Tiga Belas

25 3 0
                                    

Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan keadilan untuk Nina?
Pertanyaan itu akhirnya tidak lagi teronggok di dalam batin dan pikiran Anna. Kini dia dapat mengutarakannya kepada Darrel, seseorang yang dengan tiba-tiba mengerti dirinya. Sebelum ini, Anna dan Darrel hanya bertemu jika ada Ethan di antara mereka. Kini mereka bisa bersama dalam misi yang sejalan.

“Pertama, kita harus tahu cerita yang sebenarnya sehingga kita dapat memutuskan untuk langkah selanjutnya.”

Anna menyetujuinya. Dia lantas memikirkan siapa orang yang paling berpotensi mengetahui semua cerita hidup Nina sejak perpisahan mereka di SMA. Dia kemudian teringat pada sebuah bangunan bergaya Belanda klasik di bilangan Jagakarsa, tak jauh dari kawasan Margasatwa Ragunan. Dia pernah kesana, Nina yang membawanya.

Rumah itu masih berdiri kokoh meski catnya telah memudar. Namun tidak ada lagi taman bermain anak-anak di halamannya, hanya ada pohon beringin tua yang dikelilingi rumput bermuda.  Anna ingat dulu Ia dan Nina sering mengobrol di sana.

“Ini rumah siapa, An?” tanya Darrel yang keningnya dipenuhi kerutan.

“Rumah Nina. Dari sini, kita bisa memutuskan apakah kita harus melanjutkan misi ini atau tidak?”

Anna tidak membiarkan Darrel berpikir terlalu lama, dia lantas membuka pengait pagar rumah dengan hati-hati. Dibiarkannya Darrel mengikutinya di belakang. Anna berharap pemilik rumah yang ia datangi ini masih sama.

Anna mengetuk pintu beberapa kali. Sesekali mengucap salam dan memanggil nama Bu Denia. Tak lama, seorang remaja puteri membuka pintu, menyambutnya dengan kedua alisnya yang saling bertaut.

“Cari siapa, ya?”

Melihat gadis muda itu, wajah Anna menjadi semakin cerah. Pasalnya, dia ingat siapa gadis itu. Dia masih ingat ekspresinya dulu ketika merengek meminta dibelikan es krim semangka.

“Bunda Denia, ada, Mel?”

Gadis muda itu terperanjat. Dia belum menjawab karena masih bersikap waspada, baginya Anna dan Darrel masih orang asing.

“Siapa, Mel?”

Suara dari dalam membuat Anna semakin antusias. Rasanya dia tidak sabar untuk memeluk si pemilik suara itu. Benar saja, setelah Bu Denia muncul, Anna langsung menghambur di pelukannya dan membuat dua orang lainnya semakin terheran-heran.

“Bunda... Ini Anna...!” ujarnya yang masih belum memberikan kesempatan Bu Denia untuk mengingatnya.

“Anna?!” Bu Denia tidak bergeming, dia akhirnya mendapatkan ingatannya kembali tentang gadis bernama Anna.

“Anna senang bisa ketemu Bunda lagi,” ujar Anna ketika melepaskan diri dari pelukan Bu Denia.

Anna dapat melihat kedua mata Bu Denia berkaca-kaca, "Kamu apa kabar, An?"

“Saya baik, Bun.” Anna mengerling pada Melody yang masih menunggu Bu Denia memperkenalkan dirinya. “Kamu Melody, kan?”

Melody melirik Bu Denia, lalu kembali melihat Anna dengan anggukan ragu.

“Mel, ini Kak Anna. Temen Kak Nina dulu. Inget, nggak? Kamu sudah besar ya, sekarang.”

Meski tidak mengingat Anna dengan jelas, Melody tetap memberi salam dan mencium tangan Anna.

Darrel yang masih setia menunggu di depan pintu, tidak tahu apakah dia harus masuk sementara si pemilik rumah dan orang yang membawanya ke rumah itu masih hanyut dalam suasana temu kangen. Alhasil dia hanya bisa berdiri sambil melihat ke sekeliling yang asing.

“Bunda, kenalin ini teman Anna dan Nina waktu SMA dulu, namanya Darrel!”
Akhirnya Darrel mendapatkan izin untuk masuk ke dalam rumah. Darrel berkenalan dengan Bu Denia, pemilik Panti Asuhan Kasih Ibunda tempat Nina dibesarkan. Dari cerita Bu Denia, Darrel bisa menyimpulkan bahwa rumah itu kini sudah bukan Panti lagi. Hanya rumah biasa dengan ibu tunggal dan 6 orang anak yang menghuninya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang