(VI)

89.3K 13.2K 503
                                    

Dan bila kau ingin sendiri
Cepat cepatlah sampaikan kepadaku
Agar ku tak berharap
Membuat kau bersedih

Bila nanti saatnya t'lah tiba
Kuingin kau menjadi istriku
Berjalan bersamamu dalam teriknya hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa

-Akad, Payung Teduh.

*
*
*
*

Tenggerokan Rayaa terasa begitu kering, saat matanya menatap Langit tak bisa Rayaa temukan celah untuk mengelak. Ucapan Langit membuat tubuhnya sedikit bergetar, "Kamu serius?"

"Kita udah dewasa, ngapain harus becanda? Wasting time."

"Kamu nggak sedang berusaha menyembunyikan keburukan kamu 'kan?" tanya Rayaa, ia hanya takut ada hal yang Langit rahasiakan darinya hingga pria itu begitu terburu-buru berhubungan dengannya.

"Nggak, kamu boleh tanya apa aja sekarang." Langit mengambil ponselnya yang berada di saku celana, membuka applikasi voice recorder. "Karena ucapan tidak bisa dipegang, kita rekam ucapanku dari apa yang mau kamu tanyakan. Biar kamu punya bukti nantinya kalau aku berbohong, itu pun kalo aku berbohong."

Rayaa menelan ludahnya gugup. Pria di depannya seperti kembang api yang meletup-letup penuh antusias.

"Mau tanya apa?" Langit menekan start pada ponselnya, dan ponsel pintar itu mulai merekam suara mereka berdua yang diringi sura ranting yang bergesekan karena angin. "Berapa mantan pacar aku? Biasanya kan yang diungkit perempuan itu mantan."

Pandangan Langit menerawang mencoba mengingat seberapa banyak wanita yang pernah membuat harinya sedikit berwarna. "Ada sepuluh."

"Kurang satu buat jadi kesebelasan sepak bola tuh." celetuk Rayaa.

"Sayangnya aku nggak niat untuk punya mantan lagi."

"Paling lama pacaran nyampe berapa bulan?" tanya Rayaa, matanya melirik diam-diam menunggu ekspresi apa yang akan Langit tampilkan.

"Nyaris dua tahun, kurang beberapa jam. Seandainya Laluna nggak minta putus di Anniversary yang ke dua." jelas Langit santai, seolah saat itu tak membuatnya sakit.

"Berapa lama pacaran sama pacar terakhir?"

"Empat bulan."

"Kenapa?"

Helaan napas Langit terlihat berat, "Aku mau jelasin sesuatu, kenapa aku pacaran nggak pernah lama. Paling lama ya itu sama Laluna yang pengertian sekali."

Kalau dia pengertian sekali, Enggak mungkin jadi mantan kali.

"Terus?" Rayaa melirik ke arah ponsel Langit, detik demi detik ucapan mereka terekam.

"Aku bukan lelaki yang bisa memahami hati perempuan dengan segala tingkah ajaibnya."

"Jadi priotas kamu itu alam, Pacar pertamamu itu Hobbymu." dengus Rayaa, sudah pasti yang jadi prioritas Langit itu hobbynya dilihat darimanapun Langit bukan orang yang mau bersusah payah berhubungan dengan wanita.

"Nggak." bantah Langit, pembelaan yang sering ia lontarkan pada mantan-mantan pacarnya sungguh tak berbuah karena pada akhirnya mereka memutuskan Langit. Karena Langit bukannya tidak memperhatikan pacarnya seperti apa yang sering dikatakan mantan-mantannya, dia hanya tak tahu bagaimana caranya memahami perempuan yang bisa sejalan dengan hobbynya, pergi sesuka hati kemanapun ia mau. "Aku memang suka berpergian keluar kota untuk travelling, seering naik gunung juga.  Kamu pernah naik gunung?"

Ingatan Rayaa melayang pada beberapa masa, saat ia pernah beberapa Gunung di pulau Jawa, Gunung Semeru salah satu favoritenya. Seperti dalam gambaran film 5 cm, puncak semeru memang menjanjikan keindahan dan kerinduan untuk setiap pendaki.

"Lumayan beberapa kali."

"Sempat pegang ponsel, ada sinyal?"

Sinyal? mana ada mengingat hal seperti itu.

"Mereka menuntut aku untuk memberi kabar sehari tiga kali, memangnya mau minum obat sampai harus ada jadwalnya."

"Mereka, maksudku mantan-mantan kamu mungkin khawatir sama kamu. Kamu pasti tau pulang dengan selamat untuk seorang pendaki adalah pencapaian yang diutamakan, mungkin mereka khawatir terjadi apa-apa dengan kamu." Perempuan selalu begitu, penuh dengan rasa khawatir yang berkembang menjadi penuh curiga jika terus menerka-nerka.

