Empat

72 6 0
                                    

"Jadi kamu udah tahu dimana Karen tinggal, sekarang? Gimana? Kok, bisa?" Ethan membolakan matanya saat Anna mengunjungi kantornya hanya untuk menyampaikan pembatalan kencan mereka hari ini.

Sekarang, mereka tengah mengobrol di cafetaria yang ada di lobi K Advertising.

Anna mengangguk senang. "Akhir-akhir ini aku terus mencari alumni seangkatan di sosial media. Nggak sedikit dari mereka yang tahu soal Karen, kecuali Tisha. Dia juga yang memberikan alamat Karen sekarang. Akhirnya... Haaa...."

"Akhirnya ...." Ethan ikut lega mendengarnya. "Kuantar, ya!"

Ariana buru-buru menolak. "Enggak perlu, Than. Aku bisa sendirian, kok."

"Beneran?" Ethan menyeruakkan tatapan ragu. "Ada baiknya kalau kita berdua langsung undang Karen ke pernikahan kita."

Ariana mencebik lantas menggeleng pelan. "Terlalu cepat untuk mengatakan rencana pernikahan kita. Nanti saja di pertemuan kedua ataupun ketiga."

Mendengar penolakan itu Ethan tidak bisa protes, alhasil Ia hanya mengangguk.

"Thanks, Honey." Anna berbalik menggenggam kedua tangan Ethan dan mengelusnya lembut.

Setelah beberapa menit mengobrol, Ethan membiarkan Anna meninggalkannya sendirian di dalam cafetaria. Ethan cukup mengerti bagaimana peran Karen dalam kehidupan kekasihnya itu. Bahkan ia tidak pernah protes ketika harus ditigakan dengan urusan pekerjaan juga sahabatnya seperti itu. Selama hanya Ethan satu-satunya laki-laki dalam pikiran Anna, Ia tidak akan mengkhawatirkan yang lainnya.

***

Anna butuh lima belas menit untuk meyakini apa yang Ia lihat di hadapannnya. Sebuah pagar setinggi dua meter lebih menutup rapat tempat itu. Tak ada siapapun di luar dapat melihat aktivitas di dalam besi hitam tersebut. Sebenarnya bukan pagar yang tertutup rapat itu yang membuatnya gamang, melainkan sebuah informasi yang di dengarnya saat bertanya ke beberapa warga terdekat mengenai alamat yang diberikan Tisha padanya.

Antara percaya, ragu, dan curiga bahwa Tisha sedang mengisenginya.

Tidak ada pamflet atau keterangan apapun di depan pagar besi tersebut, Ariana semakin pesimis bahwa tempat di dalamnya adalah tempat yang baik untuk didatangi.

Anna melihat ke sekeliling, tidak ada pos satpam dan semacamnya di sekitar pagar. Ia hanya melihat sebuah lubang kecil di sudut pagar. Tak jauh dari sudut tersebut teronggok sebuah bel yang ketika Ia pencet seseorang datang dari lubang kecil itu memperlihatkan kedua matanya.

"Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanya sepasang mata belo di balik pagar.

Anna langsung menanyakan apakah alamat yang Ia tunjukkan dalam sebuah kertas adalah alamat yang benar. Ketika sepasang mata itu mengiyakan, pagar yang menjulang tinggi itu dibuka lebar, menyilakan Anna masuk tanpa syarat apapun.

Anna menelan ludah begitu melihat betapa sepinya area—yang lebih mirip rumah sakit itu. Ia meliarkan pandangannya, ada dua pohon beringin besar yang mengapit bangunan bergaya belanda itu.

Anna masih belum tau tempat apa yang ia datangi ini. Yang ada di dalam pikirannya sekarang, 'Apa yang dilakukan Karen di tempat ini?'.

Sekilas bangunan asri di depannya ini terlihat seperti rumah sakit. Apakah benar Karen bekerja di Rumah Sakit? Pertanyaan itu mengguyur pikiran Anna selanjutnya. Namun Ia ingat, Karen adalah seorang yang benci bau rumah sakit. Melihat darah saja Ia bisa jejeritan, jadi Ia tidak mungkin menjadi seorang dokter ataupun perawat.

Apakah dia sudah berubah sekarang?

Tidak ada yang tahu, 'kan? Bisa saja Karen yang benci bau rumah sakit tiba-tiba ingin menjadi dokter atau perawat.

KareninaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang