Bab 10 (Last)

12 6 0
                                    

Daniel berhenti bergerak, tatapannya miris sekaligus meradang. Tangan cowok itu terkepal kuat, air mata mencoba keluar dari tempatnya. Senjata cowok itu bahkan terjatuh begitu saja. Tanpa banyak omong dia berlari menghampiri tubuh dua orang yang tergeletak tak jauh beberapa meter dari mereka. Wajah Daniel kian memanas ketika melihat dua orang itu sudah bersimbah darah, cowok itu cuma terduduk lemas memegang tangan Mamanya.

"Ma? Mama bangun, jangan bercanda Ma! Daniel gak suka." Cowok itu mengguncang-guncangkan tubuh Pevita sambil terisak.

Fani tak bisa menahan perasaannya, bibir cewek itu bergetar menahan tangis. Dia ikut berlari menghampiri Karel yang sudah terbujur kaku di sebelah kanan Mama Daniel. Fani menutup mulutnya berharap suara tangisannya tak terdengar, "Kak, hiks Kak, bangun jangan tinggalin Fani. Kak Karel!" Fani menangis sesenggukan di samping tubuh Kakaknya, berharap cowok itu tersadar. Dia memeluk tubuh Karel sambil terus menangis.

Kelima anak lainnya tak bisa lagi menahan air mata lagi, tangisan langsung terdengar ketika mereka semua mengetahui bahwa Karel dan Pevita sudah terbunuh. Okti sesenggukan melihat Tantenya sudah tiada, dia semakin meringis ketika tahu kalau Karel juga ikut pergi bersama wanita muda itu.

Daniel benar-benar meradang. Napasnya tak beraturan menahan amarah. Dia berdiri dan mulai mengambil senjata di kantong celana Mamannya. "Teman-teman, sekarang saatnya memakai cara kekerasan. Lindungi tubuh kalian, dan tembaklah yang kiranya mengganggu penglihatan kalian!" Daniel berang, dia berteriak sambil menembak-nembakkan pistolnya ke beberapa orang yang berada di situ.

Satu persatu musuh mulai dilumpuhkan, Rio geram dan menatap nanar ke arah Pevita. Dalam hatinya pria itu sudah muak, jadi dia bermaksud agar Daniel juga pergi menyusul Mamanya itu. Rio mulai mengeluarkan pistol bekas dia menembak Pevita tadi, dari sana dia meninting ke arah Daniel yang sejak tadi sibuk menembak para anak buahnya.

Fani masih terduduk lemas dengan wajah kusut di samping jasad Karel, rupanya sudah seperti orang tak waras. Dia sungguh tak menyangka Karel bisa meninggalkannya secepat ini, bahkan Fani belum sempat memberikan hadiah ulang tahun untuk Kakaknya yang memang sudah disiapkannya jauh-jauh hari. Cewek itu kembali menangis tersedu merenungi apa yang akan terjadi kepadanya nanti.

Pistol Rio sudah terarah ke Daniel, dalam sekali tembakan pelurunya pasti akan menembus kepala cowok itu. Fani mengalihkan pandangannya, pupil matanya melebar saat pria itu mulai menarik pelatuknya dan siap menembak Daniel. Saat Rio benar-benar melepaskan pelurunya, Fani langsung berlari ke belakang Daniel. Cewek itu tak menyangka kalau terkena peluru bisa sesakit ini.

Fani terpental sekitar 10 meter dari tempat Daniel, merasa ada yang tak beres Daniel menoleh. Mulutnya terbuka, senjata untuk membunuh para musuh terjatuh bebas saat pandangannya melihat Fani yang sudah terbaring sambil memegang perutnya itu. Tanpa membuang-buang waktu, cowok itu berlari ke arah Fani, dia terhuyung di dekat cewek itu.

"Fan? Fani!" Tangan Daniel bergetar memegang tubuh gadis itu, dia mengangkat kepala Fani agar berbaring di pahanya. Sedang cewek itu cuma tersenyum, darah segar mullai mengalir dari perutnya yang terkena peluru. Dalam waktu singkat, dia sudah berlumuran darah.

"Kenapa lo lakuin itu? Apa lo gak mikirin nyawa lo sendiri?"

"Aku ngelakuin semuanya, karena aku gak mau kehilangan kamu Niel, udah cukup Kak Karel yang pergi." Fani terbatuk, mulut gadis itu kembali mengeluarkan darah. "Lagipula ini belum seberapa, setidaknya aku bisa nebus hutang aku ke kamu."

"Tapi gak kaya gini caranya! Urusan nyawa itu emang udah tugas gue, Fan." Daniel mengguncang-guncang tubuh cewek itu. Sedang Fani kembali mencoba tersenyum.

"Niel? Aku sayang kamu!" Mata Fani terpejam, Daniel meringkuk di dekat cewek itu. Perasaannya makin kacau, untuk kedua kalinya cowok ganteng itu terisak menatap kepergian kedua orang yang disayanginya.

Needless (Selesai)✔️Where stories live. Discover now