21 :: Belajar merelakan.

10.7K 1.1K 48
                                    

I know you're thingking I'm heartless. I know you're thingking I'm cold. I'm just protecting my innocence. I'm just protecting my soul.

Too good at goodbyes - Sam Smith.

***

Nadi mendengus keras sambil berjalan di koridor yang sepi karena bel sudah berbunyi lima menit yang lalu. Kakinya berhenti melangkah, Nadi menoleh ke belakang dan menatap tajam Aurell serta Cita yang berdiri tidak lebih dari 5 meter di belakangnya.

“Gue udah bilang nggak usah ngikutin gue.” kata Nadi datar.

Aurell mendekat. “Tapi, Nad, lo itu belum sehat! Dokter sendiri yang bilang sama gue, coba deh sekali-sekali berhenti jadi gadis kepala batu.”

Iya, Nadi memang memutuskan untuk keluar dari rumah sakit walaupun dia sendiri tahu kondisinya belum bisa dikatakan baik. Tapi Nadi benar-benar jenuh di rumah sakit, apalagi sudah seminggu lebih dia tidak masuk sekolah tanpa keterangan.

“Gue udah sehat, udah pergi sana ke kelas kalian, jangan ngintilin gue kayak anak ayam.” dusta gadis bermata biru itu.

Cita menggeleng. “Nadiaaa, lo sadar nggak sih muka lo itu pucet banget kayak mayat? Kita tuh cuma nggak mau lo kenapa-kenapa.”

Wajah Nadi semakin datar. “Dengan kalian yang kayak gini, justru gue ngerasa kalian lagi ngasihanin gue. Gue nggak suka!”

“Nad! Kita cuma nggak mau lo kenapa-kenapa!” Aurell membalas.

Mata Nadi beralih pada Aurell. “Sekali gue bilang nggak suka, berarti gue nggak suka, Rell! Berhenti ngikutin gue!”

Nadi langsung melangkah menuju kelasnya tanpa memperdulikan Aurell dan Cita yang memanggilnya. Dia tahu Aurell dan Cita peduli, tapi dia benar-benar merasa dikasihani, Nadi sangat tidak suka dengan perasaan itu.

Nadi membuka pintu kelas seperti biasa. Tidak ada guru, dan kini semua mata memandangnya, termasuk Iyan yang biasanya cuek dengan kedatangannya. Ada sedikit desiran di hati Nadi saat menyadari hal itu. Dia tahu, dia sedikit berhasil menarik perhatian Iyan.

Nadi melepas tasnya dan duduk di kursi saat Candra menghampirinya. Diam-diam gadis itu menarik napas, belum juga sakit di kepalanya hilang dan kini dia harus menambah sakit kepala itu dengan omelan Candra.

Mata Nadi menutup sekilas kemudian dia mendongak menatap Candra. Tadinya Nadi pikir Candra akan menghamtamkan buku absen di mejanya, atau setidaknya menjambak rambutnya.

Tapi yang terjadi Candra hanya diam menatap Nadi datar, walaupun ada sedikit binar heran di mata Candra. Mungkin bingung dengan wajah Nadi yang benar-benar pucat.

“Apa?” tanya Nadi ketus, risih dengan tatapan Candra.

Candra mendengus. “Gue pikir lo nggak bakalan masuk sekolah lagi. Tapi bagus deh lo masuk, biar gue bisa cepet sampein, lo dipanggil ke ruang kepala sekolah.” sedikit senyum sinis penuh kemenangan tersungging di bibir Candra.

Nadi hanya mengangkat bahu. “Oke.”

Candra kembali mendengus kemudian meninggalkan Nadi di bangkunya.

Rasanya Candra baru saja pergi tapi kemudian Iyan sudah berdiri di sampingnya. “Ayok.” ucapnya.

“Apa?” kening Nadi menyatu.

“Ke ruang kepsek, sekalian ngumpulin tugas.”

Nadi merasa baru saja disetrum alat kejut jantung. Tentu saja dia sangat senang dengan tawaran itu. Sejujurnya tadi Nadi tidak langsung berdiri karena rasa sakit dikepalanya semakin parah saja. Tapi mendengar tawaran Iyan dia langsung memaksakan diri untuk berdiri.

Diary Of The Antagonist Where stories live. Discover now