Chapter 11

17.5K 1.4K 27
                                    

Kaki Arra menghentak-hentak pelan di atas tanah. Ia tak bisa berhenti untuk menggigiti kuku jarinya. Tegang, takut kalau nanti pihak sekolah akan menyadari keganjilan yang dibuatnya.

"Ra, lo kenapa sih?" Tanya Cecil cemas.

"Lo sakit, Ra?" Imbuh Nadin sembari meletakkan telapak tangannya di atas kening Arra.

"Enggak." Arra menggeleng, ia melepaskan tangan Nadin yang masih menempel di keningnya. "Gue nggak sakit kok!"

"Beneran lo nggak apa-apa?" Tanya Cecil memastikan.

"Iya, gengs! Gue nggak apa-apa. Sumpah demi cogan bronis dari kelas X-A." Arra merangkul lengan kedua sahabatnya itu.

"Sapa tuh?" Celetuk Nadin.

Bola mata Cecil berputar sejenak lalu menatap Nadin jengah. "Ya elah! Siapa lagi kalau bukan Reon? Dedek gemes dengan senyum charming," paparnya sambil menggeliat senang, membayangkan wajah tampan adik kelas.

"Dasar tante sinting!" Arra melirik jijik ke arah Cecil.

"Bisa diam tidak?" Ucap Bu Beta dari belakang.

Arra, Cecil, dan Nadin memutar kepala pelan untuk menghadap ke belakang, melihat muka garang Bu Beta yang saat itu mendelik. Mereka serempak meringis malu lalu kembali berbalik, melipat mulut, dan bergegas menghargai upacara bendera yang tengah berlangsung.

Arra kembali menegang. Rasa takutnya tumbuh lagi setelah beberapa saat lalu sempat menghilang karena gurauan Cecil dan Nadin. Jantungnya berdegup tak karuan ketika upacara bendera telah selesai. Dan Pak Ginanjar selaku kepala sekolah sudah bersiap mengumumkan peringkat pertama dari setiap kelas.

"Juara pertama dari kelas XI-IPA 1 diraih oleh Ravazka Bhayangkara," ucap Pak Ginanjar setelah selesai membacakan nama-nama juara dari semua kelas X.

Riuh tepuk tangan menggema hebat di lapangan. Tak seperti riuh tepuk tangan juara dari kelas-kelas sebelumnya. Arra menoleh ke kanan dan ke kiri, yang ia lihat semua orang bertepuk tangan termasuk semua guru-guru dan semua staf sekolah.

"Peringkat pertama dari kelas XI IPS-1 diraih oleh Arradina Syailendra."

Bom tepuk tangan kembali menggema setelah beberapa saat sempat hadir tak terlalu riuh ketika pembacaan para juara dari rentetan kelas XI IPA-2 sampai XI IPA-4.

Arra sama sekali tak peduli dengan peringkat yang ia peroleh. Ia kini hanya memikirkan Pak Subroto yang sudah tahu kalau dia lah peraih nilai rata-rata tertinggi di antara semua kelas, bukan Azka. Padahal tempo hari, Arra sudah berusaha sedini mungkin menghack nilai rata-rata yang baru keluar dari komputer sekolah.

"Nyantai aja, Ra! Meskipun lo kalah dari Azka, kita berdua nggak bakal biarin lo jadi ketua OSIS boneka," kata Nadin yang sedari tadi sudah mengamati raut wajah cemas Arra.

"Iya, Ra. Jadi, elo nggak usah khawatir. Kita ini Flower Five, nggak ada geng yang lebih berkuasa daripada geng kita. Jika si nerd Azka mau buat lo jadi bonekanya, maka dapat gue pastikan itu hanya di mimpinya!" Imbuh Cecil geram, tangannya mengepal marah, membayangkan sosok Azka yang dengan berani membuat taruhan konyol dengan Arra.

Arra tak menyahut. Bukan itu yang dicemaskan olehnya. Masalah yang ia cemaskan bahkan lebih dari itu.

"Terakhir, saya akan membacakan peraih nilai tertinggi dari semua kelas," lanjut Pak Ginanjar setelah mengumumkan para jawara dari setiap kelas.

"Gue yakin pasti Azka yang dapat nilai tertinggi deh!" Bisik Tia, salah satu teman Arra.

"Ya iyalah! Di sekolah ini, gue akui nggak ada yang lebih pinter daripada Azka," sahut Vony, salah satu teman Arra juga.

Alis Arra terangkat mendengar percakapan itu. Bukannya marah tapi ia malah merasa bersyukur. Jika banyak orang yang berpikir seperti itu, mungkin keganjilan yang ia perbuat tidak akan terungkap.

