Sembilan

76 6 0
                                    


 Anna menggigit bibirnya ketika melihat angka yang ditunjuk jarum pendek jam tangannya.

Pukul 17.00.

Seharusnya Ia sudah bersama Ethan, melihat gedung tempatnya menggelar resepsi. Akan tetapi pertemuannya dengan Bu Denia hari ini benar-benar membuatnya lupa waktu. Anna tidak tega jika meninggalkan Bu Denia sendirian, maka Ia memutuskan untuk lebih lama tinggal.


Gedung resepsi bisa dicek lain waktu, pikirnya.

Namun begitu, penyesalannya semakin membuncah seiring berjalannya waktu. Bukan karena  tidak bisa melihat gedung pernikahan, melainkan karena Ia tak memberitahu Ethan.

Anna sangat menyesalinya. Bagaimanapun juga Ethan harus tahu agar tidak mencemaskannya.

Di tengah kemacetan jalanan, Anna mengaktifkan ponselnya. Benda pipih itu sempat mati kehabisan baterai. Benar dugaannya, ketika ponselnya menyala, banyak pesan yang masuk. Tak lama sebuah panggilan pun masuk.

Mbak Rasti, asisten rumah tangganya menghubungi.

Anna buru-buru menjawab, "Ya Mbak?"

"Mbak ada Mas Ethan," kata Mbak Rasti memberitahu. "Udah satu jam lebih nungguin. Katanya ponsel Mbak Anna nggak bisa dihubungi."

"Ah, iya Mba. Tadi ponsel saya kehabisan baterai. Minta tolong sampaikan sama Ethan, saya lagi di jalan," kata Anna seraya memerhatikan jalanan yang mulai lengang.

Anna kemudian mematikan sambungan telepon dan bergegas pulang. Benar saja, ketika Anna memasuki ruang tengah rumahnya, Ethan sudah menunggu dengan wajahnya yang ketat. Anna sempat menarik napas dalam sebelum menemui kekasihnya itu. Dalam hatinya, Ia akan berusaha tenang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sehingga ingkar janji.

Ethan mendongak ketika melihat bayangan Anna menghampirinya. Melihat gadisnya baik-baik saja, secuil hatinya merasa sangat lega. Setidaknya Anna dalam keadaan baik-baik saja.

"Baby, I'm so--," suara Anna terhenti.

Ethan memalingkan pandangannya dari Anna. Gestur itu cukup membuktikan bahwa Ethan sedang marah.

"Baby ...." Anna buru-buru berlutut, lantas memegang tangan Ethan, berharap Ia dapat dimaafkan. "Tadi aku ketemu Bu Denia. Ibunya Karen. Aku nggak mungkin ninggalin dia. Aku mau kasih tahu kamu tapi ponselku mati."

Ethan mendengus, terdengar sangat kesal.

"Baby, I'm so sorry." Suara Anna sangat memohon.

Ethan yang mendengar rengekan Anna menjadi goyah. Keinginannya untuk marah entah pergi kemana. Berganti dengan rasa iba. Ethan ingin segera mengatakan tak apa, namun mulutnya terkunci. Ia hanya mengerling pada Anna, mengusap kedua pipi gadis itu dengan lembut.

"Baby, kamu udah nggak marah, kan? Sebagai gantinya kubikinin Pasta kesukaan kamu, mau?"

Ethan mengangguk pelan, lantas membiarkan Anna pergi dari hadapannya dengan senyumnya yang merekah. Disandarkannya punggungnya di sandaran sofa, merasa kesal karena lagi-lagi Ia tak bisa menyampaikan keberatannya.

"Sebentar ya, Baby." Suara Anna semakin mengecil seiring menghilangnya bayangannya dari hadapan Ethan.

Anna masuk ke dalam kamarnya, membersihkan make up-nya lantas mengganti pakaiannya dengan pakaian yang berbahan ringan dan sejuk.

Anna keluar kamar seraya menguncir rambutnya yang panjang. Dilihatnya Ethan sedang memainkan ponselnya. Anna terdiam sejenak,  memandangi kekasihnya dengan perasaan bersalah yang belum usai. Ethan memang seperti itu, mudah memaafkan ketika Anna melakukan kesalahan. Akan tetapi hal itu membuat Anna tidak lega sama sekali. Perasaan bersalahnya akan bersarang di dalam dadanya berhari-hari. Bahkan jika Ethan harus marah, itu lebih baik.

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang