15: Roman Picisan (D4)

2.1K 142 11
                                    

AKSA mengeratkan pegangannya pada jaket hijau tua miliknya. Malioboro setiap malam memang tidak pernah sepi. Seperti malam ini, Malam Jumat, dirinya lebih memilih menghabiskan malamnya dengan Fashya, setelah belajar sore tadi. Tentu saja atas persetujuan Mama Fashya. Kebetulan, Ayah Fashya memang sudah pulang satu pekan yang lalu.

Fashya sedikit merapat ke arah Aksa ketika dirinya hampir menubruk penjual aksesoris;beberapa gelang dan tas yang dijualnya eceran. Aksa berdecak kesal, karena Malioboro saat ini benar-benar ramai. Baik turis domestik, maupun tidak. Sehingga dirinya kadang harus menyingkir, mengalah, bahkan menyamping untuk bisa lewat di trotoar. Khawatir kehilangan Fashya di tengah keramaian, perlahan tangannya meraih tangan kanan Fashya. Menyapu punggung tangannya lembut, lalu menyelimuti tangan kanan Fashya dengan tangan kirinya.

Langkah Fashya tergarap, tapi hatinya tergagap. Ada secercah perasaan hangat yang mengisi relung hatinya. Senjata makan Tuan. Itulah perumpamaan Fashya, jikalau ia tidak buru-buru menetralkan detaknya yang menggila. Napasnya kemudian sepersekian detik memburu, mencecar otaknya dengan stimulan, bahwa Aksa hanyalah obsesinya.

Aksacakara Perdana. Adalah dua komposisi nama yang meluluhlantahkan hati Fashya. Aksacakara Perdana. Adalah dua komposisi nama yang sukses memborbardir hati Fashya. Aksacakara Perdana. Adalah dua komposisi nama yang sukses meruntuhkan sekaligus menjungkirbalikkan dunia Fashya.

Fashya tertarik kembali ke alam bawah sadarnya ketika Aksa dengan sekali hentakan membawa Fashya ke dalam pelukannya. Tapi, serentak dengan wajah Fashya yang tenggelam dalam dekapan Aksa, serentak itu pula Fashya berada di awang mimpinya. Harum Aksacakara Perdana menguliti akal sehatnya.

"Maaf, tadi ada bapak-bapak lewat samping aku buru-buru. Mau dorong kamu ke sana, takutnya kalau kamu jatuh ke pedagang itu." kata Aksa dengan kekehan di akhir kalimatnya.

Sementara, dalam dekapannya Fashya masih mengangguk pasrah. Mengumpulkan nyawanya untuk ditariknya kembali. Aksa kemudian melepaskan dekapannya. Diraihnya tangan Fashya, lagi. Tapi, kali ini terkoneksi dengan tangan Fashya yang turut menggenggam tangan Aksa. Seakan saling menguatkan.

"Jadi beli pecel lele, kan?" tanya Aksa agak keras, supaya suaranya tidak tertimbun kebisingan Malioboro.

"Iya!" jawab Fashya.

Jujur. Sebenarnya, ada debar yang ritme nya--jauh--dari batas normal manusia. Ada detak yang beribu kali dari detik. Tidak normal--menurut kedokteran. Tapi, biasa--wajar--menurut percintaan.

Tapi debar itu masih berupa sketch. Entah siapa pemilik bayangan itu. Bayangan itu punya nama. Tapi, nama itu belum terurai.

Aksa dan Fashya menghentikan langkahnya di depan kedai pecel lele. Setelah memesan dua pecel lele--ditambah cumi, dengan teh panas, Aksa berjalan ke bangku yang agak jauh dari kompor. Ditiupinya tangannya yang nyaris beku, kedinginan.

Fashya terkekeh melihat aksi Aksa, "dingin yah?" goda Fashya.

Aksa mengangguk antusias, tapi tidak menatap Fashya. "Banget!"

Fashya berdiri dari bangkunya. Lalu duduk di samping Aksa. "Aku juga dingin, nih." adunya.

Aksa menoleh ke arah Fashya yang merentangkan kedua tangannya, alisnya terangkat, "peluk?" tanya Aksa.

Fashya terkekeh geli, lalu menggeleng. "Kalau peluk nggak boleh, kalau rangkul.. hmm, bolehin aja deh. Abis, dingiiiin." kata Fashya--disambut kekehan Aksa--lalu menubrukkan dirinya ke arah Aksa.

Sweet PoliceWhere stories live. Discover now