Jilid 5

2.1K 45 0
                                    

"Kwe-koko..."

"Hemm, ada apakah...?"

"Kau lihat aku. Tidak enak bicara dengan orang yang tunduk saja. Apa kau tidak sudi memandang mukaku lagi?"

Mau tidak mau Kwee Seng menoleh dan wajahnya seketika menjadi merah ketika ia melihat wajah gadis itu berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan cahaya yang bersinar tajam menembusi jantungnya, yang seakan-akan mengandung penuh pengertian, yang menjenguk isi hatinya sehingga Kwee Seng merasa seperti ditelanjangi, seperti telah terungkapkan semua rahasia perasaan dan hatinya.

"Sian-moi, (adik Sian), kau mau bicara apakah?" Kwee Seng mengeraskan hatinya, menekan perasaan.

"Kwee-koko, kau telah jatuh hati kepadaku, bukan ? Kau mencintaiku sepenuh hatimu!"

Sejenak Kwee Seng menjadi pucat wajahnya. Bukan main, pikirnya. Gadis ini benar-benar berwatak siluman ! Pertanyaan macam gini benar-benar tak mungkin diajukan oleh gadis manapun juga. Ia tahu bahwa pertanyaan ini disengaja oleh Lu Sian, dan ia maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor kucing, hendak mempermainkannya seperti seekor tikus. Ia merasa betapa jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee Seng adalah pemuda gemblengan. Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan mukanya berubah merah kembali.

"Tak perlu aku menyangkal, Moi-moi. Aku memang jatuh hati kepadamu. Kau terlalu cantik jelita, pribadimu mengeluarkan daya tarik seperti besi sembrani yang tak dapat kulawan. Kini aku balas bertanya, apakah kau tidak mencintaiku?"

Lu Sian kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini menggerak-gerakkan kepalanya, matanya bersinar-sinar dan ia tertawa sambil menengadahkan muka ke atas.

"Aku ? Mencintaimu ? Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku takkan begitu tergesa-gesa seperti engkau mengambil keputusan tentang cinta. Belum cukup lama aku mengenalmu. Kau terlalu lemah lembut, terlalu muram. Biarlah aku mempelajarimu lebih dulu. Bukankah ayah telah memberi kesempatan kepadamu untuk mengawiniku, mengapa kau menolak dan malah berjanji akan menurunkan ilmu kepadaku?"

"Aku memang cinta kepadamu, Sian-moi, akan tetapi tentang kawin... ah, terlalu banyak aku melihat kekejian-kekejian di Beng-kauw, terlalu banyak aku melihat keganjilan-keganjilan yang mengerikan. Dan kau sendiri.... ah, kurasa takkan mungkin kau bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta pribadimu, tapi mungkin aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!"

Kembali Lu Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kwee Seng makin heran. Benar-benar gadis yang aneh. Aneh dan berbahaya sekali. Ia tadi sengaja berterus terang untuk membalas agar gadis ini merasa terpukul. Akan tetapi kiranya gadis itu malah mentertawakannya.

"Hi-hik, kau lucu, Kwee-koko. Aku pun belum percaya akan cintamu kalau kau belum buktikan dengan berlutut menyembah-nyembah kakiku!"

Setelah berkata demikian, gadis itu berseru keras dan menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu terkejut dan membalap ke depan. Kwee Seng terheran-heran, lebih heran daripada terhina oleh ucapan aneh itu, akan tetapi ia merasa lega bahwa gadis itu mengakhiri percakapan yang menyakiti hatinya, maka ia pun lalu membedal kudanya mengejar, memasuki kota Kwei-siang. Hari telah menjelang senja ketika mereka berdua memasuki kota Kwei-siang. Mereka mencari sebuah rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di bagian depan.

Seorang pelayan penginapan tergopoh-gopoh menyambut mereka, merawat kuda dan memberi dua buah kamar yang mereka minta. Setelah ke dua orang muda ini membersihkan diri daripada debu dan keringat, berganti pakaian bersih, mereka lalu mengambil tempat duduk di rumah makan dan memesan makanan. Kwee Seng yang masih belum lenyap rasa tekanan hatinya, lebih dulu memesan seguci arak yang paling baik.

"Wah, kau mau mabok-mabokan lagi Koko ? Benar-benar menjengkelkan ! Aku malam ini ingin sekali bercakap-cakap denganmu sampai semalam suntuk!"

Sambil menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng menjawab, memaksa senyum, karena kadang-kadang, seperti sekarang ini sikap Lu Sian yang kekanak-kanakan mengelus dan menghibur hatinya, melenyapkan rasa sakit akibat ucapan-ucapan yang menusuk dari gadis itu pula.

"Biarpun minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja hinggap padaku semenjak aku berjumpa denganmu, Moi-moi, akan tetapi aku tak akan begitu mudah mabok. Bercakap-cakap sambil minum kan dapat juga."

"Ihhh, siapa bilang ? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau lebih mencurahkan perhatianmu pada arak, dan.. eh, koko, lihat mereka itu..." Tiba-tiba Lu Sian menghentikan kata-katanya ketika melihat beberapa orang laki-laki muncul seorang demi seorang dari pintu depan dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.

Yang pertama masuk adalah seorang laki-laki yang berwajah muram, mukanya licin tidak berjenggot, pakaiannya kumal, di punggungnya terselip sebatang golok telanjang, usianya kurang lebih empat puluh tahun. Orang ini berjalan dengan gerakan kaki ringan seperti seekor kucing, dan ketika memasuki pintu, matanya mengerling ke arah tempat duduk Kwee Seng dan Lu Sian. Karena Kwee Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian yang berhadapan dengannya lebih dulu melihat dan tertarik. Apalagi ketika berturut-turut masuk lima orang laki-laki lain di belakang Si Pembawa Golok. Dua orang berpakaian tosu (pendeta To), seorang laki-laki setengah tua yang tampan dengan rambut digelung ke atas, kemudian seorang pemuda tampan yang pakaiannya seperti pelajar akan tetapi di pinggangnya tergantung pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio (pendeta Buddha) berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi yang berat. Enam orang ini terang bukanlah orang-orang sembarangan karena gerak-gerik mereka ringan dan gesit.

"Koko, kau lihat mereka..." bisik pula Lu Sian.

"Moi-moi, mari kita minum, hal-hal lain tidak perlu dihiraukan." Kata Kwee Seng yang sikapnya tetap tenang seakan-akan tidak ada apa-apa, kemudian pemuda ini minum araknya dari cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tahu-tahu sudah mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja.

Liu Lu Sian tersenyum dan kembali memperhatikan makanan yang tersedia diatas meja tanpa menghiraukan orang-orang itu. Ia maklum bahwa tanpa ia peringatkan, Kwee Seng juga sudah tahu akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia kagum akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala macam ancaman, lebih baik bersikap tenang sehingga dapat menentukan sikap dengan tepat. 

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooDonde viven las historias. Descúbrelo ahora