NOONA, SARANGHAE

55 5 0
                                    

Aku menulikan indera pendengaranku. Aku tidak memperdulikan ketukan keras yang Jonghyun lakukan berulang kali. Bahkan, Jonghyun berkali-kali memanggil namaku tanpa henti. Saat ini aku hanya ingin menangis. Menangisi laki-laki yang aku cintai dengan seluruh hatiku. Aku menjadi bodoh saat ini.

“Noona, bisakah Noona membuka pintu kamar sebentar?”

Aku menyeka air mataku dan beranjak dari tempat tidurku. Aku berjalan menuju pintu kamarku, aku hanya ingin membuat Jonghyun berhenti mengkhawatirkanku.
Aku mendapatinya berdiri didepan kamarku dengan pelipis dan kening yang basah karena keringat. “Jonghyun-ah, kau memukul pintu kamarku keras dan berulang kali. Apa tanganmu tidak sakit?” tanyaku sembari meraih tangannya. Tangannya terlihat merah.

“Noona tidak baik-baik saja dan aku tahu itu. Ada aku, jadi bersandarlah padaku sebentar jika Noona merasa tersakiti. Jangan sendirian karena ada aku.” Aku berusaha tersenyum meskipun itu sulit.

“Tanganmu pasti sakit kan?”Aku menunduk dan memegang tangan Jonghyun yang memerah.
“Rasa sakit ditanganku tidaklah seberapa, Rasanya aku lebih kesakitan karena melihat Noona yang sedang terluka.”

Air mataku menetes tepat dipunggung tangan Jonghyun. Aku membuatnya selalu mengkhawatirkanku berulang kali.

***

Aroma kopi menguar ketika aku memasuki kedai kopi yang tidak jauh dari kampusku. Hari ini, Jonghyun bilang ingin menemuiku karena ada sesuatu yang akan dia beritahukan padaku. Aku hanya menebak bahwa itu adalah kabar bahagia. Ini adalah lima bulan setelah kejadian waktu itu. Kejadian dimana tangan Jonghyun memerah karena memukul pintu kamarku dan mengkhawatirkanku. Aku merasa malu karena menangisi seseorang yang sudah menyakitiku.

“Apa Noona sudah lama menungguku?” Jonghyun tiba-tiba sudah berdiri didepanku. Jonghyun masih mengenakan seragam sekolahnya. Terlihat imut ketika dia memakai seragam sekolah ini.

“Aku baru saja sampai.” Ucapku sembari mengamati Jonghyun yang melepas ranselnya. “Jadi, apa yang ingin kau katakan padaku?” tanyaku to the point.

Jonghyun melipat tangannya dan meletakkan kedua tangannya diatas meja. Ada senyum yang tersungging manis diwajahnya. Aku menyukai senyumnya.
“Aku tidak tahu harus mulai menceritakannya dari mana.” Lagi-lagi Jonghyun tersenyum. Pasti sesuatu yang membahagiakan karena dia tidak berhenti tersenyum.
Setiap Jonghyun tersenyum entah mengapa aku juga ikut tersenyum.

“Jadi apa?” tanyaku tidak sabar. “Aku lolos seleksi dan menjadi penerima beasiswa kedutaan besar  ke Melbourn.” Jonghyun tersenyum. Namun, aku tidak ikut tersenyum kali ini. Mengapa aku tidak bahagia?

***

“Jadi, kapan kau akan berangkat ke Melbourn?” tanyaku disela-sela membuat cheese cake. Jonghyun membantuku membuat cheese cake hari ini.

Jonghyun memasang wajah berpikir. Ekspresi bocah yang dua tahun lebih muda dariku ini sangat lucu. “Kira-kira dua bulan lagi.” Ucapnya sedikit ragu.
“Jonghyun-ah, entah mengapa aku tidak rela kau meninggalkanku.” Aku memasang raut sedih yang sedikit aku buat-buat agar tidak terlalu kentara bahwa aku sesungguhnya sangat tidak rela. Bahkan, tidak ingin dia pergi.

Jonghyun menghentikan aktifitasnya mengaduk adonan cake dan meletakkan kedua tangannya di dada. “Kalau Yoo Ae Noona tidak menginginkanku pergi, aku tidak akan pergi.” Ucap Jonghyun ringan. Kemudian Jonghyun kembali mengaduk adonan cheese cake itu.

Aku menunduk karena ingin menangis. Rasanya aku ingin mengatakan agar dia tidak pergi. Namun, itu terdengar egois karena aku akan menghalangi impiannya. Aku memberanikan diriku memeluk Jonghyun dari belakang. Jonghyun sedikit terkejut. Namun, dia membiarkannya. Sepertinya, aku jatuh cinta padanya tanpa aku sadari selama ini.

***

Hari mengerikan itu datang dengan sangat cepat. Aku sudah bergegas sedari pagi dan menghindari Jonghyun beberapa hari. Panggilan dan pesan dari Jonghyun bahkan tidak aku perdulikan sama sekali. Kini, aku hanya berjalan mengikuti langkah kakiku tanpa tahu akan kemana. Aku hanya ingin berjalan saja, aku ingin menghindari Jonghyun. Karena aku akan menangis ketika melihat keberangkatannya. Aku tidak bisa melihat punggungnya yang berjalan menjauhiku.
Aku berdiri dipinggir traffic light dengan kepala tertunduk. Tidak perduli berapa kali lampu merah berganti hijau atau hijau berganti merah dan seterusnya. Aku tidak perduli. Selama ini aku hidup dengan melihat Jonghyun disekitarku, Jonghyun adalah orang yang memelukku ketika aku terluka, dia satu-satunya orang yang mengkhawatirkanku setelah orang tuaku. Dia memperlihatkan padaku bahwa malaikat tanpa sayap itu ada. Bagaimana aku tanpanya? Aku tidak bisa membayangkannya sekarang.

Rintik hujan tiba-tiba saja sudah turun, aku ingin melangkah pergi menghindari hantaman hujan. Namun, kakiku seakan sudah menempel permanen di atas paving dan tak bisa digerakan. Endingnya aku berdiri dengan air hujan yang membasahi seluruh tubuhku. Hujan kali ini terasa menyakitkan, sepertinya langit ingin membantuku menyamarkan air mataku.

Aku mengangkat kepalaku ketika seseorang memayungiku dengan jaketnya. Lagi-lagi wajah khawatir itu, bagaimana bisa Jonghyun menemukanku?
“Apa yang Noona lakukan? Noona bisa sakit jika tidak berteduh.” Jonghyun menatapku penuh kekhawatiran. Jonghyun merangkulku dan menggiringku berteduh di emperan toko terdekat.

“Mengapa kau disini? Bukankah kau harusnya berangkat hari ini?” tanyaku dengan suara sedikit parau karena menahan tangisku.
“Aku disini untuk melindungi Noona dari hujan.” Jonghyun tersenyum dan senyumnya membuat air mataku menetes tanpa permisi.

“Pergilah, meskipun aku tidak ingin kau pergi.” Aku menyeka air mataku.
Jonghyun menghela nafasnya.

“Bagaimana aku bisa pergi kalau Noona menangis? Siapa yang akan menyeka air mata Noona jika bukan aku?” Tangan Jonghyun entah mengapa terasa hangat dipipiku. Dia menyeka air mataku untuk kesekian kalinya.
Aku menyentuh rambut Jonghyun yang basah karena air hujan.

“Pergilah, kau harus menyelesaikan mimpimu.” Ucapku dengan nada tabah yang aku usahakan.
“Baiklah, aku akan pergi dan menuruti kata-kata Noona. Tapi, berjanjilah padaku satu hal Noona.” Jonghyun menangkup kedua pipiku.
“Saat aku pulang dan menyelesaikan sekolahku, maukah Noona berkencan satu kali denganku?”  Jonghyun menatapku hangat.
Aku mengangguk pelan dengan senyum yang kali ini tidak aku buat-buat. “Ada hal lain yang ingin aku katakan pada Noona.” Jonghyun mendekatkan wajahnya ke telingaku.

“Noona, Aku mencintaimu.” Bisiknya tepat ditelingaku.
Jika tadi aku berpikir hujan hari ini menyakitkan, aku menarik kata-kataku dan aku akan menggantinya dengan kata hujan kali ini sangat membahagiakan.

“Jonghyun-ah, Nado Saranghae.”

ㅡfin.

Screenwriter: MardianaDM
Editor: LillyChan07

ROOM 2Where stories live. Discover now