Chapter 1

46.1K 2.9K 161
                                    

Arra masih membaca dengan cermat lembaran kertas yang ia pegang. Ya, dia masih menimbang-nimbang antara memilih kelas IPA atau IPS.

"Ayolah, Arra! Please! Pilih IPS ya?" Bujuk Cecil sambil mengoyak-ngoyak pundak Arra.

Arra tak merespon. Ia masih memandangi kertas formulir yang ia pegang. IPA atau IPS? Baginya, memilih nikah atau S2 mungkin lebih mudah.

"Iya, Arra, pilih IPS aja! Kan nggak seru kalau nggak ada elo," tambah Nadin manja.

"Sudahlah, gengs!" Revan tiba-tiba datang dan duduk di atas meja yang berada di dekat bangku Arra. "Kalau Arra nggak mau, ya nggak usah dipaksa."

Cecil langsung mendelik ke arah Revan. "Lo itu gimana sih, Van?! Walau bagaimana pun juga, Flower Five harus tetap berlima, titik!" Cecil kemudian memanglingkan muka dari Revan sambil cemberut.

Dave mencubit pipi Cecil gemas. "Iiih, Sayang! Jangan cemberut gitu dong! Nanti jelek lho!"

Dave dan Cecil sudah hampir 5 tahun pacaran. Mereka menjalin hubungan sejak kelas 6 SD dan sampai sekarang masih langgeng meskipun saat SMP sempat dua kali putus.

Arra menghela napas lalu menoleh melihat sekelilingnya. Ada Revan, Dave, Cecil, dan Nadin. Dia benar-benar sangat bingung. Hari ini adalah batas pengumpulan terakhir formulir penjurusan. Jika Arra tidak mengumpulkan formulirnya hari ini, guru-guru akan menentukan jurusan mana yang cocok untuk Arra. Entah itu IPA atau IPS. Bisa jadi jurusan Bahasa.

"Gue bingung, gengs! Gue pengen banget masuk kelas IPA. Tapi gue nggak bisa mengabaikan kalian yang memilih IPS," Papar Arra sedih.

Sejak SMP, Arra bercita-cita menjadi seorang profesor yang ahli dalam bidang teknologi, informasi, dan komunikasi. Saat kuliah kelak, ia ingin masuk jurusan Sistem Informasi atau Teknik Informatika.

"Kalian tau sendiri kan, gengs! Saat SNMPTN atau SBMPTN kelak di akhir kelas duabelas, gue bakalan milih jurusan Sistem informasi atau teknik informatika, gengs!" Lanjut Arra.

Arra pun berdiri dari tempatnya, memberikan jeda untuk mengeluarkan isi hatinya beberapa saat.

"Kalau sekarang gue milih IPS, sudah dapat dipastikan gue nggak bakal diterima di jurusan sistem informasi atau teknik informatika, gengs! Karena dua jurusan itu pasti memilih anak jebolan kelas IPA," jelas Arra.

"Arra, kita semua tau kalau lo itu anak yang cerdas. Lo bahkan bisa menguasai semua mata pelajaran tanpa belajar." Tangan Nadin menarik tangan Arra hingga Arra kembali terduduk di sampingnya. "Lo bisa masuk sistem informasi atau teknik informatika dari jalur SBMPTN kan?"

"Iya. Nadin bener, Ra!" Celetuk Cecil. "Walaupun elo anak IPS, gue yakin elo bisa masuk semua jurusan yang elo suka. Jadi, tolong lupakan SNMPTN! Karena lo bisa masuk jalur SBMPTN."

"Itu namanya egois, gengs! Itu sama saja memaksa Arra untuk membuang satu kesempatan menuju cita-citanya," kata Revan.

"Tapi kalau gue masuk IPS, apa kita bisa satu kelas lagi seperti ini?" Tanya Arra enggan. Sejujurnya, dia sangat ingin masuk kelas IPA.

"Ya elah, Arra! Lo lupa kalau bokapnya Dave itu pemilik sekolah ini?" Alis Nadin sempat terangkat sejenak.

Arra menggeplak keningnya lalu meringis. "Oh iya, gue lupa!"

"Dulu, lo kan masuk di kelas X-A. Sedangkan gue dan Cecil masuk di kelas X-C. Revan dan Dave masuk di kelas X-E. Karena kekuatan super bokapnya Dave, kita semua bisa kumpul di kelas X-C ini."

Lagi-lagi Arra meringis lalu tersenyum. Dia berpura-pura senang di depan teman-temannya, seolah tak masalah jika ia tidak masuk kelas IPA, kelas yang begitu ia dambakan.

