Enam

60 5 0
                                    

"Surprise ...!" Wajah Ethan terlalu gembira jika dibandingkan dengan wajah lesu Anna yang menyambut kedatangannya.

Ethan yang semula tersenyum lebar dengan dua kotak pizza di tangannya terpaksa harus meralat semua kegembiraan tersebut. Ethan heran pada sikap gadisnya malam ini. Gadis yang biasanya selalu menyambutnya dengan senyum manis itu kini tampak tak bersemangat. Bahkan, sepasang mata yang sering memancarkan binar kebahagiaan itu terlihat sedih.

"Terjadi sesuatu?" tanyanya seraya meletakkan dua dus pizza di atas meja ruang tamu.

Anna terduduk lesu. Kepalanya menunduk dan tidak terlihat akan menatapnya.

Ini pertama kalinya Anna berlaku tertutup seperti itu padanya. Selama ini, gadis itu tidak punya rahasia.

Tunggu dulu. Ethan memberi jeda pada pikiran panjangnya.

Bukannya Anna baru saja bertemu dengan sahabatnya? Apa kebisuannya sekarang ada hubungannya dengan pertemuan mereka? Jika benar, apa yang sebenarnya terjadi?

"Aku akan menunggu sampai kamu siap cerita," kata Ethan seraya bangkit dari sofa, membiarkan Ariana tenggelam dalam kesendiriannya.

Sejurus kemudian, tangannya terasa dingin. Ethan menoleh, Anna mencekal tangannya. Ethan sedikit menyunggingkan senyumnya. Ia bangkit untuk mengambil segelas air putih untuknya.

Ethan pernah berjanji pada dirinya untuk tidak akan pernah pergi dari Anna, apapun keadaannya.

"Tadi aku bertemu Karen..."

"Hhuum."

Belum selesai Ethan bertanya dengan nada antusias tinggi, Ariana sudah melanjutkan, "...di Rumah Sakit Jiwa."

Jelas Ethan bereaksi terkejut. Bagaimana bisa?

Ethan kembali duduk, tatapannya lekat pada Ariana yang perlahan-lahan mengangkat wajah dan membalas tatapannya dengan mata yang basah.

Ethan membunuh jarak beberapa senti diantara mereka, melingkarkan sebelah tangannya di bahu Ariana dan membiarkan kepala gadisnya itu tertahan di dadanya. Sekarang, ia tahu benar apa yang sedang mengguncang Ariana.

Bertemu dengan sahabat baik yang selama bertahun-tahun di sebuah Rumah Sakit Jiwa bukanlah hal yang mudah.

"Aku menyesal tidak ada di sampingnya selama ini. Aku sahabat yang jahat, Than."

Tidak ada kalimat-kalimat ajaib yang disebutkan Ethan untuk menenangkan Anna. Ethan hanya bisa mendekap gadisnya itu. Membiarkan Anna menangis, mungkin sampai ia merasa lebih baik.

**

Selama berada di kantor, pikiran Ethan terus melayang pada kondisi Anna. Ia sempat menelepon Kiera—sekretaris Anna, yang justru mengatakan Anna lebih banyak melamun. Merasa tak tenang, Ethan akhirnya memutuskan untuk menghampiri Anna di kliniknya. Ethan ingin menemani gadisnya itu sampai merasa seperti semula. Seperti sebelum Ia bertemu dengan Karenina.

Ethan memasuki ruangan Anna tanpa permisi. Anna terlihat menunduk dan bertopang di mejanya. Ethan berhenti sejenak, rupanya Anna pun tak menyadari kedatangannya. Ethan terpaksa harus membuat deheman agar gadisnya menyadari. Taktik itu pun cukup berhasil membuat Ariana mendangak.

"Kamu..." Ariana terlihat tergagap.

"Hari ini aku free. Aku bisa menemanimu sepanjang hari," ujar Ethan yang sebenarnya sedang berbohong. Semua pertemuan dengan klien yang melibatkan dirinya di pending sampai besok.

Hari Ethan hanya ingin menemani gadisnya.

"Tapi aku sedang tidak ingin ke mana-mana hari ini." Suara Ariana terdengar parau.

"Siapa bilang kita akan ke mana-mana?" Ethan merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel miliknya dan menyalakan musik.

Sebuah lagu Flighless Bird dari America Mouth menyesaki ruang kerja Anna. Sehingga tak ada alasan bagi Ethan untuk tidak menarik gadisnya beranjak dari kursi. Perlahan-lahan Ethan menyatukan tangan kananya dengan tangan kanan Anna yang lemas. Wajahnya masih terlihat tak bersemangat saat Ethan menarik pinggul gadis itu dengan tangan yang lainnya.

"Ethan. Apa-apaan ini?" Anna seperti ingin memberontak dari sentuhannya.

Tapi reaksi Ethan begitu cepat sehingga tak memberi kesempatan Anna melepaskan diri dari sentuhan lembut di pinggulnya.

"Sssttt..." Ethan mendesis, membuat sepasang mata lelah di hadapannya membola. "Sudah berapa lama kita tidak pernah berdansa seperti ini?"

Ariana menuruti Ethan, tidak mengucapkan apapun apalagi protes. Dengan sangat hati-hati melayangkan lengan kanannya ke bahu tegas Ethan. Ia pun membiarkan Ethan membimbingnya ke kiri dan ke kanan dengan pelan dan lembut.

Lagu yang diputar Ethan sepertinya sengaja diatur menjadi singleplayer sehingga lagunya tidak pernah habis.

Keduanya larut dalam gerakan-gerakan santai. Meskipun tatapan tak saling bertaut seperti tubuh mereka yang tidak berjarak lagi, Anna bisa merasakan perasaannya berangsur-angsur membaik. Badai yang bergejolak di dalam hati dan pikirannya luruh sudah, seiring musik yang mengalunkan dan membuat semua otot-ototnya melemas.

Hal itu ditandai dengan lengsernya kepala tegak Anna ke dada bidang Ethan.

"Kamu tahu Ethan?" gumam Ariana,

"Hhmm...?"

"Hanya pelukanmu yang mampu mengusir segala kegelisahan yang ada di dalam hatiku. Selalu..."

Ethan menyeringai lebar. Ia senang mendengar pengakuan itu dari Anna. Itu berarti ia berhasil membuat gadisnya merasa lebih baik.

"Aku merasa aman bila berada di dekatmu." Kemudian Ariana semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam pelukan Ethan. Membuat laki-lakinya itu refleks mengelus kepalanya pelan.

"Dengar, baby. Semua itu bukan kesalahan kamu. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Ingat, seseorang tidak bertanggung jawab atas hidup orang lain."

Anna tidak menjawab, tetapi anggukan kepalanya membuat Ethan benar-benar lega.

***



KareninaWhere stories live. Discover now