Tujuh

67 5 0
                                    

"Baby, hari ini kita ada agenda untuk ngecek gedung, lho." Ethan melirik jam tangannya, "Iya masih 4 jam lagi, sih, tapi kamu yakin bisa dateng tepat waktu?"

"Iya sayang. Ini bentar doang, kok,"  suara Anna berusaha meyakinkan.

Ethan menimbang-nimbang, "Apa aku jemput aja? Nanti kita ke sana bareng. Dimana sih alamatnya?"

"Enggak perlu sayang. Aku bawa mobil, kok."

Ethan tidak bisa membantah keinginan Anna, maka Ia mengizinkan kekasihnya itu pergi ke Rumah Sakit Jiwa lagi.

Sebenarnya Ia sangat keberatan Anna mengunjungi sahabatnya kembali. Bahkan jika bisa Ia ingin melarang Anna untuk kembali berhubungan dengan Karen yang saat ini merupakan narapidana dan pasien rumah sakit jiwa. Ethan tidak ingin waktu Anna tersita untuk Karen.

Tetapi Ethan tidak mungkin mengatakan keinginannya itu. Ia mengerti bisa mengerti bahwa Karen sahabat baik Anna sewaktu di SMA dulu. Ethan bahkan masih ingat jelas bagaimana dulu Anna sangat sedih ketika sahabatnya itu menghilang tanpa kabar.

Sambungan telepon sudah ditutupi ketika tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan Ethan. Tak lama seseorang yang dikenal Ethan sangat baik memasuki ruangan dengan sapaan ramah, bahkan terlihat sangat berlebihan.

"Ngapain lu cengengesan, gitu?" Ethan meletakkan ponselnya di atas meja dan menyambut Darrel ketus.

"Katanya lu mau gue temenin makan siang. Yuk lah! Udah lama juga gue nggak kulineran."

Darrel mengenyakkan tubuhnya di sandaran sofa Ethan. Bahkan sebelah kakinya tertumpu di paha kaki lainnya.

"Kapan gue bilang?" Ethan tidak ingat punya janji seperti yang disebutkan Darrel.

"Di group chat kemarin, dodol. Jangan bilang lu lupa! Jauh nih perjalanan gue." Darrel membidik vas bunga di atas meja untuk berjaga-jaga jika Ethan menolak ajakannya hari ini.

"Gue kan bilangnya  nggak hari ini. Nggak nanya dulu sih, lu. Gue ada janji mau cek gedung sama Anna hari ini, bro."

Muka Darrel tiba-tiba bengong. "Seriusan lu?"

Ethan mengangguk. "Sana lu pulang. Lagi kesel nih gue. Lu nggak mau kan jadi pelampiasan gue."

"Lha?" Darrel jadi bingung. "Kenapa jadi lu yang kesel?" Ingin rasanya Ia lemparkan vas bunga di hadapannya ke Ethan sebagai bentuk kekesalannya.

"Gue belum cerita ya, kalo Karen udah ditemukan."

Darrel mengerutkan kening. "Tunggu. Ini korelasinya apa sama kekesalan lu?"

"Ya ada lah!" seru Ethan ngegas. "Kemunculan Karen bakal menyita waktu Anna. Gue nggak suka"

Darrel membelalak. Apa? Menyita? Darrel menahan tawanya.

"Lebay banget sih lu!"

Ethan tersinggung mendengarnya. Wajahnya semakin terlihat kesal. Darrel jadi membungkam bibirnya, tidak ingin membuat sahabatnya itu semakin naik pitam. Baru membayangkan laptop dilempar ke wajahnya saja dia sudah ngeri.

"Sorry," lirih Darrel tak ingin memperkeruh suasana.

Ethan membuang napas berat, kemudian mengulanginya sampai suasana hatinya benar-benar membaik.

"Lu tau nggak kalau Karen sekarang pasien RSJ?"

Darrel terlihat lebih terkejut dari sebelumnya. Mendengar nama Karen kembali disebut saja membuat jantungnya tak keruan, apalagi mengetahui bahwa gadis yang pernah disukainya itu menjadi penghuni satu tempat tak lazim. Ia merasa terguncang dengan berita itu.

Itu mungkin bukan Karen yang kita kenal.

Hati Darrel ingin sekali meneriakkannya, tetapi bibirnya sudah terlanjur terkunci.

***

Keadaan lorong-lorong rumah  sakit jiwa yang ditapaki Anna hari ini masih sama gaduhnya dengan keadaan hari kemarin saat pertama kali Anna datang.

Masih ada kakek berambut putih  yang bernyanyi-nyanyi seperti seorang rockstar. Sapu adalah gitar listriknya. Dr. Avni mengatakan, kakek itu memang rocker pada jamannya, hingga usia meredupkan karirnya, kakek yang berdandan ala rocker itu mengakrabkan diri dengan obat-obatan.

Di sudut lainnya ada seorang ibu dengan boneka digendongannya. Ibu separuh baya itu mengoceh nggak jelas dengan boneka. Sudah bisa ditebak Ariana sebelum Dr. Avni menjelaskan bahwa Ibu itu kehilangan anak semata wayangnya yang meninggal akibat kecelakaan.

Karen berada di kamarnya. Hari ini Ia tidak terlihat seperti hari sebelumnya. Anna melihat Karen hanya duduk di bangsalnya. Ia tampak melamun.

Dr. Avni memberitahu bahwa emosi Karen seringkali berubah. Jika hari ini Ia menjadi sangat hiperaktif, esoknya Ia terlihat sangat pendiam.

"Saya pernah melihatnya beberapa kali menangis di dalam kamarnya," kata Dr. Avni menambahkan.

Anna menghela napas berat.

"Dokter, saya ingin menemuinya."

"Kamu yakin?"

Anna bahkan siap jika harus menerima penolakan Karen lagi. Ia hanya tidak ingin menunda terlalu lama. Selama ini Anna telah meninggalkan Karen sendirian. Kali ini Ia akan tetap bersama Karen meski sahabatnya itu tidak bisa mengenalinya.

"Karen," panggil Anna.

Saat ini  Ia sudah berada di hadapan Karen, yang masih bergeming di tempatnya. Tatapannya begitu sendu. Anna ingin sekali memeluknya saat itu juga, namun Ia tidak ingin membuat keributan.

"Apa kabar, Ren?" Suara Anna bergemetar. Ada sesak yang ditahannya.

"Karen, ini aku, Anna..." Anna berlutut di hadapan Karen, memegang kedua tangan sahabatnya itu penuh kehati-hatian.

Namun, Karen masih saja bergeming.

"Kamu masih inget kan sama aku? Aku Ariana. Dulu, kita temen sebangku."

Karen masih belum bereaksi. Sahabatnya itu masih saja membisu seolah jiwanya seperti tidak sedang bersamanya.

Anna menggigit bibirnya, "Maafin aku, ya, Ren." Airmatanya jatuh satu-satu. Anna tidak bisa lagi menahan rasa sesak di dalam dadanya.

***

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang