14: Roman Picisan (D3)

2.4K 154 21
                                    

selesai ditulis
11 nov 2017

SUNGGUH, dua hari ini Fashya dibuat ling-lung sendiri oleh perubahan sikap Keenan dan Aksa. Keduanya seperti berkompetisi untuk memenangkan suatu perlombaan. Seolah mereka berdua adalah rival. Tapi tentunya persaingannya sportive. Walau Fashya tidak tau entah apa dedikasi tertinggi yang diperoleh sang pemenang.

Seperti, lusa kemarin, contohnya. Aksa secara berangsur mengiriminya pesan dalam tempo yang cukup cepat daripada biasanya. Pesannya pun bertumpuk, tidak satu-satu dan tidak cenderung cuek seperti biasanya. Sama halnya dengan Keenan. Keenan lebih agresif, menelponnya berjam-jam, menanyai pertanyaan monoton dan ngobrol ngalor-ngidul. Bahkan karena Keenan, Fashya sampai keteteran membalas pesan dari Aksa. Entah apa tujuan dan motivasinya.

"Fash, kantin enggak?" tanya Luna membuyarkan lamunan Fashya.

Fashya gelagapan, mengangguk pelan, lalu memberesi buku Sosiologi yang baru saja berakhir pelajarannya. Diambilnya beberapa uang dari tasnya, lalu bangkit, menyusul Luna dan Rere yang sudah di depan kelas.

"Yuk." ajak Fashya, dijawab anggukan dari Luna dan Rere.

Mereka bertiga berjalan membelah koridor. Berjalan beriringan, sesekali merapat atau berbaris karena koridor yang memang padat saat jam istirahat. Setibanya di kantin, mereka berdebat kecil menentukan apa yang akan dipesan. Lalu setelah serempak, mereka memesan batagor dan orange juice. Fashyalah yang bertugas menjaga salah satu meja supaya tidak digunakan oleh orang lain.

Fashya duduk sembari menyingkirkan beberapa piring yang masih memenuhi meja. Kebiasaan buruk masyarakat Indonesia adalah makan tidak diberesi, mengandalkan pelayan karena mereka berpikir bahwa itu adalah tugas pelayan. Pemikiran konyol.

"Dek?" panggil seseorang yang suaranya cukup familiar, karena dua hari yang lalu mengiriminya voice note, menjelaskan tentang beberapa materi yang tidak terlalu dimengerti Fashya.

Fashya menengok, dugaannya tepat. "Ada apa, Mas?"

Aksa menatap sekeliling sebentar. Lalu berdehem, membuat peralihan kegugupannya. Baru saja bibirnya terbuka, akan menyuarakan sesuatu. Tapi suara orang lain buru-buru mengintrupsinya.

"Eh, ada elo, bro!" sapa Keenan, menepuk pundak Aksa dua kali, lalu tersenyum miring.

Aksa membalasnya dengan tersenyum, "apa kabar?" tanyanya.

"Hmm, nggak lebih baik dari lo, lah." kekeh Keenan.

Aksa mengangguk-angguk. Fashya menatap Aksa dan Keenan bergantian yang sama-sama tersenyum entah untuk apa. Lalu Luna dan Rere datang dengan tiga piring batagor dan tiga gelas orange juice. Tersenyum ramah pada Aksa, dan buru-buru menatap Keenan dengan senyum penuh arti.

"Tadi mau ngomong apa, Mas?" tanya Fashya.

Keenan menatap Fashya. Ada ribuan luka yang menganga lebar di hatinya. Entah benda apa yang menghunus kuat dadanya. Setiap detiknya mengamati Fashya adalah kekuatan. Sama seperti detik, maka detaknya juga semakin kuat. Lalu ketika detik dan detak berkonspirasi, maka itulah saatnya kenyataan menampar kuat Keenan Ardhiatama.

"Ehm," Aksa melirik Keenan yang tengah menatap Fashya intens, "bisa bicara sebentar?"

Fashya mengangguk antusias, "boleh. Bentar yah." pamitnya pada Luna dan Rere, dibalas anggukan dari keduanya.

Saat Aksa dan Fashya hampir berjalan, buru-buru Keenan menyela aktivitas keduanya. "Yah, Fash. Gue ditinggalin, nih? Ikut dong!" kata Keenan sok manja.

Fashya menatapnya, entah apa arti tatapannya. "Bentar." jawabnya datar, membuat Keenan diam, dan Aksa mengernyit heran ketika mendapati perubahan Fashya.

Sweet PoliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang