Chapter 8

20.2K 1.6K 26
                                    

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu. Azka langsung berhenti membaca buku kemudian menoleh ke arah pintu.

"Ayo makan malam dulu, Azka!" Ajak Nyonya Qanita, mama Azka.

"Baik, Ma." Azka segera menutup bukunya lalu mengikuti Nyonya Qanita menuju ruang makan.

Di ruang makan, sudah ada Tuan Bintara, papa Azka. Mereka bertiga kemudian duduk dalam satu meja.

"Gimana sekolahmu, Ka?" Tanya Tuan Bintara melirik sebentar Azka lalu memotong steak yang ada di piringnya.

"Baik, Pak."

"Kamu harus lebih giat belajar lagi. Papa ingin kamu masuk Havard University."

Azka tercekat, matanya melebar, ia mengangkat kepalanya, melihat Tuan Bintara yang tengah fokus memotong steak. Harvard University? Apa papanya gila?

"Papa, apa keinginan Papa tidak terlalu muluk-muluk?" Nyonya Qanita menuangkan air putih ke dalam ke gelas Tuan Bintara.

"Tidak apa-apa dong, Ma! Azka ini anak superior. IQ nya cukup tinggi. Tidak menutup kemungkinan kalau dia bisa masuk Harvard University," sanggah Tuan Bintara ngotot.

"Gimana menurutmu, Ka?" Tanya Nyonya Qanita.

"Iya, Ma. Azka akan berusaha agar bisa masuk Harvard," jawab Azk datar.

Azka adalah anak tunggal di keluarga ini. Tuan Bintara adalah seorang pemilik salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta. Sementara itu, Nyonya Qanita adalah seorang pengusaha sukses yang bergerak di bidang Fashion. Mereka menaruh harapan besar terhadap Azka.

Mendengar kata Harvard, membuat nafsu makan Azka menjadi hilang. Ia mengunyah beberapa potongan daging lalu meletakkan pisau dan garpu di atas piringnya.

"Azka, kok makannya sedikit sekali?" Alis Nyonya Qanita sedikit terangkat ketika melihat anaknya menyudahi makan malamnya.

"Azka sudah kenyang, Ma." Azka menggeser kursinya lalu berdiri.

"Tapi kan....."

"Ma, Pa, Azka balik ke kamar dulu ya?"

Tuan Bintara hanya mengangguk, mengizinkan. Azka pun beranjak pergi menuju kamarnya, menutup pintu, merebahkan tubuhnya di atas kasur, lalu memandangi langit-langit kamarnya. Mungkin bagi orang lain, hidup Azka terlihat sangat nyaman. Ke mana-mana di antar jemput mobil mewah, tinggal di perumahan elite, dan semua kebutuhannya terpenuhi. Tapi pada kenyataannya, Azka sangat tertekan dengan semua yang dimilikinya. Hidupnya sangat membosankan. Sepulang sekolah, ia langsung les privat mata pelajaran eksakta sampai sore. Sementara pada malam hari, ia harus belajar lagi sampai jam 9 malam kemudian barulah ia beristirahat. Tidak hanya itu! Di hari minggu pun, Azka tidak mempunyai waktu senggang. Dari jam 7 sampai jam 9 pagi, ia harus belajar piano. Sementara jam 10 pagi sampai jam 12 siang, ia harus les biola. Kemudian selebihnya ia belajar bahasa asing. Semua itu Azka lakukan demi mewujudkan impian kedua orang tuanya.

Drrrrtt.....

HP Azka bergetar, bertanda kalau ada SMS atau WA yang masuk. Azka hanya menoleh sebentar ke arah HP yang tergeletak di sampingnya. Tak ada sedikit niatan pun untuk membaca SMS tersebut. Itu karena Azka tau benar kalau tidak ada seorang teman pun yang akan berani mengirim SMS padanya. Sementara Azka di grup WA kelas seolah dianggap tak ada.

Azka memijat pelipisnya beberapa kali. Kepalanya terasa sangat pusing setelah memikirkan harapan papanya yang terlampau tinggi.

Drrrrt....

Lagi, HP Azka bergetar. Dan lagi, Azka tak menghiraukannya. Paling-paling, teman-teman sekelasnya sedang bergurau di grup WA. Tentu saja mereka bercanda tanpa mengajak Azka. Jika Azka ikut nimbrung, secara otomatis mereka berhenti. Ya. Sejak kecil Azka tidak mempunyai teman karena ia selalu bersikap dingin terhadap semua orang sehingga teman-temannya merasa takut bila berkomunikasi dengannya.

Flower Five [COMPLETED]Where stories live. Discover now