak lagi. Ekor ular menyabet, tampak bayangan ekor ular itu muncul di permukaan air dan secepat kilat Topeng Setan sudah menyambar pinggang Ceng Ceng dengan lengan kanannya dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular raksasa itu menya­bet perahu.

"Braaakkkk....!" Perahu kecil itu han­cur berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu. Topeng Setan sudah cepat meloncat ke atas akan tetapi tetap saja kaki kanannya keserempet sabetan ekar ular itu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk tulang seolah-olah tu­lang pahanya remuk. Topeng Setan mak­lum bahwa sin-kangnya dapat melindungi tulang pahanya, akan tetapi biarpun dia tidak mengalami luka dalam yang hebat, tetap saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.

"Pakai pedang pendek ini....!" Ceng Ceng yang teringat akan bekalnya, se­batang pedang kecil yang diselipkan di pinggang, mencabut senjata itu dan menyerahkan kepada Topeng Setan yang cepat menyambarnya dengan tangan kiri. Dia berhasil menginjak pecahan perahu dan selagi tubuhnya meluncur turun dan dia melihat kepala naga itu membuka moncongnya dan siap hendak menyerang dan menelan dia dan Ceng Ceng, Topeng Setan melihat lidah putih itu mencuat keluar. Secepat kilat tangan kirinya menggerakkan pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat tadi betapa tubuh dan kepala naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan senjata-senjata tajam anak buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian dia menusukkan pedangnya ke arah lidah ular naga itu.

"Crattt.... plaaakkk!" Pedang kecil itu tepat menancap di lidah ular, melukai lidah itu akan tetapi gerakan kepala ular itu ke samping membuat pedang itu ter­lepas dari pegangan tangan kiri Topeng Setan. Dan Topeng Setan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya karena terdengar pekik melengking yang dahsyat sekali dari mulut ular itu. Pekik meleng­king nyaring ini terdorong oleh rasa ke­sakitan karena lidahnya terluka dan mengucurkan darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata yang tajam dari Topeng Setan dapat me­lihat sebuah benda berkilauan mencelat keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata adalah seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari! Dengan lengan kanan masih memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa akan segala bahaya dan cepat dia menubruk ke air, di mana tadi dia melihat ular kecil itu terlempar dan tangan kirinya menyambar. Tepat sekali dia berhasil menangkap kepala ular kecil itu! Ular kecil meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri Topeng Setan, akan tetapi Topeng Setan mengerahkan te­naganya dan ular kecil itu tidak mampu melepaskan diri.

Akan tetapi pada saat itu, induk ular naga menjadi marah sekali. Biarpun ma­tanya sudah buta, akan tetapi nalurinya memberi tahu bahwa anaknya berada dalam bahaya dan kepekaannya dapat membuat dia tahu bahwa musuh yang menyakiti lidahnya berada di depan. Dia membuka moncongnya dan menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah berhasil menangkap anak ular dan berusaha meng­hindar dan berenang, melihat moncong lebar itu menyambar dari arah kirinya, menjadi terkejut dan dia memindahkan anak ular ke tangan kanannya, kemudian dia menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga untuk menangkis ka­rena sudah tidak keburu membalikkan badan. Karena lengan kanan itu merang­kul pinggang Ceng Ceng, tentu saja gerakan tangan kirinya menjadi kaku.

"Plakkk....!" Topeng Setan mengeluar­kan teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng Ceng terlepas dari rangkul­an. Seketika yang teringat olehnya ha­nyalah keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya telah terampas oleh moncong ular naga, maka otomatis dia mengge­rakkan lengan kiri untuk menyambar. Akan tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia memandang tangan kirinya dan Topeng Setan terbelalak, mulutnya mengeluarkan suara. "Auhhhh...." ketika dia melihat betapa tangan kiri berikut lengannya telah lenyap! Yang tinggal hanyalah pundaknya dan seluruh lengan kirinya itu ternyata telah buntung di­coplok ular naga tadi!

Melihat kenyataan yang mengerikan ini, hampir saja Topeng Setan menjadi pingsan. Akan tetapi, dia menggigit bibir menahan pukulan lahir batin yang amat hebat ini. Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh pingsan. Yang penting adalah Ceng Ceng! Dia cepat menengok dan melihat gadis itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu tidak pandai berenang dan di­permainkan air bergelombang. Cepat dia lalu berenang mendekati dan mengguna­kan lengan kanan memeluk pinggang gadis itu dan mengangkatnya ke atas. Ular itu masih digenggam di tangan ka­nannya.

Selagi Topeng Setan yang kini hanya mengandalkan kedua kakinya untuk ber­gerak di air itu hendak berenang men­jauh, tiba-tiba kaki kirinya dipegang orang dari bawah! Topeng Setan merasa terkejut, mengerti bahwa amatlah ber­bahaya kalau dia tidak dapat melepaskan cekalan tangan orang itu. Cepat dia meronta dan menendang-nendangkan kaki kirinya, bahkan kaki kanannya juga me­nendang ke bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan itu tidak terlepas dari kaki­nya. Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan dan bergantung lemas dalam pelukan tangan kanannya, sedangkan anak ular itu masih membelit lengan kanannya tanpa mampu melepaskan diri.

Tangan yang mencekal kaki Topeng Setan itu kuat sekali dan kini berusaha menarik tubuh Topeng Setan tenggelam. Topeng Setan meronta-ronta, namun ce­kalan pada pergelangan kakinya itu se­perti jepitan baja, dan tidak mungkin dapat dilepaskan dengan cara meronta dan menendang. Sudah beberapa kali dia ditarik ke bawah sampai gelagapan. Hampir saja dia menyerah. Akan tetapi tiba-tiba induk ular yang masih menga­muk itu menggerakkan ekor menyabet ke arah kaki Topeng Setan. Hal ini meno­longnya karena kakinya terlepas dari jepitan dan orang yang memegang kakinya itu muncul ke permukaan air. Kiranya orang itu adalah Si Tosu yang lihai tadi! Akan tetapi karena induk ular naga itu masih mengamuk, Si Tosu Lihai tidak berani mendekat, bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika ular naga itu bergerak ke arahnya dengan sikap menyeramkan.

Karena merasa betapa tubuhnya ma­kin melemah dan ular naga itu masih mengamuk di dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya teringat akan kesela­matan Ceng Ceng semata, melihat ada­nya balok tiang perahu besar yang tadi patah dan kini ujung yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan kaklnya dan se­luruh tubuhnya, mencelat ke atas balok tiang layar itu.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tampak sebuah perahu juga meloncat dan menubruk Topeng Setan. Orang yang ber­ada di dalam perahu itu adalah kakek tinggi besar bermuka hitam yang cepat mengulur tangannya merampas ular kecil di dalam genggaman tangan Topeng Se­tan! Karena perahu itu muncul tiba-tiba dan menubruknya, membuat dia tidak dapat mengelak lagi, apalagi lengannya yang tinggal satu itu memeluk Ceng Ceng yang sudah mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini tidak berdaya. Ular kecil di dalam tangannya kena dirampas oleh kakek tinggi besar muka hitam itu! Dengan kemarahan meluap, Topeng Setan masih sempat menggerakkan kakinya menendang.

"Bukkk!" Tendangannya tepat menge­nai lambung kakek itu sehingga terlem­par keluar dari perahunya.

"Byuuuurrr....!" Tiba-tiba dari dalam air muncul sebuah perahu dan kakek pen­dek gemuk berkepala gundul sudah meng­gunakan dayungnya mengemplang kepala kakek muka hitam!

Kakek muka hitam terkejut, masih dapat mengelak sambil menangkap da­yung itu, akan tetapi ternyata kakek gundul itu hanya menipunya karena sam­bil tertawa lalu tangannya meraih dan.... ular kecil itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi besar bermuka hitam terampas oleh kakek gundul.

"Keparat....!" Kakek muka hitam menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu lawan.

"Brakkkk....!" Perahu itu hancur ber­keping-keping dan Si Kakek Gundul sam­bil tertawa lalu menyelam dan lenyap!

Sementara itu, Topeng Setan berhasil hinggap di ujung balok tiang layar. Ceng Ceng sudah siuman dan pertama kali gadis ini melihat lengan kiri Topeng Se­tan yang lenyap, hanya tinggal pundak kiri yang berlepotan darah, hampir dia pingsan lagi.

"Paman....!" Dia menjerit dan meme­luk tubuh mandi darah itu. "Kau.... kau.... lenganmu....?"

"Tidak apa, Ceng Ceng.... tidak apa...." Topeng Setan berkata tenang.

"Tidak apa-apa? Lenganmu buntung dan kau bilang tidak apa-apa?" Ceng Ceng lalu cepat mengeluarkan obat bu­buk yang sudah basah semua dari dalam bajunya, mengobati pundak yang buntung itu dengan hati penuh kengerian dan ke­haruan, kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan membalut luka yang kini darahnya sudah berhenti mengucur. To­peng Setan sama sekali tidak mengeluh, bahkan kelihatan tersenyum di balik to­pengnya yang buruk. Kian Bu dan Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu merasa kagum bukan main. Betapa hebatnya orang yang ber­muka buruk ini, yang dia tahu adalah pembantu dari Ceng Ceng. Manusia muka buruk ini sudah putus lengannya, akan tetapi masih dapat bergerak sehebat itu di dalam air, berhasil menolong Ceng Ceng yang tadi pingsan, bahkan telah berhasil menangkap anak naga yang kini terampas oleh kakek gundul yang menye­lam dan menghilang. Melihat keslbukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apalagi karena dia masih merasa malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li, maka Kian Bu tidak berani menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tidak melihatnya biarpun mereka berada di satu balok tiang layar, di kedua ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat dan mempedulikan keadaan seke­lilingnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah kepada keadaan Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.

