Jilid 24 (TAMAT)

2.7K 53 1
                                    

"Berhenti...!!"

Tiba-tiba Suling Emas melayang dan tiba di dekat Pouw-kai-ong. Sekali sulingnya bergerak, tampak sinar kuning emas dan semua senjata yang ditujukan kepada tubuh yang mandi darah itu terpental.

"Wah, ini konconya! Keroyok...!!" teriak seorang pengemis.

"Jangan! mundur semua!!" Yu Kang berseru sambil menggunakan tangan kananya yang tidak terluka untuk mendorong minggir beberapa orang pengemis yang menghalang jalan. "Dia bukan konco iblis Pouw, bahkan dialah yang memungkinkan kita merobohkan iblis itu!"

Suara Yu Kang nyaring dan penuh wibawa. Apalagi ketika para pimpinan pengemis mengenal bahwa pengemis kosen ini adalah putera mendiang Yu Jin Tianglo seperti yang diperkenalkan oleh Liong-lokai, mereka lalu mundur. Yu Kang mendekati Suling Emas dan bertanya, suaranya nyaring.

"Suling Emas! Apa maksudmu menghalangi kami membunuh iblis ini?"

Suling Emas menggeleng kepala, memandang kepada tubuh yang mandi darah di depannya. Muka itu hancur, bahkan sebuah daripada matanya remuk! Bibirnya robek hidungnya bengkok. Muka yang mengerikan! Andaikata dapat hidup terus tentu menjadi seorang yang cacad mukanya.

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak suka akan pengeroyokan. Biarpun dia roboh oleh kalian, akan tetapi lebih dulu aku telah membikin dia tidak berdaya dengan merusak tongkatnya. Kalau ia masih bersenjata, apakah kalian kira akan dapat dengan mudah merobohkannya? Tentu dia akan dapat melarikan diri. Karena itu aku merasa seakan-akan ikut mengeroyoknya! Dia sudah mendapat hajaran keras, lebih baik mati daripada hidup. Lihat mukanya! Lihat mukanya! Lihat badannya! Urusannya dengan kalian adalah urusan pribadi, aku tidak mau terseret dalam pengeroyokan dan pembunuhan begini curang."

Sejenak Suling Emas beradu pandang dengan Yu Kang. Kemudian Yu Kang menunduk dan melihat keadaan Pouw-kai-ong. Ia agaknya merasa puas, berdongak ke udara, mulutnya berkemak-kemik seperti membaca doa. Kemudian ia meloncat ke atas batu besar tak jauh dari situ. Tangan kirinya sengkleh, tergantung lepas karena tulang pundak kirinya patah. Akan tetapi sikapnya gagah dan suaranya nyaring.

"Kawan-kawan! Dengarkan aku bicara. Aku adalah Yu Kang, putera mendiang Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim Kai-pang. Bicara tentang dendam kepada Si Jahat Pouw agaknya di antara kita akulah yang paling parah. Akan tetapi aku puas melihat dia kini dirobohkan, dan... harus kita akui bahwa tanpa bantuan Pendekar Suling Emas belum tentu kita akan berhasil. Oleh karena itu, biarlah kita jangan membunuhnya sesuai dengan permintaan Pendekar Suling Emas. Tanpa kita turun tangan lagi, kurasa dia pun akan mampus! Bergembira dan bersoraklah bahwa mulai detik ini kita terbebas daripada cengkeraman seorang jahat seperti Pouw-kai-ong!"

Ratusan orang pengemis baju kotor itu bersorak gegap-gempita. Ada pula yang berseru, "Hancurkan pengemis baju bersih!"

"Angkat Saudara Yu Kang menjadi ketua seluruh kai-pang!"

"Mari saudara-saudara, kita iringkan Saudara Yu Kang mengumpulkan semua pengemis baju kotor untuk membasmi pengemis baju bersih!"