"Iya, Arra! Jangan khawatir soal pembagian kelas IPS. Bokap gue bisa mengaturnya. Beda kelas bisa disatukan. Tapi kalau beda jurusan, sudah jelas nggak bisa," jelas Dave.

Lagi-lagi Arra melihat ke sekelilingnya, mencermati wajah satu per satu sahabatnya, mulai dari Nadin, Cecil, Dave, kemudian Revan. Wajah mereka berempat tampak sangat mengharapkan Arra bisa masuk kelas IPS bersama mereka.

Tok tok tok

Lamunan Arra tiba-tiba buyar ketika seorang cowok tampan mengetuk pintu kelasnya yang sedari tadi memang sudah terbuka. Cowok berkacamata itu bernama Ravazka Bhayangkara, biasa dipanggil Azka. Dia adalah murid kesayangan guru-guru. Nilai rata-rata kelasnya di kelas X ini mencapai 98,2. Dia mendapat nilai sempurna di setiap mata pelajaran kecuali olahraga.

"Azka?" Kata Arra.

Azka pun menghampiri Arra. "Aku ke sini cuma mau mengambil formulirmu," ucapnya sambil menatap Arra dengan tatapan datar, tanpa ekspresi.

Azka adalah ketua angkatan. Dia dipercaya guru-guru untuk mengumpulkan semua formulir penjurusan dari kelas X-A sampai kelas X-L. Tidak perlu ditanya dia masuk jurusan apa. Sudah pasti dia memilih IPA walaupun pada kenyataannya dia menguasai semua pelajaran baik IPA, IPS, maupun bahasa. Baginya, anak-anak yang masuk kelas IPS dan bahasa pasti menyebalkan. Mereka hanya tahu cara bergurau, tertawa, dan melanggar aturan sekolah. Sungguh annoying.

"Tunggu bentar ya," kata Arra dengan kepala mendongak, melihat cowok tinggi semampai yang kini berdiri di hadapannya.

Azka tidak berkata apa-apa. Dia hanya berdiri, menunggu beberapa menit sembari melihat datar tangan Arra yang tampak enggan mencontreng pilihan antara IPA atau IPS.

"Masih lama?" Ucap Azka.

"Bentar!" Tukas Arra judes.

Arra memejamkan matanya, hatinya masih berkecamuk. Tapi ia tidak bisa meninggalkan teman-temannya demi kelas IPA. Dia mencoba memantapkan diri. walau enggan. Dengan berat hati, dia memilih IPS.

"Yeeeeyyy!!" Teriak Nadin dan Cecil bersamaan ketika mereka mendapati Arra memilih kelas IPS.

"Nah gitu dong, Arra sayang." Nadin memeluk Arra erat.

"Ini." Arra memberikan formulirnya ke Azka.

Azka hanya tersenyum miring setelah melihat formulir Arra. Senyumannya terlihat seperti menghina pilihan Arra.

"Ngapain lo senyum miring kayak gitu?" Tanya Arra ketus.

"Tidak." Azka menggeleng. "Tidak apa-apa."

"Arra, lo yakin?" Tanya Revan angkat bicara.

Arra menoleh ke arah Revan, tersenyum, lalu mengangguk. "Ya iyalah, Van! Hidup gue nggak ada artinya tanpa kalian, gengs!"

Lagi, Azka tersenyum miring, seolah ia mengolok persahabatan Arra bersama empat orang yang lainnya.

"Ngapain lo senyum kayak begitu lagi?" Arra semakin geram dengan cowok berseragam rapi yang kini tengah tersenyum miring.

"Sudah, ya! Aku mau pergi ke kantor guru dulu!" Ucap Azka tanpa menyahuti perkataan Arra barusan.

Dia pun melangkah keluar dari kelas Arra. Saat dia berjalan di koridor menuju kantor guru, dia sempat tersenyum miring kembali. Baginya, keputusan Arra memilih kelas IPS adalah keputusan yang sangat konyol yang menggambarkan bahwa Arra tidak memiliki pendirian.

Kenapa harus memiliki teman jika mereka pada akhirnya hanya akan menghambat kesuksesan? Ya. Selalu pertanyaan itu yang dipikirkan Azka. Itulah sebabnya Azka tidak pernah memiliki seorang teman. Baginya, teman adalah sebuah parasit. Dan dia tak membutuhkannya.

🐤🐤🐤🐤🐤

-Curhatan Author-

Sifat para karakter belum terlalu terlihat ya gengs! Namanya juga masih chapter 1. Ayo vote dan comment 😄😄😄

Flower Five [COMPLETED]Where stories live. Discover now