"Sayang anak naga itu terampas Si Kakek Gundul...." terdengar Topeng Setan berkata.

"Peduli dengan ular itu....!" Ceng Ceng menjawab sambil menyelesaikan pekerjaannya membalut pundak dengan hati-hati. "Aku.... aku benci ular itu, Paman! Aku benci diriku sendiri karena aku yang menyebabkan kau kehilangan lengan kirimu."

"Ahhh.... jangan berkata begitu...."

Sementara itu, induk ular naga masih mengamuk karena selain matanya buta, lidahnya terluka, juga dia kehilangan anaknya. Amukannya di dalam air itu agaknya membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan lama dan sudah muncul lagi ke permukaan air. Akan tetapi be­gitu dia muncul, dari atas perahu besar milik Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan tahu-tahu tubuh kakek gun­dul sudah tertangkap dalam sehelai jaring hitam yang terbuat dari tali sutera halus yang amat kuat! Kakek gundul yang masih memegangi ular kecil itu terkejut dan meronta-ronta, namun dia tidak ber­daya ketika tubuhnya ditarik dan diang­kat naik ke atas perahu oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya, yaitu Si Pe­tani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka, kakek gundul mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.

"Jangan keroyok, biarkan dia!"

Mendengar ini, Tambolon dan dua orang pembantunya mundur dan nenek itu lalu berkata, "Hai, cucuku gundul.... eng­kau memang anak baik sekali mau menyerahkan ular itu kepada nenekmu. Ma­ri.... mari sini.... berikan ular itu kepada­ku....!"

Ceng Ceng yang sudah selesai mem­balut, kini bersama Topeng Setan me­mandang ke arah perahu itu dan mereka menjadi bengong terheran-heran melihat kakek gundul yang lihai dan yang tidak gentar dikeroyok oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu dengan kedua tangannya! Sambil terkekeh Durganini menerima ular itu.

Begitu ular diterima, kakek gundul agaknya sadar dan dengan teriakan dah­syat dia meloncat berdiri dan hendak menerjang nenek itu. Akan tetapi Tam­bolon dan dua orang pengawalnya sudah menyambutnya sehingga terjadilah per­tandingan seru di atas perahu.

Akan tetapi kini semua perahu yang melihat bahwa ular yang diperebutkan itu terjatuh ke tangan Si Nenek Hitam, ber­bondong datang mendekati perahu besar Tambolon dan banyak sekali bayangan orang yang gerakannya ringan dan gesit berloncatan ke atas perahu besar itu untuk merampas ular kecil! Di antara mereka terdapat Si Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo, dan banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam dan Si Kakek Gundul yang masih bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar ini me­nyambut dan terjadilah perang tanding yang amat seru di atas perahu. Mengha­dapi pengeroyokan banyak sekali orang pandai, Tambolon dan Si Nenek Lihai ini menjadi kewalahan juga dan dia tidak sempat menggunakan ilmu sihirnya ter­hadap begitu banyak orang pandai yang rata-rata memiliki tenaga batin amat kuat sehingga tidak mudah tunduk kepada kekuatan ilmu sihirnya.

Selagi Topeng Setan tidak tahu apa­kah dia harus pula ikut memasuki medan pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu terlempar ke atas dan terbanting lalu terbalik! Kiranya ular yang marah itu telah mengamuk dan menyundul perahu yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan tentu saja semua orang lihai yang sedang enaknya bertempur semua terlam­par ke dalam air! Si Nenek Hitam yang lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan kelihaiannya karena dia tidak pandai re­nang, maka dengan gelagapan dia terpak­sa minta tolong dan dibantu oleh anak buah Tambolon, diseret kembali ke perahu yang sudah terbalik. Akan tetapi dalam ketakutannya tenggelam tadi, ne­nek ini yang sudah pikun lupa akan ular kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu terlepas. Anak ular yang juga panik karena sejak tadi dicengkeram tangan-tangan panas dan kuat, dalam ke­adaan bingung dan panik meluncur dan berenang ke dekat tiang layar yang di­tumpangi Kian Bu, Hong Kui, Topeng Setan dan Ceng Ceng! Melihat ini, To­peng Setan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya meraih untuk menangkap anak naga itu.

"Desss....!" Topeng Setan dan Kian Bu terkejut. Keduanya tadi secara oto­matis telah mengulur tangan hendak me­nangkap anak ular naga itu dan begitu tangan mereka saling bertemu, otomatis pula keduanya menyalurkan lengan se­hingga terjadilah bentrokan hebat antara tangan mereka. Kian Bu terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang sudah me­ngalami luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal ini benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main.