Sorak-sorai makin menjadi-jadi dan ratusan pasang tangan diulur ke depan sehingga Yu Kang tak kuasa lagi mencegah para pengemis itu mendukungnya dan mengaraknya pergi dari situ sambil bersorak-sorak! Hanya beberapa orang pengemis tua yang tinggal untuk mengurus penguburan para korban dan merawat mereka yang terluka.

Suling Emas berdiri memandang semua ini dengan hati terharu. Ia kagum akan kegagahan Yu Kang yang biarpun kasar dan jujur, namun memiliki jiwa pendekar. Ia terharu menyaksikan jembel-jembel itu bersatu padu untuk membasmi penindas dan memperbaiki nasib, menggantungkan harapan mereka kepada Yu kang, satu-satunya pengemis yang boleh diharapkan akan dapat memimpin mereka, melepaskan diri daripada penindasan orang-orang jahat.

Setelah semua mayat dikubur dan para pengemis tua pergi membawa teman-teman yang terluka sehingga di situ sunyi sepi, Suling Emas kembali memandang tubuh Pouw Kee Lui yang masih menggeletak mandi darah. Suling Emas menarik napas panjang, lalu menyambar tubuh itu, membawanya ke dalam pondok. Ia merebahkan tubuh yang masih pingsan itu ke atas pembaringan, kemudian pergilah ia dari tempat itu. Belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang dan cepat ia menyelinap lalu mengintai. Kiranya beberapa orang wanita cantik dan beberapa orang laki-laki, semua berpakaian seperti pelayan-pelayan, berindap-indap memasuki pondok dari belakang. Ia kembali menghela napas. Kiranya orang she Pouw itu menjadikan pondok itu sebagai tempat istirahat dan bersenang-senang, ditemani beberapa orang wanita cantik dan mempunyai pelayan-pelayan secukupnya. Biarlah, biar mereka itu merawatnya. Suling Emas tidak jadi mencari daun obat di dalam hutan, menyerahkan nasib bekas Raja Pengemis itu kepada para selir dan pelayannya. Ia hanya mengharap mudah-mudahan pelajaran pahit itu tadi akan membuat Pouw-kai-ong menjadi bertobat.

Suling Emas melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja. Ia merasa girang mendengar percakapan rakyat yang merasa puas dengan adanya raja baru yang adil dan tidak suka menjalankan kekerasan terhadap rakyatnya. Ia tidak melihat perubahan apa-apa ketika pada keesokan harinya ia memasuki pintu gerbang kota raja, sehingga ia makin gembira. Ketika pertama kali ia masuk kota raja ketika ia menyusul suhunya, ia tidak mendapat kesempatan untuk melihat-lihat kota raja. Kini ia menggunakan kesempatan untuk keliling kota sehingga bertambah kegembiraannya menyaksikan keadaan yang makmur dan ramai.

Akan tetapi kegembiraan ini musnah seketika setelah ia mendengar berita tentang keluarga Suma. Ia mendengar berita bahwa Pangeran Suma Kong sudah pindah ke An-sui, kota yang menusuk perasaannya. Berita bahwa Suma Ceng telah menikah dengan seorang pangeran she Kiang yang menghancurkan hatinya. Bahkan ia mendengar bahwa Suma Ceng, bekas kekasihnya, kini hidup di lingkungan istana raja, bersama suaminya dan dua orang anaknya! Suma Ceng sudah menjadi isteri seorang pangeran dan malah sudah menjadi ibu dari dua orang anak!

Hancur hatinya, perih seperti tertusuk seribu batang jarum. Setelah mendapatkan keterangan ini, Suling Emas meninggalkan kota raja, berjalan di tengah malam buta sambil meramkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh berderai. Akhirnya ia berhenti di jalan yang sunyi, duduk di pinggir jalan, menyembunyikan mukanya di antara kedua lutut, jari-jari tangan mencengkeram rambutnya. Habislah sudah harapannya. Padamlah semua cahaya hidupnya. Apa lagi yang boleh dipandang? Kekasih pertama direnggut maut. Kekasih berikutnya direnggut laki-laki lain! Ayah kandung menikah lagi. Ibu kandung tak tentu rimbanya, mungkin sudah mati karena tidak pernah ia mendengar beritanya. Siapa lagi yang dapat dijadikan teman dalam hidupnya?

