7

1.8K 272 19
                                    

Yoongi tidak tau sudah berapa lama ia tertidur, yang ia tau ia dibangunkan secara tidak manusiawi oleh supir bus yang ditumpakinya.

"Apa-apaan sih? Menyebutku anak kecil? Memangnya dia buta atau apa? Apa dia tidak melihatku memakai seragam SMA? Dasar menyebalkan!" gerutu Yoongi.

Yoongi tentu saja tidak terima saat orang-orang menganggapnya anak kecil. Ya Tuhan, bahkan Yoongi sudah berumur delapan belas tahun.

"Jalan pulang ke rumah lewat mana? Astaga, aku lupa!" Yoongi menepuk dahinya frustasi. Terpujilah Yoongi dengan ingatan pendeknya.

Yoongi duduk lemas di salah satu bangku taman. Hari sudah mulai sore, langit berubah jingga. Ia takut pulang malam, sebenarnya ia takut jika Ayahnya akan memarahinya pulang malam.

Tapi, Yoongi sangsi akan hal itu. Mungkin jika Yoongi tidak pulang sekalipun, Ayahnya tidak akan peduli.

Mana mau Ayahnya mengkhawatirkannya, itu ada hanya dalam imajinasinya saja.

Yoongi menghela napasnya lelah. Ia benar-benar lelah dengan sikap Ayahnya. Ayahnya memang tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadapnya, tapi yang beliau lakukan lebih menyakitkan daripada luka lebam.

Luka batin.

Perasaannya terluka, ia merasakan perihnya setiap saat. Ia berusaha untuk kuat, tapi itu diluar batasnya, anak mana yang tidak sakit hati ketika dibenci dan disia-siakan oleh orang tuanya?

Ya Tuhan, mungkin jika tidak ada Hyorin, Yoongi sudah dari dulu menyusul eommanya.

Yoongi menengadahkan kepalanya, menghalau airmata yang mengembun dimata cokelatnya, napasnya memburu, dadanya nyeri mengingatnya.

Satu isakkan lolos dari bibir tipisnya, diikuti oleh airmata yang deras membasahi pipi berisinya.

Yoongi mengepalkan tangannya. Selalu begini, ketika Yoongi mengingat Ayahnya pasti hanya sakit yang ia dapat. Ia benar-benar muak dengan semuanya.

Ia mencoba untuk membenci semuanya. Ya, ia akan mencoba. Jika ia sanggup.

"Kenapa aku selalu menemukanmu disaat kau menangis? Tidak ada hal lain yang bisa kau lakukan, huh?"

Sebuah suara yang familiar bagi Yoongi menyentakkan kesadarannya. Mata Yoongi membelalak melihat si pemilik suara.

"Jungkook?"

Jungkook tersenyum, ia lalu duduk disebelah Yoongi. "Jadi kenapa kau menangis?" Jungkook mengusap airmata yang membasahi wajah cantik Yoonginya. Yoongi sedikit bersemu.

Yoongi menggigit bibirnya, ia ragu untuk menceritakan masalahnya. "A-aku, aku lupa arah jalan pulang ke rumah?" jawab Yoongi bohong.

Ia mengalihkan pandangannya, kemana saja, asal jangan wajah tampan dihadapannya.

Jungkook terkekeh, "Kenapa pacarku benar-benar menggemaskan eoh?" ucapnya seraya mencubit pipi Yoongi sampai mendesis kesakitan, namun sedetik kemudian matanya membulat.

Tunggu! Apa? Pa-pacar katanya?

"Apa yang kau katakan? Pa-pacar?"

"Ne, Yoongi tidak mau menjadi pacar Jungkook?" tanya Jungkook dengan wajah yang ―pura pura dibuat― sedih.

Yoong gugup, ia menelan ludahnya. "Jungkook, a-aku" Terlihat Yoongi sedikit ragu akan perasaannya. Jungkook tidak bodoh untuk tidak menyadarinya.

Dengan cepat ia merengkuh tubuh mungil Yoongi.

Yoongi benar-benar pas dipelukannya. "Yoongi" lirihnya pelan.

"Kau tau selama delapan tahun ini aku selalu memikirkanmu? Aku tidak bisa tidur dengan tenang semenjak pertemuan kita. Aku sampai depresi memikirkanmu, bahkan aku sering menganggapmu berada disekitarku. Aku benar-benar gila saat itu!"

PAPER HEART ✔Where stories live. Discover now