Anak ular itu berenang ke dekat Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat tangannya menyambar. Akan tetapi pada saat itu, Lauw Hong Kui Si Siluman Kucing juga sudah menangkap pada saat yang bersamaan, tentu saja mereka lalu berebut dan saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang kepala dan ekor­nya dan dijadikan rebutan! Kian Bu me­mandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu amat takut terhadap ular, bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi mengapa kini berani menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng Ceng juga sudah menangkap ular itu, dia berteriak kepada Hong Kui, "Enci, biar­kan dia mendapatkan ular itu....!"

Hong Kui terkejut dan marah. "Apa? Tidak sudi!" Dan dengan marah dia me­narik sekuatnya. Ceng Ceng tentu saja mempertahankannya, gadis ini lebih ber­untung dalam perebutan itu karena dia tadi memegang kepala ular yang tentu saja merupakan bagian yang lebih kuat daripada bagian ekornya.

"Prattt....!" Anak ular naga itu putus menjadi dua dan putusnya di dekat ekor sehingga Hong Kui hanya mendapatkan bagian yang sedikit saja, yaitu bagian ekornya! Dan karena Ceng Ceng yang mempertahankan ular itu berada di ping­gir balok dan kini tiba-tiba ular putus, tak dapat dihindarkan lagi Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke dalam air. Pada saat itu, induk ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya mobat-mabit dan balok tiang itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah berantakan.

Topeng Setan yang setengah pingsan karena penderitaannya itu melihat Ceng Ceng terjatuh ke dalam air, tahu bahwa gadis itu terancam bahaya karena tidak pandai berenang, maka tepat pada saat balok tiang dihantam ekor ular naga, dia sudah meloncat terjun ke air dan menge­jar Ceng Ceng, merangkulnya dan terus dibawanya gadis itu menyelam selagi ular naga mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa keadaan sudah berbahaya sekali, tenaganya sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk melindungi Ceng Ceng dan kalau mereka muncul lagi di permukaan air, tentu semua orang lihai itu akan mengeroyok mereka karena ular itu, biarpun ekornya putus sedikit, masih berada di tangan Ceng Ceng.

Karena dia maklum bahwa sekali mereka muncul, tentu mereka akan celaka dan terutama sekali yang terpenting baginya, Ceng Ceng akan terancam ba­haya dan anak ular naga itu akan diram­pas orang, maka Topeng Setan mengam­bil keputusan nekat. Dia hendak mem­bawa Ceng Ceng menyelam terus dan berenang di bawah permukaan air menuju ke tepi telaga. Dengan sin-kangnya yang sudah amat kuat itu, dan melawan pen­deritaan tubuhnya yang terluka hebat dengan kekuatan kemauannya yang mem­baja, Topeng Setan lalu menyeret tubuh Ceng Ceng yang dirangkulnya itu, mulai berenang meninggalkan tempat berbahaya itu di mana tidak hanya ular naga raksasa yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh lihai yang mencari-cari mereka.

Dengan pengerahan tenaga yang amat mentakjubkan, yang sesungguhnya ter­dorong oleh keinginan dan kemauannya untuk menyelamatkan Ceng Ceng, Topeng Setan berenang cepat dan hanya meng­gunakan kedua kakinya dan dia berhasil menjauhi tempat itu. Kakinya yang per­nah dihantam ekor ular naga terasa nyeri bukan main, akan tetapi dia tidak mau merasakan siksaan ini dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan. Dengan sin-kangnya yang sudah mencapai puncak, dia dapat "menyimpan" hawa udara sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian halnya de­ngan Ceng Ceng. Dasar sin-kang dari gadis ini masih lemah sekali, maka kini dia mulai kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini diketahui oleh Topeng Setan. Akan tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng muncul ke permukaan untuk men­cari hawa segar dan bernapas, tentu akan kelihatan oleh musuh dan selanjut­nya mereka tidak mungkin dapat melari­kan diri lagi, karena tentu akan dikejar-kejar, baik di permukaan air atau di dalam air. Di antara mereka terdapat banyak ahli bermain di air, seperti kakek gundul dan tosu itu. Maka Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak mem­bolehkan Ceng Ceng yang sudah kehabis­an napas itu untuk naik ke permukaan air. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dibiarkan terus, gadis itu akan kehabisan napas dan akan tewas pula, maka dia lalu mengambil keputusan ne­kat. Diangkatnya tubuh Ceng Ceng, di­dekatkan muka gadis itu dengan mukanya. Di dalam air yang jernih itu mereka tidak dapat saling melihat, karena sinar bulan tidak dapat menembus sedalam itu, akan tetapi remang-remang mereka ma­sih dapat saling melihat bayangan me­reka. Topeng Setan lalu menundukkan mukanya dan.... dia menutup mulut Ceng Ceng dengan mulutnya sendiri!