Kakeknya! Ya benar. Kakeknya masih ada. Kakeknya bukanlah sembarang orang. Kakeknya adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw, bahkan menduduki tempat tinggi di Kerajaan Nan-cao! Mengapa ia tidak pergi ke negara kakeknya? Siapa tahu kalau-kalau ibunya juga pulang ke sana? Selain menghubungi keluarga yang terdekat dan masih ada, juga ia maklum bahwa di sana ia akan dapat banyak belajar untuk memperdalam ilmunya. Gurunya sendiri seringkali bicara tentang Pat-jiu Sin-ong dengan penuh kagum.

Setelah duduk termenung dalam keadaan duka cita seperti itu sampai sinar matahari memerah menjelang fajar, Suling Emas mengangkat mukanya. Orang lain akan kaget kalau menyaksikan perubahan wajah pendekar ini. Tampak tua dan tidak ada lagi sinar pada mukanya. Hanya kemuraman yang tampak. Pandang matanya sayu.

Tiba-tiba ia meloncat bangun dan menyelinap cepat, bersembunyi di balik sebatang pohon besar di pinggir jalan. Biarpun keadaan hati Suling Emas sedang mengalami kehancuran dan dirinya tenggelam dalam duka nestapa, namun naluri kependekarannya tak pernah menjadi tumpul. Panca inderanya peka sekali dan gerakan tiga sosok bayangan yang berlari-lari keluar dari kota raja, menimbulkan kecurigaannya sehingga ia cepat-cepat bersembunyi untuk mengintai.

Tiga orang yang berlari amat cepat itu tidak berlari lagi, kini tampak berjalan sambil bercakap-cakap. Suling Emas cepat menyelinap dan mendekati mereka untuk mendengarkan. Setelah dekat, dari balik pohon melihat seorang nenek dan dua orang kakek. Nenek itu berwajah galak penuh keriput, memondong sebuah bungkusan kain kuningan dari sutera halus. Kakek pertama sudah tua, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, tubuh atasnya tidak berbaju. Serasa ia mengenal tiga orang tua ini, akan tetapi di mana ia pernah bertemu. Akan tetapi begitu mereka bertiga bercakap-cakap segera ia ingat.

"A-liong, kau yang paling kuat dan dapat menempuh perjalanan jauh, kau sajalah yang mengantarkan pangeran cilik ini kepada Ong-ya. Biar aku dan A-kwi menyambut para pengejar sehingga kau dapat pergi jauh takkan terkejar lagi," kata Si Nenek Tua.

"Betul ucapan Sam Hwa," kata kakek pertama yang bertongkat. "Langkahmu lebar daripada kami berdua, dan aku pun malas kalau harus berlari-lari dikejar-kejar seperti maling."

"Ihh..., aksinya! Memang kita bertiga maling, siapa tidak tahu?" bentak nenek itu sambil menyerahkan bungkusan sutera kuning kepada kakek tinggi besar yang disebut A-liong.

Kakek A-liong agaknya tidak senang dengan tugas ini, akan tetapi karena "kalah suara" ia menerima juga bungkusan itu. akan tetapi begitu bungkusan itu dipondongnya, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil yang nyaring sekali.

"Eh-eh, kau apakan dia? Sejak tadi diam saja, begitu kau sentuh lalu menangis!" kata Si Nenek Tua mengomel.

"Wah, celaka. Kalau menangis seperti itu tentu kau akan menjadi tontonan di sepanjang jalan," kata A-kwi. "Bagaimana kau akan menjawab pertanyaan orang-orang di jalan? Bahwa anak ini anak selirmu? Ataukah cucumu yang kematian ayah bundanya?"

Namun A-liong sudah menggigil ngeri, agaknya semua bulu di badannya berdiri semua ketika ia merasa betapa anak kecil meronta-ronta dan menjerit-jerit keras. Cepat ia mengulurkan tangan ke depan, memberikan bungkusan itu kembali kepada Sam Hwa sambil berkata,

"Tidak baik..., tidak baik...! Dalam pondongan tangan halus dia diam saja. Tanganku kasar, tidak sehalus tanganmu, Sam Hwa."

"Cihh! Omongan tua bangka tak bermalu!" kata Sam Hwa dengan muka agak merah sambil menerima kembali bungkusan sutera kuning yang ternyata berisi seorang anak kecil itu.

"Ha-ha-ha! Bukan karena tanganmu kasar, A-liong, melainkan bau keringatmu yang terlalu keras sehingga anak itu tidak tahan!" A-kwi menggoda.

Suling Emas mengenal tiga orang ini sebagai pelayan-pelayan Kong Lo Sengjin! Setelah ia mendengar percakapan mereka, ia menjadi kaget sekali. Sam Hwa si nenek tua tadi menyebut "pangeran cilik" yang harus diantarkan kepada Ong-ya! Keonaran apalagi yang akan dilakukan Kong Lo Sengjin dan anak buahnya? Mereka itu bicara tentang pengejaran. Tak salah lagi, tentulah mereka bertiga menculik pangeran kecil itu dari dalam istana raja atas perintah Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh. Teringat akan percakapan rakyat yang memuji-muji kaisar baru dari Kerajaan Sung, Suling Emas segera mengambil keputusan untuk menolong anak kecil itu.

Dengan gerakan ringan sekali Suling Emas melompat dan melayang keluar dari tempat sembunyinya, tangan kirinya langsung menerjang dengan serangan maut ke arah kepala Sam Hwa. Serangan ini sengaja ia lakukan dengan pengerahan tenaga sehingga terdengar suara angin bersiut menyambar. Sam Hwa terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat pandai, maklum ia bahwa bayangan yang menyambar dan menyerangnya ini melakukan serangan maut yang berbahaya. Maka cepat ia membuang diri ke belakang sambil mengangkat tangan kanan melindungi kepala. Akan tetapi pada saat itu, bocah yang dipondongnya telah diserobot penyerang itu yang menggunakan tangan kanan menotok pundaknya lalu merampas bungkusan sutera kuning. Tak dapat Sam Hwa mencegah perampasan ini karena totokan pada pundak itu melumpuhkan lengan kirinya yang memondong. Di lain saat, Suling Emas sudah melompat ke belakang, bocah dalam selimut kuning itu dalam pondongannya. Bocah itu menangis lagi, lebih nyaring daripada tadi!

"Kembalikan anakku...!" Sam Hwa memekik marah. Setelah melihat bahwa yang merampas bocah itu bukan seorang pengawal istana, melainkan seorang bocah laki-laki muda berpakaian seperti sastrawan, Sam Hwa tidak ragu-ragu untuk mengakui pangeran cilik itu sebagai anaknya!
A-liong dan A-kwi juga melangkah maju dengan sikap mengancam. "Kurang ajar, berani sekali kau merampok anak orang di tengah jalan?"

Suling Emas tersenyum mengejek. "Bibi Sam Hwa, kau yang sudah nenek-nenek mana mungkin mempunyai anak yang masih begini kecil? Paman A-liong dan Paman A-kwi, sesungguhnya siapa yang merampok anak orang? Kalian bertiga ataukah aku? Aku tidak merampok Pangeran Kecil ini, melainkan hendak mengembalikannya di tempat yang semestinya, yaitu di dalam istana."

Tentu saja tiga orang tua itu kaget sekali. Tiga buah nama tadi adalah nama kecil mereka, yang hanya mereka ketahui, tak pernah diperkenalkan keluar. Bagaimana orang muda ini bisa mengenal mereka? Biarpun mereka bertiga itu kini bekerja sebagai pelayan, namun sesungguhnya mereka bukan orang biasa. A-liong dan A-kwi adalah bekas perwira-perwira tinggi di bawah Kong Lo Sengjin, sedangkan Sam Hwa juga seorang ahli silat tinggi, janda seorang panglima seangkatan dengan dua orang temannya itu. Mereka ini tetap setia kepada Kong Lo Sengjin.