"Dan pada akhirnya aku akan ditinggalkan sendiri karena mantan pacarku mengingkari janji, yang setia tetap Alam.  Tidak pernah menghianati, selalu ada setiap aku kembali." sorot Mata Langit menyiratkan luka, seberapa sering pria itu dikhianati?

"Seberapa sering berpergian?"

"Terlalu sering sampai aku lupa. Aku di Jakarta biasanya hanya beberapa hari, kadang sampai berbulan-bulan kalau ke luar negeri." jelasnya santai seolah yang dilakukannya itu normal, pergi kesana-kemari dalam jangka waktu lama jelas membutuhkan biaya tak sedikit.

"Pantes ditinggalin terus. Kamu pernah mikir nggak kalau perempuan butuh sosok nyata, bukan cuman status sebagai kekasih tapi dalam artian sesungguhnya kamu nggak ngerti apa yang harus dijalani."

"Memangnya kamu pernah pacaran?" Langit tertawa geli ketika Rayaa memberengut kesal karena ucapannya terpotong.

"Nggak butuh pengalaman untuk mengamati, toh walaupun aku Pacaran sama Ashton Kutcher sekalipun tapi dia nggak pernah ada di sisiku mending nggak usah, lebih baik pacaran dengan lelaki biasa saja tapi kita bisa saling mengerti."

Ada hal yang dibutuhkan perempuan selain harta, tahta ataupun penampilan, rasa yang membuat mereka nyaman. Percuma saja memiliki pasangan yang tampan tapi ketika dibutuhkan tak pernah ada, Langit ingin dipahami tapi apa ia pernah mencoba memahami hati wanita? Bahwa ada perasaan hangat setiap pasangannya memberi perhatian lebih, dan Langit tidak pernah seperti itu.

"Jadi maksud kamu aku bukan tipe pria yang diinginkan oleh perempuan hanya karena aku bukan pria yang mengerti mereka?" Jenis pembicaraan seperti ini seringkali Langit hindari, karena ia benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran perempuan.

"Nope, tergantung perempuan seperti apa yang kamu maksud. Tapi kalau perempuan yang kamu maksud itu aku, maka aku jawab iya." tanpa ragu Rayaa berucap membuat Langit menatap jauh ke dalam matanya berharap bahwa itu bukan penolakan secara tersirat atas niatannya. "Aku bukan perempuan yang bisa diajak LDR, mungkin kalau untuk beberapa alasan logis bisa saja. Aku nggak mau statusku punya pacar tapi pas aku butuh pasanganku dia tidak ada, aku nggak nuntut pacarku harus seperti Rexona yang setia setiap saat. Tapi dia tau ketika aku sedang butuh pelukan penyemangat."

Rayaa menarik napas dan menghembuskannya pelan, ia tidak peduli lagi dengan ponsel Langit yang merekam percakapannya. "Aku enggak punya hak untuk menasehati kamu, Lang. Tapi seharusnya kamu belajar dari pengalaman sebelumnya, bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Kamu tahu jelas mengapa mantan-mantan kamu memutuskan kamu, dan kamu tak berubah. Aku nggak menyalahkan Hobby kamu, tapi kamu seharusnya tau bagaimana caranya menyikapinya."

"Seandainya aku pria pengecut, aku mungkin akan mundur sekarang dengan ucapan kamu." Langit bergerak melangkah mendekati Rayaa, berlutut mengusap kulit wajah Rayaa yang terasa dingin di telapak tangannya. "Dan beruntungnya aku bukan pengecut, jadi aku akan berpikir tentang apa yang terbaik ke depannya. Bukan untuk kamu, tapi aku akan berpikir lebih baik untuk diriku sendiri agar tidak terkhianati oleh perasaan."

Bibir Rayaa terasa begitu kering ketika jemari Langit mengusapnya, sampai napas Langit berhembus hangat menguarkan aroma Mint yang sanggup membuat tubuh Rayaa meremang. Pagutan itu terjadi begitu saja saat Mata Rayaa terpejam menikmati lembutnya bibir Langit yang menari di atas bibirnya.

"Biasanya cinta selalu menawarkan awal yang indah,"  deru napas Langit terdengar jelas di antara senyapnya malam. "Mungkin aku nggak bisa menawarkan awal yang indah seperti Cinta, tapi kalau kamu tetap di sisiku aku  mungkin bisa menjanjikan kebahagiaan sebagai buah manis dari kesabaran kamu."

TBC

Hot Tea with SugarKde žijí příběhy. Začni objevovat