Tentu saja Ceng Ceng terkejut bukan main, mula-mula tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh orang tua itu. Dia sudah pening dan telinganya mengeluar­kan bunyi mengaung, dadanya seperti hendak meledak. Rasa kaget ketika me­rasa betapa mulutnya dicium seperti itu oleh Topeng Setan, membuat dia ingin menjerit dan otomatis mulutnya terbuka. Agaknya inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan bibir masih menutup mu­lut Ceng Ceng yang terengah-engah itu, dia mengeluarkan hawa "simpanan" yang masih bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas.

Ceng Ceng gelagapan akan tetapi da­danya menjadi lega dan kini lenyaplah kekagetan dan kemarahan yang tadi me­nyelinap di dalam hatinya. Kini dia me­ngerti bahwa orang tua bertopeng buruk itu, sama sekali tidak berniat kurang ajar kepadanya. Sebaliknya malah, kembali Topeng Setan menyelamatkannya! Dan dia tahu bahwa cara penyelamatan ini pun suatu pengorbanan diri karena dengan memberikan hawa cadangan itu kepadanya, berarti Topeng Setan sendiri akan cepat kehabisan napas! Keharu­an memenuhi hati Ceng Ceng dan ke­tika Topeng Setan melepaskan "cium­annya", dia merangkul pinggang kakek itu dan merapatkan tubuhnya sebagai tanda terima kasihnya. Kini Ceng Ceng dapat bertahan dan mereka terus berenang ke suatu arah tertentu, secara untung-un­tungan karena mereka tidak dapat melihat arah mana yang terdekat ke pantai.

Setiap kali Ceng Ceng kehabisan na­pas, Topeng Setan lalu "menciumnya" seperti tadi untuk memindahkan hawa murni dan sampai tiga kali dia melaku­kan hal ini yang berarti menyambung napas dan umur gadis itu. Ceng Ceng tidak meronta lagi, dan setiap kali dia dicium, dia memejamkan matanya dan sungguh aneh, dalam keadaan tercium itu, yang amat terasa olehnya, dia mem­bayangkan wajah.... pemuda laknat yang telah memperkosanya! Dia sendiri merasa heran. Dicobanya untuk membayangkan wajah Pangeran Yung Hwa, mengkhayal bahwa pangeran yang tampan dan me­narik itulah yang menciumnya, akan te­tapi tetap saja wajah pemuda laknat itu yang muncul!

Ketika akhirnya, secara kebetulan sekali, mereka dapat mendarat di pantai terdekat, keduanya sudah kehabisan na­pas. Mereka terengah-engah di pantai, dengan tubuh bawah masih terendam air dan tubuh atas rebah di atas lumpur, dada mereka terasa seperti akan mele­dak, terengah-engah seperti ikan-ikan terdampar di daratan. Akan tetapi anak ular naga itu masih terus digenggam tangan kanan Ceng Ceng, dan tubuh ular yang ekornya buntung itu masih membe­lit lengannya dengan kuat.

Sementara itu, jauh di tengah telaga, orang-orang lihai masih terus sibuk me­lawan ular naga yang mengamuk dan mereka sibuk pula berusaha mencari Topeng Setan dan Ceng Ceng. Adapun Hong Kui dan Kian Bu yang tadi terlem­par ke air ketika balok tiang layar di­hantam oleh ekor ular naga, kini sudah berhasil menyelamatkan diri ke atas sebuah pecahan perahu. Melihat ekor ular itu yang masih berdarah, Hong Kui terus saja memasukkannya ke dalam mulutnya dan Kian Bu merasa ngeri melihat betapa mulut yang bentuknya indah itu, bibir yang merah basah dan yang sudah amat dikenalnya dengan ciuman-ciuman­nya yang hangat dan mesra, kini me­ngunyah daging, tulang dan kulit ular yang berdarah itu sampai terdengar suara berkerotakan ketika tulang-tulang ekor ular kecil itu hancur digilas oleh gigi-gigi kecil kuat dari Hong Kui. Sedikit pun tidak kelihatan wanita itu merasa jijik, maka kini Kian Bu mulai mengerti bahwa Hong Kui sebenarnya sama sekali tidak takut kepada ular! Terbukalah ma­tanya bahwa selama ini wanita itu me­mang sengaja memancing dan merayunya dan dia merasa betapa bodohnya dia. Akan tetapi biarpun kenyataan ini mem­buat dia kehilangan perasaan cinta ter­hadap Hong Kui, namun tidak melenyap­kan rasa tertariknya. Wanita itu telah memperkenalkan kenikmatan yang luar biasa kepadanya dan dia masih merasa sayang untuk melepaskannya! Kalau tadi­nya Kian Bu hampir mengakui dan per­caya bahwa dia jatuh cinta kepada Hong Kui, semenjak peristiwa memperebutkan ular itu, dia yakin bahwa sebetulnya tidak ada kasih di hatinya terhadap wa­nita ini, melainkan hanya nafsu kese­nangan karena wanita ini memang hebat dan pandai sekali menghibur dan menye­nangkan hatinya. Dan melihat Hong Kui mengunyah dan makan ekor ular itu mentah-mentah, timbul juga rasa kasihan di hatinya karena dia maklum bahwa wanita itu terpaksa melakukan hal ini karena khawatir kalau-kalau bagian yang hanya sedikit itu akan terampas orang lain! Akan tetapi, yang sedikit ini pun cukuplah karena seketika itu juga Hong Kui merasa betapa tekanan panas di pusarnya akibat keracunan telah lenyap sama sekali begitu ekor ular itu mema­suki perutnya!

