2 :: Lo bukan penjahat.

15.2K 1.5K 29
                                    

But if you feel like I feel. Please let me know that it's real.

Can't tak my eyes off of you - Joseph Vincent

***

Nadi membasuh wajahnya di wastafel dalam toilet cewek. Dia mengangkat wajahnya lalu menatap wajahnya sendiri di kaca. Jangan pikir Nadi adalah cewek cabe dengan bedak setebal tembok dan make up menor. Tidak, Nadi tidak seperti itu, baju dan roknya memang agak dia kecilkan, tapi menggunakan bedak tebal dan kawan-kawannya adalah hal yang anti bagi Nadi. Kalau pun Nadi dikategorikan sebagai 'Cewek Cabe' maka dia adalah 'Cabe Berkelas'.

Nadi tersenyum sinis melihat wajahnya sendiri di kaca itu. “Nadi? Kenapa gue jadi aneh gini,” dia menggeleng pelan, “lo itu Mira, bukan Nadi!” katanya sambil menunduk.

Pintu toilet cewek terbuka, seorang cewek yang seangkatan dengan Nadi masuk ke dalam. Nadi buru-buru mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Cewek itu menatap Nadi beberapa saat. Geram, akhirnya Nadi buka suara. “Apa lo liat-liat? Iri sama kecantikan gue?”

Cewek tersebut mendengus, Nadi memang sombong, dia lalu melanjutkan langkahnya menuju salah satu bilik toilet. Gantian Nadi yang mendengus, dia merapihkan penampilannya lalu berjalan keluar dari toilet.

Saat berjalan di koridor yang sepi, Nadi berpapasan dengan Aurell yang berjalan berdampingan dengan seorang cewek—terpaksa Nadi akui—imut bernama Nacita Aura. Nadi berniat untuk melewatinya saja, seperti biasa. Namun, tanpa dia sangka Aurell malah menahan tangannya. Nadi berhenti, lalu menghentakan tangannya kasar seolah jijik tangannya disentuh oleh Aurell.

Aurell mendesah pasrah. “Kita perlu bicara,” kata Aurell lembut.

Nadi mengernyit sinis. “Bicara? Sama lo? Gue nggak salah denger, nih?”

“Plis,” Aurell memohon.

Nadi mendengus kasar. “Nggak level gue bicara sama lo,”

BUGH!

“Awh!” Nadi jatuh tersungkur akibat dorongan kuat dari gadis imut bernama Cita itu. Gila, imut-imut ternyata bar-bar! Gerutu Nadi dalam hati.

Nadi segera berdiri dan balas mendorong Cita. “Apaan lo! Sok jago banget jadi cewek!”

Cita terdorong ke belakang, tapi tidak terjatuh. “Lo yang sok! Sok populer! Sok berkuasa! Aurell tuh ngomong baik-baik!” serunya.

“Gue emang populer dan berkuasa, lo nggak tau? Kampungan banget sih! Dan omong-omong, mau dia bicara baik-baik atau pun enggak, bukan urusan gue. Kalo guenya nggak mau, dia nggak perlu maksa dong!” Nadi balas berseru, melupakan fakta bahwa bel masuk telah berbunyi dari beberapa saat yang lalu.

Cita terdiam, dia kehabisan argumen. Hingga akhirnya Aurell menyentuh bahunya untuk menenangkannya. Walaupun hati Aurell sakit karena dikatai oleh Nadi, dia tidak apa-apa. Hatinya justru akan lebih sakit jika ada yang mengatai Nadi.

Lalu Aurell kembali menatap Nadi. “Plis,” mohonya lagi.

Nadi memutar bola matanya. “Fine! Pulang sekolah di taman belakang, lima menit lo nggak muncul, gue pulang.” dan Nadi segera meninggalkan Aurell yang terdiam serta Cita yang menggeram kesal.

Aurell meremas pelan bahu Cita lalu saat Cita menatapnya, dia menggeleng, mengisyaratkan bahwa kelakuan Nadi tadi tidak usah diambil hati. Cita hanya menghela napas berkali-kali lalu kembali berjalan bersama Aurell menuju kelas mereka.

Saat sampai di kelasnya, Nadi membuka pintu dan langsung berjalan menuju bangkunya tanpa memperdulikan tatapan kesal orang-orang di kelasnya termasuk seorang guru yang tengah menjelaskan materi. Nadi duduk di bangkunya dengan cuek, dan guru itu hanya bisa menghela napas lalu melanjutkan tugasnya mengajari siswa-siswi di kelas ini seolah Nadi yang masuk tiba-tiba tadi tidak pernah terjadi.

Diary Of The Antagonist Where stories live. Discover now