Karena maklum bahwa orang muda itu sudah mengetahui rahasia mereka, maka Sam Hwa yang lebih pandai bicara segera bertanya,

"Orang muda, siapakah kau yang berani mencampuri urusan pribadi kami? Andaikata benar kami menculik seorang Pangeran Kecil, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"

"Bibi Sam Hwa dan kedua Paman A-liong dan A-kwi. kukira tidak perlu lagi berpura-pura. Kalian bertiga sudah pernah bertemu denganku, hanya agaknya kalian sudah lupa lagi. Akan tetapi aku tahu bahwa kalian adalah anak buah Kong Lo Sengjin, dan bahwa anak itu adalah seorang pangeran yang kalian culik dari istana atas perintah Kong Lo Sengjin. Secara pribadi memang urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi setelah mempelajari ilmu, apa gunanya kalau tidak untuk menumpas perbuatan buruk? Aku tidak ingin bermusuh dengan kalian yang pernah bersikap baik kepadaku, akan tetapi aku pun tidak bisa membiarkan kalian menculik anak orang semaunya. Apalagi untuk dibawa ke depan Kong Lo Sengjin yang kejam. Aku harus mengembalikan anak ini kepada orang tuanya."

Sejenak tiga orang tua itu tertegun, terbelalak dan tidak dapat bicara saking kaget dan herannya. Akhirnya Sam Hwa bertanya, suaranya agak gemetar,

"Siapakah kau? Pengawal istana? Siapa?"

Suling Emas menggeleng kepala dan tersenyum. "Kalian sudah terlalu tua sehingga pikun. Mengapa masih mau saja diperalat Kong Lo Sengjin untuk melakukan hal-hal yang tidak baik? Seyogianya orang-orang setua kalian ini menenteramkan pikiran membersihkan hati menanti kematian."

"Eh, bocah gila! Lancang mulutmu!" bentak A-liong sambil melangkah maju.

"Tak peduli ia pengawal atau bukan, anak itu hars kita rampas kembali. Serbu!" bentak pula A-kwi sambil menggerakkan tongkatnya.

Karena merasa bahwa rahasia mereka telah terbuka dan jelas bahwa orang muda itu tidak mau mengembalikan pangeran kecil yang mereka cuik, tiga orang ini serentak menyerang Suling Emas dengan gerakan yang dahsyat. Sambil menyerang, mereka berusaha merampas anak kecil dalam pondongan Suling Emas yang masih terus menangis keras. Kalau A-kwi mempergunakan senjata tongkat, A-liong dan Sam Hwa masing-masing menggerakkan sebatang pedang tipis. Serangan mereka cepat dan mengandung tenaga yang hebat.

Namun tiba-tiba mereka terkejut dan menjadi silau pandang matanya oleh sinar kuning emas yang bergulung-gulung dan melingkar-lingkar. Dalam saat berikutnya, serbuan tongkat dan dua batang pedang sudah terlempar jauh dan ketiga orang anak buah Kong Lo Sengjin itu terpekik kesakitan, melompat mundur dan memegangi tangan kanan yang terasa kaku nyeri dengan tangan kiri. Terbelalak kagum mereka berdiri memandang Suling Emas yang kini berdiri dengan tangan kiri memondong anak kecil, tangan kanan memegang sebatang suling yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.

"Suling Emas...!!"

Hampir berbareng mereka berseru ketika melihat suling itu. sebagai pembantu-pembantu kepercayaan Kong Lo Sengjin, tentu saja mereka mengenal benda ini yang selalu berada bersama sastrawan Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to, biarpun mereka jarang datang ke pulau itu.

Suling Emas menjura sambil tersenyum. "Memang itulah namaku, dan mengingat akan kebaikan mendiang Adik Kwee Eng dan mendiang ibunya, biarlah kuhabiskan sampai di sini saja kesalah fahaman ini. Selamat tinggal!!" Setelah berkata demikian, Suling Emas berkelebat cepat, lari ke jurusan kota raja.