Topeng Setan sudah dapat memulihkan pernapasannya. Pundak kirinya terasa sakit bukan main, berdenyut-denyut sam­pai terasa di ubun-ubun kepalanya, juga kaki kanannya yang kena hantaman ekor ular naga masih terasa setengah lumpuh. Lebih-lebih lagi hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan lengan kirinya yang buntung akan tetapi semua penderitaan lahir batinnya ini dilupakan­nya seketika ketika dia menoleh kepada Ceng Ceng yang juga sudah tidak begitu terengah-engah seperti tadi.

"Cepat kaumakan ular itu. Ular inilah obat yang akan menghilangkan semua racun yang mengancam nyawamu. Cepat­lah, Ceng Ceng." Topeng Setan berkata.

Ceng Ceng menoleh kepadanya, mukanya pucat, sebagian tertutup rambutnya yang terurai awut-awutan dan basah kuyup. Begitu menoleh dia melihat le­ngan kiri yang buntung itu dan tiba-tiba Ceng Ceng memandang ular di tangannya dengan wajah beringas. "Ular sialan! Ular itu telah membuat lenganmu buntung, Paman. Aku benci ular itu!" Ceng Ceng lalu melemparkan ular itu ke telaga!

"Aihhh.... kau.... kau gila....!" Topeng Setan berteriak kaget sekali dan cepat dia terjun ke air dan berenang mengejar ular itu. Untung ular itu sudah menjadi lemah dan setengah mati karena sejak tadi kepalanya digenggam oleh Ceng Ceng dan ekornya telah buntung, maka dia tidak menyelam dan hanya berenang lambat-lambat ke sana-sini sehingga mu­dah bagi Topeng Setan untuk menangkap­nya dan membawanya berenang ke ping­gir. Ceng Ceng sudah merangkak dan duduk di atas tanah yang keras di tepi telaga ketika Topeng Setan mendarat.

"Kau harus makan daging ular ini dan minum darahnya." Dia berkata.

"Ular sialan itu, biarlah aku tidak berobat lagi, Paman."

"Kau harus!"

"Tidak....!"

"Aku akan memaksamu!"

Ceng Ceng yang pada dasarnya ber­hati keras itu, mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang keras dan marah dari Topeng Setan, lupa kalau orang itu telah kehilangan lengannya dan dia me­loncat bangun sambil mengepal kedua tangannya. "Tidak! Tidak sudi! Coba kau memaksaku kalau berani."

"Mengapa tidak berani? Hanya ular ini obatnya yang akan menyelamatkan nyawamu, Ceng Ceng." Tiba-tiba Topeng Setan menyerbu dan Ceng Ceng berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat, dan sebuah totokan pada pundaknya membuat dia roboh dan tak dapat ber­gerak lagi. Akan tetapi sebelum dia ro­boh, lengan Topeng Setan sudah mena­hannya dan dia lalu direbahkan dengan hati-hati di atas rumput.

"Karena kau berkeras menolak, aku terpaksa menggunakan kekerasan ini, Ceng Ceng. Ular ini harus cepat kaupergunakan sebagai obat, kalau sampai me­reka mengejar ke sini, ular ini akan terampas dan kau akan celaka. Maafkan aku, terpaksa aku melakukan ini padamu...."

Topeng Setan mencari sehelai daun teratai lebar, membuatnya dengan susah payah sebagai tempat air dan sementara itu dia menjepit leher ular dengan jari kakinya yang dilepaskan dari sepatunya yang basah, kemudian dengan jari-jari tangannya yang panjang dia menggulung dan menggenggam ular itu ke dalam kepalannya, dan mengerahkan tenaga menghimpitnya! Tentu saja kepala dan tubuh ular itu menjadi hancur dan cairannya mengucur ke dalam mangkok daun teratai itu, cairan yang terdiri dari da­rah dan perasan tubuh ular itu, cairan kuning kemerahan yang dipandang dengan mata jijik oleh Ceng Ceng.

"Cairan ini mengandung obat mujarab, akan tetapi juga mengandung racun ular itu yang akan mematikan bagi orang biasa. Akan tetapi karena tubuhmu sudah kebal racun, maka racun ular ini tidak akan mengganggu, bahkan mungkin akan mendatangkan suatu keuntungan bagimu, Ceng Ceng. Mestinya tidak dihidangkan secara begini saja, yang agak menjijik­kan, akan tetapi apa boleh buat, kita masih belum aman benar dan obat ini perlu secepatnya kauminum."

Ceng Ceng yang sudah lumpuh kaki tangannya itu hanya menjawab pendek, "Aku tidak mau!"

"Maaf....!" Topeng Setan kembali menggerakkan jari tangannya.

"Aaaahhhh!" Mulut Ceng Ceng terbuka dan tak dapat tertutup kembali! Topeng Setan lalu menuangkan cairan itu ke dalam mulut yang terbuka itu! Ceng Ceng mencium bau yang amat amis dan busuk, maka dia tidak mau menelan cairan yang sudah berada di mulutnya itu.

"Maaf, terpaksa aku....!" Topeng Setan lalu menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk memencet kedua lubang hidung Ceng Ceng. Dipencet lubang hidungnya seperti itu, Ceng Ceng tak dapat ber­napas dan gelagapan sehingga terpaksa cairan itu tertelan olehnya. Dia di "ce­koki" cairan ular yang menjijikkan itu.

Topeng Setan itu lalu membebaskan totokannya dan Ceng Ceng bangkit du­duk, meludah berkali-kali akan tetapi cairan itu telah memasuki perutnya.

"Kaumaafkanlah aku, Ceng Ceng...."

Suara itu demikian penuh permohonan dan penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah sebagian terusir pergi. Apa­lagi dia ingat bahwa semua yang dilaku­kan oleh Topeng Setan itu semata-mata adalah untuk menolongnya. Dan penolak­annya tadi pun hanya karena berduka dan menyesal mengapa untuk mencari ular itu Topeng Setan sampai mengorbankan lengannya.

"Mengapa kau minta maaf?" tanyanya pendek.

"Maaf bahwa aku terpaksa memaksa­mu minum cairan obat itu."

"Engkau memaksaku karena aku me­nolak dan engkau melakukan itu karena engkau hendak menolongku, Paman."

"Maaf, bahwa aku harus memencet hidungmu, menotokmu, mencekokkan obat itu kepadamu."

"Sudahlah, obat sudah masuk ke pe­rutku, mengapa diributkan lagi?"

"Dan maafkan aku.... aku terpaksa mengoper hawa murni kepadamu secara itu...." Topeng Setan memalingkan muka­nya membelakangi Ceng Ceng, lalu bang­kit berdiri dan memasuki hutan tak jauh dari situ.

Ceng Ceng juga bangkit dan meng­ikutinya memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon, Topeng Setan lalu ber­usaha membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal satu, sukarlah dia menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api.

Ceng Ceng merebut kayu kering itu dan dia lalu membuat api dan menyala­kan api unggun. Tanpa bicara keduanya duduk di dekat api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam api, sedangkan Ceng Ceng memandang wajah yang buruk itu.

"Kenapa kau minta maaf tentang itu, Paman? Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku sudah menjadi mayat dengan perut kembung penuh air."

Topeng Setan menoleh dan mereka saling pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami berdua itu masih menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu, Topeng Setan cepat mengelak dan menunduk. "Bagai­mana.... perasaan tubuhmu sekarang, Ceng Ceng?"

Ceng Ceng juga sadar betapa dia tadi memandang orang itu dengan sinar mata penuh kagum, penuh rasa syukur dan terima kasih, maka dia cepat menjawab sambil merasakan keadaan tubuhnya, "Rasanya enak dan hangat.... dan rasa muak itu lenyap, Paman."

"Hemm.... aku yakin bahwa engkau akan sembuh sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya maut, Ceng Ceng." Suara itu terdengar girang.

Ceng Ceng merasa jantungnya seperti ditusuk. "Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang tidak berharga ini engkau harus mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman....!"

Topeng Setan menoleh ke kiri memandang ke arah pundaknya yang bun­tung. "Ah, ini? Tidak begitu hebat. Se­kali waktu manusia akan kehilangan se­suatu yang berharga di luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka tidaklah terlalu menyiksa hati benar...."

Ceng Ceng memandang dengan mata terbelalak. "Kau.... kau kehilangan lengan kiri dan tidak tersiksa hatimu karena­nya?"