"Nilai tertinggi diraih oleh Ravazka Bhayangkara," lanjut Pak Ginanjar.

Mata Pak Subroto mendelik kaget bebarengan dengan suara tepukan yang lagi-lagi menggema hebat. Semua orang melihat ke arah Azka sambil geleng-geleng kepala dan berdecak kagum. Bagaimana tidak? Sejak awal, Azka selalu meraih nilai tertinggi dengan rata-rata di atas 98. Satu-satunya siswa yang mendekati nilai Azka adalah Arra. Itu pun tak pernah sampai 98. Biasanya, Arra hanya mendapat nilai rata-rata 95, paling mentok 96. Itu karena Arra selalu gagal di ujian praktek olahraga karena bolos.

Pak Subroto merasa heran. Ia bertanya-tanya apakah benar dia yang salah lihat ataukah Pak Ginanjar yang salah baca. Padahal Pak Subroto sangat yakin bahwa Arra lah yang meraih nilai rata-rata tertinggi dari semua kelas.

"Kok bisa ya, Buk?" Kata Pak Subroto.

"Apanya, Pak?" Bu Beta menoleh ke arah Pak Subroto.

"Kok bisa Azka yang meraih nilai tertinggi? Padahal kemarin saya lihat Arra yang berada di urutan teratas."

Bu Beta tertawa kecil. "Mungkin Bapak salah lihat! Saya kemarin juga sempat lihat hasil akhirnya di komputer sekolah. Dan memang benar Azka kok yang berada di urutan pertama."

Bu Beta melihat hasil perhitungan nilai rata-rata yang sudah dimanipulasi Arra. Ia tidak melihat nilai rata-rata bersama Pak Subroto karena ada urusan dengan Pak kepala sekolah. Setelah kembali ke kantor guru, tanpa Bu Beta tahu, nilai rata-rata antara Azka dan Arra sudah tertukar.

***

Arra celingukan menengok ke arah kanan dan ke kiri, berharap papanya segera datang menjemputnya pulang. Sudah lima menit ia berdiri di dekat gerbang sekolah. Ia pun mulai bosan dan segera mengeluarkan headset dari dalam tasnya, memasangnya ke telinga, lalu bersiap mendengarkan lagu Korea kesukaannya.

"Bisa bicara sebentar?" Tanya Azka.

Arra tak mendengar perkataan Azka. Volume headsetnya terlampau keras sehingga menghalangi suara Azka.

"Bisa bicara sebentar?" Ulang Azka sedikit menaikkan volume suaranya.

Arra tercekat. Ia menoleh ke samping. Alisnya terangkat ketika melihat Azka. Ia pun segera melepaskan headsetnya.

"Aku cuma mau bilang, kamu kalah," ucap Azka datar.

Arra memutar bola matanya malas. "Iya. Gue tau!"

"Jadi, mulai sekarang, kamu harus siap menjadi bonekaku."

Lagi, Arra memutar bola matanya malas. Jika saja Azka tahu apa yang telah Arra lakukan, mungkin saja dia tidak akan berani bertatap muka dengan Arra lagi.

"Jadi mulai sekarang, semua kebijakan OSIS harus berada di bawah kendaliku," imbuh Azka.

"Ya ya ya," sahut Arra malas.

Tak lama setelah percakapan itu, Tuan Felix datang menjemput putri kesayangannya. Dia menurunkan kaca mobilnya lalu melongok, mengeluarkan kepalanya dari jendela untuk melihat Arra.

Tut tut

Tuan Felix membunyikan klakson mobilnya dua kali, berharap agar putri tunggalnya itu segera memasuki mobil karena sebentar lagi dia ada meeting penting bersama beberapa tamu kehormatan dari Swiss.

"Eh, Papa gue udah dateng tuh! Gue pulang duluan ya! Daaah." Arra melambai singkat pada Azka lalu berlari-lari kecil menuju mobil papanya.

Dari tepi jalan, Azka hanya terdiam, menatap iri keharmonisan Arra dengan Tuan Felix. Sungguh berbanding terbalik dengan kehidupan Azka yang sering menerima tamparan dari Tuan Bintara. Itulah sebabnya Azka selalu belajar dan belajar, takut papanya marah dan melayangkan tamparan demi tamparan jika dia berbuat satu kesalahan kecil saja.

😊😊😊😊😊😊😊😊
Komen dan vote yuks!

Follow akun WP ku yang satunya yaitu zaimnovelis

Вы достигли последнюю опубликованную часть.

⏰ Недавно обновлено: Feb 09, 2019 ⏰

Добавте эту историю в библиотеку и получите уведомление, когда следующия часть будет доступна!

Flower Five [COMPLETED]Место, где живут истории. Откройте их для себя