Tiga orang tua itu bengong terlongong. Barulah kini mereka teringat bahwa orang muda yang sakti itu bukan lain adalah anak laki-laki yang pernah minta pekerjaan kepada mereka sekedar untuk makan. Anak laki-laki yang kemudian menjadi murid Kim-mo Taisu yang kabarnya mampu mengimbangi kesaktian Kong Lo Sengjin sendiri. Akan tetapi muridnya itu? Benar-benar tak pernah mereka menyangkanya. Karena maklum bahwa mereka bukanlah tandingan orang muda itu, mereka menganggap bahwa tugas mereka telah gagal dan kembalilah mereka ke Pek-coa-to.

Hati Suling Ema merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu tidak dapat mengejarnya. Akan tetapi ia risau melihat anak kecil yang terus menangis dalam pondongannya.

"Sssstttt, diam...! Diamlah, anak manis...!" Ia membuka selimut kuning itu sehingga terbuka dan tampak muka anak yang amat molek dan manis, yang kini mukanya merah karena banyak menangis. Mata yang bening itu memandang penuh selidik ke arah wajah Suling Emas.

"Nah, begitu anak baik, anak manis! Jangan menangis, ya? Kubawa engkau kembali kepada ayah bundamu...!" Suling Emas menarik muka manis dan ucapannya halus. Anak itu mengedip-ngedip, terheran, akan tetapi tidak menangis lagi. Anak berusia kurang lebih dua tahun itu agaknya dapat merasa bahwa ia berada dalam tangan yang aman.

Belum juga sampai di pintu gerbang kota raja, serombongan penunggang kuda terdiri dari tujuh orang, berpakaian sebagai pengawal-pengawal istana, membalapkan kuda keluar dari pintu gerbang dan ketika bersimpang jalan dengan Suling Emas, rombongan ini segera menahan kuda, lalu melompat turun dan berteriak kepada Suling Emas,

"Hee, berhenti dulu!"

Suling Emas berhenti, maklum bahwa pengawal-pengawal itu tentulah pasukan dari kota raja yang bertugas mengejar penculik pangeran. Ia bersikap tenang saja dan memondong anak itu ditangan kirinya, ia membalikkan tubuh menghadapi mereka.

"Kalian mau apa menahan orang berjalan?" tanyanya tenang.

Tujuh orang pengawal itu memandang ke arah anak kecil dalam pondongannya dan serentak mereka berseru girang.

"Itu dia...! Itu dia Sang Pangeran...! Lihat pakaiannya, selimutnya....!"

Pemimpin rombongan yang berkumis lebat segera melangkah maju, mukanya membayangkan kemarahan, keningnya berkerut-kerut, lalu membentak,

"Heh, orang muda! Engkau benar-benar berani mati menculik putera Sri Baginda! Tak tahukah kau bahwa saat ini ratusan orang pengawal dan pasukan keamanan berpencar di seluruh tempat untuk mencarimu? Hayo kau lekas..."

"Ssstttt....!!" Suling Emas menggerakkan bibirnya meruncing sambil menimang-nimang anak yang mulai menangis lagi itu.

"Ah, dasar engkau manusia kasar! Lihat, kalian membuat dia menangis lagi! Tidak tahukah kalian bahwa dia tidak suka akan suara berisik? Bersikaplah tenang agar jangan membuat dia takut!!"

Seketika berubah sikap komandan pasukan kecil itu. ia memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya agar tidak membuat gaduh dan dia sendiri pun melakukan perintah dengan suara bisik-bisik! Hal ini terjadi karena mereka itu mengingat bahwa anak dalam gendongan orang muda itu adalah seorang pangeran, putera Sri Baginda sendiri! Kalau anak itu menangis karena mereka dan hal itu terdengar oleh Sri Baginda, tentu mereka celaka! Lucu sekali gerak gerik mereka itu. Lebih-lebih ketika mereka melihat anak itu terus menangis keras, mereka menjadi bingung. Suling Emas sendiri yang menimang-nimang dan menghibur-hibur, sampai penuh keringat mukanya. Bingung ia menghadapi seorang anak kecil yang rewel ini. Akhirnya, saking bingungnya, ia mengambil sulingnya dan meniup suling itu dengan tangan kanan.

Seketika anak itu berhenti menangis. Dengan mata bening dan pipi basah air mata, anak itu memandang Suling Emas. Ketika Suling Emas meniup sulingnya dengan nada naik turun, anak itu tertawa! Suling Emas gembira dan tujuh orang pengawal juga ikut tertawa!

"Kalian jangan banyak ribut. Aku justeru hendak membawa pulang anak ini ke kota raja. Bukan aku penculiknya, melainkan tiga orang jahat. Aku berhasil merampas anak ini dari tangan mereka. Awas, jangan banyak ribut, kalau kalian ribut-ribut lagi dan anak ini menangis, jangan tanya dosa!"

Suling Emas dengan gerakan sembarang memukulkan sulingnya pada sebatang pohon sebesar paha orang dan... pohon itu tumbang! Pucatlah wajah tujuh orang itu. mereka mengangguk-angguk dan ketika Suling Emas melanjutkan perjalanannya ke arah kota raja, tujuh orang itu mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda. Melihat betapa orang muda itu membawa Sang Pangeran benar-benar menuju ke kota raja, hati mereka lega.

Suling emas terpaksa berjalan sambil meniup sulingnya, karena anak itu menangis saja kalau tidak ditiupkan suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika rombongan pengawal kedua yang terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan turun dari kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan... rombongan kedua ini pun segera mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda masing-masing. Makin lama, makin banyaklah terdapat pasukan berkuda dan berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu gerbang kota raja, penduduk besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke istana! Suling Emas yang berjalan didepan, enak-enak dan tenang-tenang saja memondong Sang Pangeran sambil membunyikan suling.

Tentu saja ia diterima oleh Kaisar sendiri dengan pengawalan ketat. Orang masih belum tahu macam apa orang muda yang membawa pulang Sang Pangeran yang hilang, maka penjagaan diperkuat dan keselamatan Kaisar dilindungi oleh para panglima. Namun, Suling Emas bukanlah merupakan pribadi yang menimbulkan kecurigaan atau kekhawatiran. Ia hanya seorang muda dua puluhan tahun usianya, berwajah tampan bersikap tenang dengan mata sayu dan muka muram.

Sebagai seorang terpelajar, Suling Emas tahu akan kesopanan. Di depan Kaisar dia menjatuhkan diri berlutut, kemudian tanpa mengangkat muka dia menuturkan pertemuannya dengan tiga orang tua yang membawa Sang Pangeran, kemudian ia menceritakan betapa ia berhasil merampas kembali Sang Pangeran dan membawanya langsung ke istana. Setelah berkata demikian, ia mengulurkan kedua tangan yang memondong anak kecil itu. Kaisar memberi isyarat kepada seorang dayang yang segera menerima anak itu dari tangan Suling Emas. Akan tetapi anak kecil itu menjerit dan menangis, tidak mau terlepas dari tangan Suling Emas!

Timbul sedikit kegaduhan dan Kaisar sendiri sampai tertawa saking gembiranya melihat puteranya pulang dengan selamat. Akhirnya, permaisuri sendiri, ibu anak itu yang ikut hadir menjemput puteranya, yang maju dan barulah anak itu mau dipondong ibunya. Akan tetapi mulutnya masih mewek-mewek dan telunjuknya masih menuding-nuding ke arah Suling Emas.

"Ha-ha-ha!" Sri Baginda tertawa bergelak setelah permaisuri membawa puteranya masuk, diikuti para dayang cantik-cantik yang melempar kerling dan senyum manis kepada Suling Emas yang tampan dan yang dianggap seorang gagah yang berjasa besar.