Topeng Setan menggeleng kepala­nya. "Ceng Ceng, segala peristiwa yang terjadi, menimpa diri kita tidak me­ngandung suka maupun duka, tidak menga­dung sesuatu yang ada hubungannya dengan batin. Suka atau duka adalah permainan batin, permainan hati dan pikiran. Beta­papun akan hebatnya pikiranku menyiksa hati, tetap saja lenganku takkan dapat tumbuh kembali. Karena itu, mengapa harus dipikir? Permainan pikiran hanya akan menimbulkan derita batin, menim­bulkan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan kebencian, dendam dan permusuhan belaka...."

Ceng Ceng makin terheran-heran. Manusia ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?

"Paman, setelah segala yang kaulakukan demi aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk yang kaula­kukan untukku, setalah segala pengorbanan besar yang kauderita karena aku, maukah engkau memenuhi permintaanku ini? Aku.... aku ingin sekali melihat wajahmu, Paman."

Topeng Setan kelihatan terkejut sekali, tersentak kaget dan melangkah mun­dur seperti terhuyung sampai punggung­nya menabrak batang pohon di belakang­nya, kepalanya digelengkan dan matanya terbelalak menatap wajah Ceng Ceng. "Tidak....! Tidak...., jangan kauminta itu.... kau boleh memerintahkan apa saja pada­ku Ceng Ceng, kau boleh menyuruh dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan menuruti.... akan tetapi yang satu ini.... jangan kau memaksa aku menang­galkan topengku...."

"Kenapa, Paman? Antara kita.... me­ngapa engkau segan memperlihatkan mu­kamu? Kita sudah senasib sependeritaan, aku merasa kita bukan orang lain lagi, sudah berkali-kali aku hutang budi dan hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun takkan mampu kubalas. Aku hanya ingin melihat manusia yang paling baik dan paling mulia terhadap diriku di dunia ini, mengapa kau menolak?"

"Aku tidak bisa membuka topeng ini, akan terlalu mengerikan...., wajahku sangat mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan aku khawatir engkau akan menjadi jijik dan muak, bahkan benci melihatku. Ja­ngan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku membuka topeng ini. Kau boleh membukanya kalau kelak aku sudah ma­ti...."

Ceng Ceng menundukkan mukanya, menarik napas panjang. "Aku tidak akan memaksamu, Paman. Sungguhpun aku yakin bahwa betapapun buruk rupamu, aku tidak akan dapat merasa takut, apa­lagi jijik dan muak, apalagi membenci­mu. Bagaimana mungkin aku bisa mem­benci seorang yang telah berkorban se­demikian hebat untukku? Aku jadi heran sekali apa yang terjadi antara wanita yang.... kaubunuh itu dengan engkau. Ka­lau aku menjadi dia, agaknya.... aku mau melakukan apa saja untuk seorang se­mulia engkau ini, Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat menyakitkan hatimu?"

Topeng Setan menghela napas pan­jang, agaknya lega karena Ceng Ceng tidak memaksanya membuka topeng. Dia duduk lagi bersandar batang pohon, lalu menjawab, "Tidak, Ceng Ceng, dia se­orang wanita yang amat hebat, tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi aku.... aku telah membunuhnya...."

"Kasihan sekali engkau, Paman...."

Topeng Setan agaknya ingin mengalih­kan percakapan karena dia lalu berkata, "Ceng Ceng, engkau sekarang sudah sembuh, engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan dengan latihan I-kin-keng yang telah kuajarkan, semua ilmu bera­cun yang kaupelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga tubuhmu beracun akan lenyap, dan.... aku sendiri masih belum tahu aki­bat aneh apa yang akan didatangkan oleh khasiat anak naga yang telah memasuki tubuhmu. Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke kota raja, kau.... kautemui Pangeran Yung Hwa itu...."

"Eh, mengapa, Paman?" Ceng Ceng bertanya dengan kaget sekali.

"Engkau seorang gadis yang amat baik, seorang wanita berjiwa pahlawan, engkau sudah mengalami banyak kesukar­an dan seorang wanita seperti engkau berhak untuk hidup mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa itu, dia seorang bangsawan tinggi, putera Kaisar, dia terpelajar tinggi dan tampan dan baik dan yang terutama sekali, dia cinta ke­padamu, Ceng Ceng. Kaupergilah kepada­nya...."

Ceng Ceng menggeleng kepala keras-keras. "Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi aku.... aku tidak berharga...."

"Hemmm, jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng. Apakah engkau hendak me­ngatakan bahwa engkau tidak cinta ke­pada pangeran itu? Aku teringat akan pemuda tampan yang berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti, yang bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran Yung Hwa maupun Suma Kian Lee keduanya adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar dicari tan­dingannya di dunia ini. Kaukembalilah ke kota raja, kau berhak hidup bahagia. Apakah engkau mencinta Suma Kian Lee....?"

"Tidak, Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia adalah pamanku sendiri!"

"Ehhh....?" Topeng Setan kelihatan terkejut sekali mendengar ini. "Putera Pendekar Super Sakti itu.... pamanmu?"  

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang