Satu

216 7 1
                                    

Entakan sepatu pentofel dan deheman berat membuat seorang gadis dengan blazer hitam menghentikan coretan di block notes-nya.

"Bukannya Ibu tadi yang terakhir?" Gadis itu mengernyit lantas berbalik sambil menyibakkan rambut hitam pekat panjangnya. Senyumnya terkembang ketika seorang laki-laki semampai berbaring di atas sofa relaksasinya.

Ariana Lavana, psikolog yang baru beberapa bulan membuka praktek tersebut menggeleng sambil berkacak pinggang. Alih-alih menolak pasien yang  satu ini, Anna--panggilannya--malah mendekatinya lantas bersiap melayani.

"Keluhan anda?" sebelah ujung bibirnya  terangkat sebelah.

"Akhir-akhir ini saya mulai stress, Madam," tutur laki-laki yang memiliki potongan rambut quiffblowback itu dengan mata terpejam.

"Stress? Apakah pekerjaan Anda berat akhir-akhir ini? Bagaimana dengan pola tidur anda?"

Laki-laki itu hanya menggeleng pelan.

"Lalu?"

"Calon istri saya," sahut laki-laki berkemeja linen hitam lengan panjang tersebut, sementara kaki jenjangnya dibalut celana keeper hitam.

"Really?" keningnya mengerut. "Memangnya apa yang dilakukan calon istri anda sampai-sampai membuat anda stress?"

"Dia... lari-lari di pikiran saya terus."

Anna terbelalak. "Oh, ya ampun." Lantas menutup mulutnya yang ternganga. "Seberapa sering Ia berlari-lari dalam pikiran anda? Pasti dia gadis yang sangat istimewa, bukan? Sampai-sampai anda tidak bisa melupakannya barang sebentarpun. Anda sangat mencintainya?"

Laki-laki itu membuka kedua matanya, "Sangat. Bahkan saya mencintainya lebih dari diri saya sendiri." Tak sekalipun sorot matanya lepas dari gadis di hadapannya.

"Really? Apa kaujuga rela memberikan nyawamu kepadanya?"

"Memangnya dia pesugihan yang butuh nyawa manusia?"

Anna terkikik. "Lantas apa yang sudah kauberikan padanya? Sebagai bukti bahwa kau sangat mencintainya?"

"Saya menemaninya berbelanja dari satu outlet ke outlet yang lain demi mendapatkan pakaian yang pas. Saya juga membiarkannya kembali ke outlet pertama setelah berkeliling."

Anna melepaskan tawa yang sedari tadi berusaha ditahannya.

"Jadi kamu kesal kalau aku berbelanja?" tanyanya seraya beranjak dari tempat duduknya untuk membereskan barang-barangnya.

"Aku nggak pernah bilang begitu lho," kata Ethan akhirnya membuka matanya dan duduk di sofa tersebut sambil memerhatikan aktivitas Ariana.

"Pada dasarnya kita menginginkan yang terbaik, 'kan? Apa salahnya memilih. Jika pada akhirnya yang terbaik ada di awal, mengapa tidak, kembali di  titik awal?" jelasnya.


"Tapi itu membuang-buang waktu dan tenaga!" bantah Ethan.

Anna refleks berbalik dan mengadang Ethan dengan pandangan menusuk.

"Untuk sesuatu yang baik memang dibutuhkan pengorbanan."

Ethan menyandarkan punggungnya ke sofa, "Berdebat denganmu memang bukan pilihan yang tepat."

Anna menaikkan alisnya sebelah. "Begitu, ya?!"

"Jadi, apa hari ini kita akan menghabiskan banyak waktu dan energi lagi?"

"Lihat saja nanti." Senyuman Anna benar-benar misterius.

***


KareninaWhere stories live. Discover now