"Kau seorang pemuda yang luar biasa! Kami sudah mendengar betapa engkau membawa kembali putera kami sambil bermain suling, diikuti ratusan orang pengawal dan penduduk. Kemudian putera kami juga sukar mau melepaskan engkau. Sungguh menggembirakan. Eh, orang muda yang gagah perkasa, engkau siapakah?"

Suling Emas berlutut memberi hormat lalu menjawab, "Mohon beribu ampun, Tuanku Kaisar. Hamba sendiri sudah lupa akan nama hamba, akan tetapi karena hamba memiliki benda ini dan suka sekali meniupnya, maka hamba disebut orang dengan nama Suling Emas. Hamba tidak mempergunakan nama lain."

Suasana hening ketika semua panglima dan pembesar bersama Kaisar mendengarkan jawaban orang muda itu. Tempat itu segera penuh dengan suara berbisik-bisik karena semua orang merasa heran mendengar jawaban sepeti ini. Namun, Kaisar pertama dari Kerajaan Sung adalah bekas seorang panglima besar, seorang yang sudah banyak bertemu dengan petualang-petualang dan pengelana-pengelana di dunia kang-ouw yang aneh. Kaisar tidak menjadi heran, lalu berkata penuh wibawa,

"Suling Emas, angkatlah mukamu dan biarkan kami melihat wajahmu!"

Suling Emas tidak berani membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar menatap wajah yang tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda,

"Semuda ini sudah mengalami hal sehingga benci akan kenangan-kenangan lalu dan membuang nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah agar enak kami bicara."

Dengan gerakan amat hormat Suling Emas bangkit berdiri. Kembali Kaisar memandang tajam dan mengagumi bentuk tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa suka kepada orang muda ini dan ia berkata,

"Suling Emas, kami telah berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil menyelamatkan putera kami, jasamu besar sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"

"Ampun, Tuanku. Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba tidak mengaharapkan hadiah apa-apa."

Makin suka hati Kaisar mendengarkan jawaban ini. Ia tertawa, "Kau seorang muda yang gagah perkasa dan berhati bersih. Kami percaya bahwa engkau tidak mengaharapkan hadiah, Suling Emas. Akan tetapi saking gembira dan berterima kasih hati kami, kami ingin memberikan hadiah yang patut bagimu. Bagaimanakah kalau engkau kami angkat menjadi kepala pengawal dalam istana? kami sekeluarga akan merasa tentram dan aman apabila engakau menjadi kepala pengawal disini."

"Mohon Paduka sudi memberi ampun. Hamba seorang perantau yang lebih senang hidup bebas di alam terbuka, tidak berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."

Kaisar diam sejenak, berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi, "Memang manusia segolonganmu amat aneh. Pernah kami bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh wataknya."

Kaisar tidak tahu betapa di dalam hatinya, Suling Emas berdebar-debar mendengar nama mendiang suhunya disebut-sebut.

"Maka kami serahkan kepadamu sendiri Suling Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah, apa yang dapat kami lakukan untukmu sekedar untuk membuktikan bahwa kami amat berterima kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak, hati kami akan merasa tidak enak dan tidak senang."

Suling Emas sudah banyak mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia umum. Tentu ingin membalas rasa syukur dan hutang budi, baru lega hatinya.

"Baiklah, Tuanku Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila Paduka sudi mengijinkan hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama sekali di perpustakaan istana. Hamba... adalah seorang kutu buku, dan... hamba mendengar betapa perpustakaan istana amatlah lengkap. Hamba ingin membaca kitab sebanyak-banyaknya."

"Ha-ha-ha!"

Kaisar tertawa bergelak, dan semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak hanya karena latah, melainkan juga karena memang geli mendengar orang muda itu memilih hadiah seperti itu.

"Boleh! Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada semua petugas dalam istana dan kepada penjaga perpustakaan, mulai saat ini Suling Emas boleh masuk keluar dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha! Selain itu, Suling Emas. Apa lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi. Pilihlah!"  

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang