Bab 6

10 7 0
                                    

Hentakan keras serta suara berisik itu langsung membuat sistem sarafnya mulai berfungsi seperti biasa. Tangan Fani perlahan bergerak senada dengan kelopak matanya yang mulai terbuka. Dia menatap lekat sekelilingnya, sambil berusaha memfokuskan cahaya yang masuk melalui retinanya. Gadis itu tersenyum saat mengetahui dirinya sudah berada di markas.

"Kak, Fani udah sadar!" Okti yang berada di samping cewek itu langsung berteriak ketika melihat Fani sudah bangun, Karel segera menghampiri Adiknya itu, berbagai macam pertanyaan dilontarkan kepadanya. Namun Fani cuma bisa diam, sejujurnya setelah kejadian tadi dia seakan tak bisa berfikir jernih. Kepala serta badannya terasa sakit semua.

Daniel yang datang dari dapur sambil membawa segelas air itu segera menyodorkan kepada Fani, dia duduk tepat di samping cewek itu. Ada rasa khawatir yang menyeruak di dalam diri cowok itu, kalau saja dia tak menyadari ada yang tertinggal, sudah dipastikan bagaimana nasib Fani selanjutnya.

"Thank Niel, udah nolongin Adik gue." Karel mengucapkan dengan tulus, dia sangat beruntung ada Daniel di sini. Sedang cowok itu hanya mengangguk sambil tersenyum menatap lekat ke arah gadis di depannya itu.

"Lo, kok bisa pingsan sih?" Tanya Daniel, Fani tak menjawab, dia masih fokus mengisi kekeringan yang melanda di tenggorokannya akibat pukulan menyakitkan itu.

Dia mengelap sudut bibirnya yang terkena cipratan air, sesaat dia menatap wajah khawatir semua orang yang berada di situ. Keheningan segera berubah ketika Pevita datang dan bergabung dengan mereka semua.

"Maaf!"

"Buat apa?" Tanya Daniel.

"Udah buat kalian semua khawatir!" Fani tertunduk, rasanya air mata ingin memaksa keluar tapi masih bisa ditahannya. Semuanya memang salah dia, dari awal sudah seharusnya dia menolak. Tapi, pada dasarnya dia tak bisa berkata tidak saat melihat wajah cowok itu. Akhirnya Fani hanya tersenyum memandang wajah mereka semua.

"Fani, syukurlah kamu sudah sadar." Pevita yang baru tiba di sana langsung mengelus puncak rambut cewek itu, Fani tersenyum menatap wajah wanita di depannya sekarang.

"Karena kamu sudah siuman, sekarang kita bicara serius!" Ujar Pevita, mereka semua segera menempati kursinya masing-masing. Sedangkan Fani masih enggan untuk membahas masalah ini sekarang. Apalagi pikirannya masih mengambang kemana-mana.

Mereka semua mulai merancang rencana apa kiranya yang akan dilakukan untuk memerangi pengacau-pengacau itu. Rey mengusulkan agar menyerang secara langsung saja, lagipula kalau hanya menggunakan senjata mereka semua sudah termasuk profesional dalam hal itu. Yah walaupun sedikit meleset kalau disuruh menembak jarak jauh.

Tapi, Karel tak setuju dengan usul cowok itu. Pertama, karena berbahaya untuk semua orang. Kedua, meskipun mereka sudah handal tapi keberuntungan belum tentu akan menghampiri. Mereka semua langsung merenungkan ucapan dari Karel yang dirasa ada benarnya.

"Aku bener-bener mau ngundurin diri!"

Ucapan yang tiba-tiba keluar dari mulut Fani langsung membuat mereka semua menoleh. Gadis kecil yang berada di sebelah Karel itu berbicara dengan suara bergetar seakan menahan tangis. Entahlah apa yang sedang terjadi dengan Fani, semua orang tak tahu. Bahkan Karel sendiri tak mengerti dengan sikap Adiknya yang menurutnya labil itu. Semua mata memandang seakan meminta penjelasan atas ucapan yang baru keluar tadi.

"Aku takut!" Ujar Fani seakan bisa menebak pikiran semua orang di situ.

"Apa yang lo takutin? Gak harus ngundurin diri dong!" Balas Okti tak senang dengan cewek itu. Dari pertama bertemu dia sudah menganggap kalau Fani itu memang tak sekuat yang dipikirkannya. Maka dari itulah Okti selalu saja membullynya agar cewek itu bisa sedikit membalas perbuatannya. Tapi yang terjadi malah Fani semakin tak berani berhadapan dengannya.

"Tapi aku gak bisa Ti, kamu gak akan ngerti!" Suara Fani kini naik satu oktaf membuat Okti langsung bungkam. Jujur baru kali ini dia melihat cewek itu membentaknya.

Pevita yang mulai merasa keadaan mulai kacau tak bisa menahan amarahnya lagi, awalnya dia mau membentak kedua cewek itu tapi tak jadi karena dia tak berhak. Memang semuanya adalah salah Pevita sendiri karena memaksa agar anak-anak ini mengikuti semua perintahnya dan tak memikirkan konsekuensinya.

Daniel juga merasa semuanya berantakan, apalagi sekarang kedua cewek itu sudah ingin adu jotos. Pevita yang kehabisan akal segera menginstruksikan agar anaknya sendiri yang akan menghentikan kekacauan ini. Daniel langsung bertukar tempat duduk dengan Karel, sekarang cowok itu sudah berada di samping Fani.

"Apa alasan lo mau keluar? Apa karena ada gue?"

"Bukan itu! Aku terlalu lemah Ti, jagain diri sendiri aja gak becus. Apalagi aku sendirilah yang buat semuanya jadi kacau balau. Mereka mengincar aku supay...." Ucapan Fani terpotong, saat tahu-tahu bibir Daniel sudah menempel manis di bibirnya. Mata cewek itu semakin membulat ketika, semua orang melihat kalau Daniel sedang menciumnya.

Pevita seketika melotot, dia tak menyangka anaknya bisa mencium seorang perempuan bahkan di depan Mamanya sendiri. Karel juga menampilkan ekspresi yang sama terkejutnya dengan Pevita. Tapi kedua orang itu tak membahasnya sekarang, bahkan Okti langsung bungkam dan mengalihkan perhatiannya dari dua manusia itu.

Jessi, Rey, Ika, dan Gerry langsung mencoba sibuk dengan pekerjaan masing-masing tanpa mau kepo dengan kejadian live di depan mereka. Tapi pada dasarnya anak remaja, mereka diam-diam mencuri pandang ke arah Daniel dan Fani.

Daniel menyentuh bibir gadis itu dengan tangannya, "sekali lagi kamu ngomong yang aneh-aneh, gue nggak bisa jamin kalau bibir lo masih perawan!" Dia langsung mengalihkan perhatian ke arah manusia yang menatap takjub dan tak percaya ke cowok itu. Sedang Daniel hanya tersenyum seakan tak terjadi apa-apa tadi.

"Wow! Keren man! Aww!" Gerry langsung meringis ketika tangan jessi dengan mulus mendarat di kepalanya, cowok itu bersungut sambil menatap miris ke arah gadisnya itu.

"Jangan banyak omong yah Ger! Awas kamu, udah Fan tenang aja Gerry cuma bercanda."

Fani tak berkutik, dia terlalu terkejut tadi sehingga sekarang cewek itu tak bisa berkonsetrasi. Pikirannya masih mengambang ke peristiwa itu, Daniel tanpa tahu malu menciumnya. Mau mengelak dia tak bisa karena kejadiannya tiba-tiba. Alhasil Fani tak ingin menyanggah ataupun mengatakan pengunduran dirinya, karena dia tak ingin kejadian itu terulang lagi kepadanya.

Cewek itu masih terus menunduk, dia tak ingin berkomentar apa-apa sekarang. Matanya menyapu seluruh ruangan, wajah damai Kakaknya, wajah tampan Rey dan Gerry, tak lupa keempat wanita yang sama-sama cantik itu. Pandangannya tiba-tiba berhenti di salah satu objek, jantung Fani kembali berdebar. Akhirnya dia terdiam sambil menatap gerak-gerik Daniel.

Daniel yang daritadi sibuk berkomentar dengan usulan teman-temannya, langsung mengalihkan perhatian ketika merasa sedang diawasi. Terlihat Fani menatapnya dengan sorot mata yang tak bisa diartikan, merasa tertangkap basah karena memandang orang tanpa tahu malu, Fani beralih menatap wajah Karel.

Fani mengutuk dirinya sendiri, kenapa bisa cowok itu tiba-tiba memandangnya seperti tadi. Rasanya seperti terkena sengatan listrik, tangannya bergetar, sungguh dia sangat membenci situasi seperti sekarang. Apalagi Daniel terus saja menatapnya seperti itu. Bisa-bisa Fani bakalan kabur kalau tahu ujungnya seperti ini.

"Kenapa sih? Gue nggak niat makan lo, kok!" Daniel berkomentar saat melihat cewek itu semakin tak nyaman ketika mata mereka tak sengaja bertemu di satu titik. Fani menggeleng, dia meminta izin untuk ke toilet sebentar. Daniel menatap punggung cewek itu yang semakin hilang bersamaan dengan tertutupnya pintu.

Daniel menghela napasnya sebelum sempat berucap lirih. "Suatu saat, lo bakal ngerti!"


Needless (Selesai)✔️Место, где живут истории. Откройте их для себя