Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari Minggu pagi, selalu Arman awali dengan lari-lari kecil di depan komplek tempat kost-nya berada. Tidak lama juga, sekitar lima belas menit sudah cukup baginya.
"Nak Arman? Itu ada tamu di depan kamar kost-nya. Katanya dia mau ngasih sesuatu langsung ke Nak Arman makanya gamau nitip ke ibu," kata pemilik kost pada Arman yang baru saja kembali lari pagi.
Alis Arman terangkat satu, "kalau Arman boleh tau, cewek atau cowok ya?"
"Kamu liat aja sana, itu kasian nungguin kamu dari tadi."
Arman mengangguk dan berpamitan pada pemilik kost yang tadi mengajaknya bicara.
Arman sedikit penasaran pada tamu-nya. Karena biasanya hanya Devian yang kemari dan itupun Ibu Kostnya sudah tak asing.
"Loh?"
Arman tersentak melihat siapa yang datang, "kenapa? Lo kaget ya? Haha, santai aja kali, Man. Gue cuma mau ngasih ini ke lo."
"Tunggu, kamu tau saya tinggal disini dari siapa?" tanya Arman pada laki-laki tampan nan tinggi di hadapannya.
Lelaki itu tertawa tipis, "gue Fajar, ketua kelas. Mana mungkin nggak tau tempat tinggal lo."
Arman merasa nyaman melihat tawa lelaki di hadapannya ini. Bukannya Arman tertarik pada sesama jenis. Hanya saja seperti, tawa yang Fajar hadirkan adalah tawa yang tulus bukan meledek.
"Tujuan gue kesini buat ngasih undangan ini. Kemarin lo bolos pelajaran Pak Januar, kan? Nih,"
Fajar memberikan sebuah kertas berisi coretan tinta yang menunjukan pertemuan orang tua siswa.
"Man, orang tua gue juga gak dateng kok. Gapapa, lo jangan khawatir, soalnya nanti ada temennya, gue," Fajar terkekeh di akhir perkataannya.
"Sepeduli itu kamu sama saya, Jar?"
"Gue gak peduli lo siapa atau dari kalangan apa, Man. Gue tetep anggap lo temen sekelas gue apapun yang terjadi."
Fajar menghela nafasnya, "satu lagi, lo tanggung jawab gue."
Arman rasanya terbungkam oleh senyum tulus yang Fajar suguhkan. Sungguh, bolehkah ia senang sekarang?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Azaria, mana orang tua kamu? Nggak datang lagi? Padahal papah kamu datang loh waktu ada rapat dewan sekolah,"
Azaria tertawa jenaka, "anaknya papah, kan uang-uang itu bu,"
Meski tersirat nada seperti lelucon, Arman tau hati Azaria merasakan kesal dan sedih bersamaan. Ia ingin memeluknya, sungguh.
"Kamu ini, mana mungkin kayak gitu. Lain kali coba bujuk papah kamu biar datang."
Lagi-lagi lelucon Azaria keluar, "saya ajak ibu saya aja gimana, bu?"
"Ada-ada aja kamu ini,"
Dengan cepat Azaria melarikan dirinya tanpa berenti tertawa. Bibir merah yang selalu tersenyum itu, sudah jadi favorit Arman mulai detik ini.
Fajar tertawa keras saat melihat wajah semu merah padam serta binar indah di mata milik Arman, "beneran suka ternyata."
Arman yang tidak terima hanya melirik Fajar dengan tajam, "perasaan suka itu gak kenal orang. Lo suka sama Azaria misalnya. Cukup dengan liat dia senyum atau cara dia bicara sama lo meski sebentar."
"Suka juga ga bisa dipaksain, sama kayak hati. Semakin lo maksa buat bilang gak suka di hadapan gue, semakin ketara kalau lo suka Azaria," lanjut Fajar masih dengan tawa merdunya, ya menurut Arman.
"Fajar, dicariin Mba Senja. Jangan mojok mulu, buruan ini keburu ngambek tau rasa lo." kata Azaria di depan pintu.